Kalimat tauhid “Laa Ilaaha illa Allah” (tiada tuhan selain Allah) adalah simbol kemerdekaan hakiki manusia. Manusia hanya wajib menghamba kepada Allah SWT, bukan pada “tuhan-tuhan” lain, apalagi pada sesama manusia.
Sebagai Khaliq, Allah SWT Maha Berkuasa atas manusia. Akan tetapi, Allah SWT tidak otoriter kepada manusia. Buktinya, manusia diberi kebebasan memilih jalan hidup sesuai selera. Kebebasan ini disebut ikhtiar atau free will yang menjadi hak asasi manusia.
Anehnya, jika Allah SWT Yang Maha Berkuasa saja tidak memaksakan kehendak kepada manusia; justru manusia sok kuasa yang memaksakan kehendaknya kepada manusia lain. Dalam skala sempit, pemaksaan kehendak ini disebut perbudakan. Dalam skala luas, disebut penjajahan. Perbudakan dan penjajahan sama-sama merampas kebebasan yang merupakan hak asasi setiap manusia dan bangsa.
Atas dasar itu, Islam mengecam segala bentuk perbudakan dan penjajahan. Misalnya, al-Qur’an berulang-ulang mengecam Fir’aun sebagai penguasa tiran yang bersikap otoriter kepada Bani Isra’il. Fir’aun telah memperbudak dan menjajah Bani Isra’il, hingga akhirnya dibebaskan Nabi Musa AS.
Di sisi lain, Islam menggemakan ajaran yang menyeru pada kemerdekaan. Misalnya, Allah SWT pernah memerintahkan Bani Isra’il untuk merebut tanah suci yang dijanjikan dari penguasa yang zhalim. Sayangnya, mentalitas “budak” yang terlanjut melekat pada Bani Isra’il akibat perbudakan Fir’aun, membuat mereka enggan berjuang meraih kemerdekaan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 21-25).
Terkait perbudakan, banyak ajaran Islam yang menunjukkan kepedulian pada upaya pembebasan budak. Misalnya, membebaskan budak tergolong amal shalih yang mengantar pelakunya pada derajat yang luhur (Q.S. al-Balad [90]: 11-13). Budak yang ingin memerdekakan dirinya sendiri, dimasukkan ke dalam kelompok mustahiq (penerima) yang berhak menerima zakat (Q.S. al-Taubah [9]: 60).
Paparan di atas menunjukkan bahwa kemerdekaan dari perbudakan dan penjajahan, dapat diraih melalui dua jalan. Sebagai hadiah pemberian orang lain (given); dan sebagai hasil perjuangan sendiri (earned). Misalnya, Malaysia meraih kemerdekaan sebagai hadiah dari Inggris; sedangkan Indonesia meraih kemerdekaan sebagai hasil perjuangan sendiri.
Sejarah mencatat bahwa para pahlawan telah berjuang dengan harta dan totalitas diri mereka, seperti ilmu, waktu, tenaga hingga nyawa. Jutaan pahlawan gugur di medan perang, demi meraih kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, mereka harus diapresiasi oleh segenap bangsa Indonesia.
Apalagi al-Qur’an juga menunjukkan apresiasi yang tinggi kepada orang-orang yang berjuang dengan harta dan totalitas diri, dibandingkan orang-orang yang hanya duduk berdiam diri. Para pahlawan muslim yang gugur itu, dijanjikan beragam anugerah Ilahi. Antara lain surga, pahala yang agung, derajat luhur, maghfirah (ampunan) dan rahmat (Q.S. al-Nisa’ [4]: 95-96).
Jika mengacu pada al-Qur’an, kemerdekaan yang diraih oleh para pahlawan Indonesia tersebut, sesungguhnya masih pada tataran tahrir (pemerdekaan) dan fath (pembebasan) yang bermakna “kebebasan”.
Misalnya, setelah merdeka, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa campur tangan asing. Sedangkan tugas generasi bangsa pasca kemerdekaan adalah memanfaatkan kebebasan tersebut untuk menggapai kemakmuran. Inilah hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu “kebebasan plus kemakmuran”. Dalam al-Qur’an, kebebasan plus kemakmuran ini disebut falah (keberuntungan) dan fauz (kesuksesan).
Dalam rangka meraih kemerdekaan dalam pengertian kebebasan, maupun kebebasan plus kemakmuran, sama-sama membutuhkan perjuangan harta dan totalitas diri. Asalkan perjuangan tersebut selaras dengan nilai-nilai Ilahi, Allah SWT menjanjikan banyak jalan menuju kemerdekaan (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69).
Layaknya perjuangan yang pernah dilakukan Sayyidah Hajar saat berada di tanah tandus yang tidak ada airnya. Beliau harus mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwah yang jaraknya sekitar 450 meter, sebanyak tujuh kali, demi mencari air minum. Ternyata, air minum itu muncul dari “jalan” yang tidak disangka-sangka, yaitu di bawah kaki mungil Nabi Isma’il AS yang saat itu masih balita. Itulah sumber air zamzam yang bermakna “air yang melimpah”.
Jadi, Sayyidah Hajar meraih kemerdekaan dalam arti kebebasan plus kemakmuran. Bebas dari rasa haus dan memiliki sumber air yang sangat mahal harganya, karena dibutuhkan oleh setiap manusia, terlebih orang-orang yang tinggal di padang pasir.
Lebih dari itu, Sayyidah Hajar mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak boleh menggelembungkan egoisme, sehingga bersikap mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada orang lain.
Buktinya, Sayyidah Hajar berbagi air zamzam itu kepada satu kabilah asal Yaman, yaitu Bani Jurhum. Sikap yang demikian ini, tentu bertolak belakang dengan sikap penjajah yang setelah meraih kebebasan plus kemakmuran, justru memeras dan menindas bangsa lain, demi memuaskan egoisme menguasai dunia.
Alhamdulillah, kita sebagai bangsa Indonesia sudah menikmati kemerdekaan selama 73 tahun. Paling tidak, bangsa Indonesia sudah memiliki kebebasan, sekalipun masih belum mencapai kemakmuran yang sesuai visi Pancasila sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Inilah tugas generasi milenial untuk berperan aktif dalam upaya melestarikan dan mengembangkan kemerdekaan, agar mencapai kemakmuran yang dicita-citakan. Dalam bahasa al-Qur’an disebut baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Q.S. Saba’ [34]: 15), bangsa yang makmur di sisi manusia dan luhur di sisi Allah SWT.
Jika mengacu pada logo resmi Dirgahayu RI ke-73 yang terinspirasi dari kata “kerjadan “energi”, dapat dirumuskan tiga agenda yang perlu dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia.
Pertama, bersyukur kepada Allah SWT. Syukur adalah “energi Ilahi” yang berfungsi melestarikan sekaligus mengembangkan kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT, termasuk nikmat kemerdekaan. Ekspresi rasa syukur yang efektif dan efisien adalah berdoa (terutama shalat) dan berkurban, sebagaimana amanat Surat al-Kautsar [108]: 1-2.
Kedua, menghadirkan kembali jiwa patriotisme dan nasionalisme para pahlawan yang rela berkorban harta dan totalitas diri (ilmu, waktu, tenaga, nyawa) demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Patriotisme dan nasionalisme adalah “energi insani” yang melengkapi “energi Ilahi” berupa iman dan akhlak terpuji.
Ketiga, berperan aktif dalam bentuk kerja atau amal nyata yang bertujuan meningkatkan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia, agar kembali menjadi bangsa dan negara yang perkasa, seperti yang pernah dicapai oleh Kerajaan Majapahit yang kekuasaannya menjangkau nusantara, termasuk Malaysia, Singapura dan Filipina.