Sabtu, April 27, 2024

Fadli Zon dan Pahitnya Gula Belanda

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.

Tahun politik di Indonesia dan atmosfirnya yang kian panas menjadi ajang bagi para simpatisan, baik pemerintah maupun oposisi, untuk melakukan manuver pelemparan isu kepada publik.

Yang terakhir ini, dan menurut saya pribadi menarik, adalah ketika Partai Gerindra melalui akun Twitter resmi dan sekian cuitan opini dari salah satu kader paling vokalnya, Fadli Zon, kukuh menyatakan kejayaan Indonesia sebagai gudang gula dunia pada 1930 silam; pernyataan untuk menyinggung pemerintah yang tengah gencar mengimpor gula.

Pertama, pernyataan tersebut cukup ambigu. Secara teknis, Indonesia sebagai perangkat organisasi kenegaraan resmi belumlah ada dan segala tetek bengek kebijakan pemerintahan masih dipegang pemerintah kolonial Belanda. Namun, memang, jika merujuk wilayah geografis, hal tersebut dapat diterima, seperti bagaimana kita kerap mengkorelasikan Indonesia dengan kerajaan-kerajaan masa lampau dan memuji-muji pamornya, misalnya Majapahit dan Sriwijaya.

Kedua, apakah prestise tersebut layak diwacanakan sebagai refleksi terhadap keadaan sekarang? Iya, setidaknya sebagai pembelajaran sejarah, dan memang segala kemajuan peradaban Hindia Belanda banyak berpengaruh dalam konstruksi Indonesia modern. Dan tidak, jika tujuannya ingin bernostalgia terhadap sebuah kejayaan, namun menafikan segala kesengsaraan orang-orang yang tertindas di dalamnya. Dan industri gula Belanda tidak luput dari fenomena tersebut.

Satu kajian terkini dan mungkin yang paling menarik tentang riwayat industri gula di Indonesia adalah Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in Colonial Java, 1830-1885 yang ditulis oleh G. Roger Knight pada 2014 silam. Sebelum diambil alih Belanda, gula (dengan tebu sebagai bahan bakunya) masih diproduksi secara tradisional. Setidaknya saat Cultuurstelsel baru dimulai pada 1830 di Jawa, industri gula modern mulai menemukan momentumnya.

Belanda mengadopsi teknologi terbaru untuk memproduksi gula secara sistematis dan berskala besar demi memenuhi kebutuhan ekspor, juga menyaingi industri gula Spanyol di Kuba yang telah mapan. Hasilnya, selama masa Cultuurstelsel (1830-1870), industri gula terbentuk dan pabrik-pabriknya berdiri di seantero Jawa. Knight menyebut bahwa setidaknya pada 1860-an Jawa telah memiliki sekitar 56 pabrik gula yang dilengkapi vacuum pan (alat yang berfungsi untuk memproduksi gula-gula kristal).

Ketika Undang-Undang Agraria 1870 diteken, bisnis industri gula kian merajalela, terutama setelah sektor swasta terlibat. Nama-nama seperti Hubertus Hoevenaar dan Oei Tiong Ham menjadi penanda kemajuan industri gula di Jawa saat itu, merujuk keberhasilan mereka membangun konglomerasi gula dari nol yang mapan dan bertahan lama. Pada puncaknya, Jawa menjadi pemasok gula dunia kedua setelah Kuba, dan ekspansinya cukup dominan di pasar Asia.

Secara umum, industri gula memasuki masa keemasannya sejak tahun 1870 sampai 1930, ketika Depresi Besar melanda dunia dan menyebabkan ekspor gula ke luar negeri menurun. Lebih-lebih ketika Jepang, salah satu negara tujuan ekspor gula Belanda, akhirnya mampu membangun industri gulanya sendiri (menurut sejarawan Onghokham, Jepang mempelajari sistem industri gula di Jawa).

Kejayaan industri gula Belanda didasarkan pada kebijakan kolonial yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Di baliknya, terdapat kesengsaraan para petani pribumi Jawa. Eksploitasi terhadap kelompok buruh inilah yang menjadi salah satu kesamaan dari dinamika industri gula di Jawa dan Kuba. Lahan-lahan mereka harus diserobot untuk ditanami tebu, dan terkadang bahkan mereka dipaksa untuk bekerja di pabrik gula; komoditas yang sejatinya jarang dikonsumsi masyarakat petani umumnya saat itu.

Hasilnya adalah serangkaian pemberontakan. Misalnya, perlawanan Haji Jenal Ngarip di Kudus (1847) yang dipicu dari penggusuran tanah petani untuk dijadikan perkebunan tebu. Hal sama juga terjadi pada Kasus Gedangan di Sidoarjo (1904) ketika para petani berkonflik dengan pengusaha tebu.

Aspirasi buruh yang menuntut peningkatan kesejahteraan baru didengarkan ketika Suryopranoto (si Raja Mogok) mengorganisir pemogokan pada 1920. Buruh pabrik gula di seantero Jawa mogok, dan para pemilik pabrik akhirnya setuju untuk menaikkan upah mereka yang semula 10 gulden menjadi 15 gulden.

Gula memang komoditas primadona, namun keuntungan yang dihasilkannya nyaris tidak dirasakan rakyat kebanyakan. Sukarno pernah menulis di tahun 1934 bahwa pada zaman ‘meleset’ (plesetan dari malaise, masa-masa Depresi Besar), seorang Indonesia hidup sebenggol (2,5 sen) sehari. Jumlah yang teramat kecil dan menjelaskan bagaimana keuntungan dari industri gula tidak secara signifikan berpengaruh pada taraf hidup orang-orang yang terjajah.

Saya juga melihat bahwa kebijakan impor gula sekarang ini adalah hal ironis, namun logis mengingat produksi gula dalam negeri yang dikabarkan memang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kurang lebih 260 juta masyarakat Indonesia. Namun, dari segi kesehatan, pemerintah juga harus mewaspadai tren konsumsi gula masyarakatnya mengingat sekitar 40 juta orang Indonesia tercatat mengalami penyakit obesitas.

Tentu jika Indonesia ingin kembali sukses menjadi pemasok gula dunia, harus ada kebijakan definitif seperti membuka lahan-lahan perkebunan tebu baru; sesuatu yang sulit mengingat tingginya permintaan pembangunan kawasan pemukiman di Jawa. Itu artinya pemerintah harus melakukan segala cara untuk meyakinkan para pelaku usaha untuk mau berinvestasi di luar Jawa.

Kesimpulannya, saya rasa sentilan kelompok oposisi kepada pemerintahan Jokowi tidak memiliki substansi kokoh; tidak akan ada yang mau mereplikasi kejayaan gula Belanda, yang dibangun atas dasar eksploitasi ekonomi.

Kritik tersebut tidak cukup meyakinkan dan justru menawarkan romantisme masa lampau yang keliru dalam usahanya mengkritik industri gula Indonesia di masa sekarang secara keseluruhan. Namun, setidaknya, wacana ini memantik perdebatan publik terhadap kesadaran sejarah kelompok elite politik Indonesia (yang terkadang keliru).

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.