Yang paling mengerikan dari segala proses dan desas-desus pemilu yang baru berlalu adalah tajamnya polarisasi di tengah-tengah kita.
Berbulan-bulan kita telah menelan delirium dari kantong-kantong percakapan di tongkrongan, grup-grup Whatsapp, media sosial, hajatan keluarga, dan lainnya. Kita terpaksa bernafas dengan semua nonsens itu, seraya berusaha merasa baik-baik saja di keseharian. Sesak dada kita oleh copras-capres yang tak keruan.
Polarisasi menajam, seperti sebuah bara yang tak kunjung padam. Dan kita menyiram bensin untuk membuatnya terus menyala. Kita merayakan bising, yang riil dan virtual, karena kita tak punya lagi alasan untuk tak melawan. Either/or.
Jika kamu bukan A, berarti kamu B. Begitu pula sebaliknya. Di titik itu, jalan ketiga seperti hangus, menjadi sisa-sisa abu yang terbang, masuk ke kerongkongan, dan membuat dada kian sesak oleh pilihan-pilihan yang tak ada lagi hari ini.
Bahkan, ketika isu golput masuk ke perdebatan, misalnya, kita membahasnya dengan narasi either/or serupa. Jika kamu G, berarti kamu A dan bukan B. Seakan-akan dunia ini cuma ada A dan B. Amnesia kolektif memasung kita, mengaburkan dan membungkam C sampai Z. Hingga, seolah-seolah C-Z sama sekali tak pernah ada.
Bulan-bulan belakangan, di Indonesia yang murung, angka-angka diubah jadi gestur, dan gestur diubah jadi alasan untuk nyinyir, dan nyinyir dipupuki di ruang-ruang privat, publik, dan di-antara keduanya.
Tak ada jalan pulang yang sederhana untuk mimpi buruk ini. Semua tak akan baik-baik saja dalam waktu dekat. Kita sudah terlanjur dibelah. Tapi, bukan berarti kita tak bisa bergerak. Kita harus segera mengepak tas dan pulang ke rumah. Api sudah berkobar dan tak ada jalan lain selain pulang. Rekonsiliasi mesti ditempuh, betapa pun pelan dan peliknya itu. Kita harus meninggalkan yang polar.
Pluriverse & Bhinneka
Sebagai sebuah cara berpikir, polarisasi membagi kita jadi dua bagian yang berlawanan. Ia serupa (atau mungkin memang terkait) dengan berbagai dualisme dalam tradisi pemikiran Barat sejak era Descartes: nature-culture, mind-body, subject-object, dan sebagainya. Cara berpikir yang dikotomis itu seringkali terlalu menyederhanakan realitas. Banyak cendekia kemudian berusaha menawarkan jalan keluar dari penjara-penjara Cartesian itu.
Salah satu konsep yang sering muncul dari usaha itu adalah pluriverse. Istilah ini berakar dari gerakan Zapatista di Amerika Latin, dan kurang lebih menjabarkan bahwa banyak semesta eksis bersama (many worlds co-exist).
Secara sederhana, saya memahami pluriverse sebagai posisi ontologis untuk menyadari bahwa ada banyak pengetahuan dan cara untuk hidup. Yang universal dan dikotomis itu cuma rekaan untuk meringkus kompleksitas ke dalam kategori-kategori.
Polarisasi mengerikan karena ia sebenarnya memecah kenyataan yang kompleks ke dalam dua kutub semata: A dan B. Yang di luar dua itu harus dipaksa-masukkan ke dalam A atau B, atau sama sekali tak dianggap ada. Imbasnya, polarisasi menciptakan kita dan mereka, dengan tembok tinggi yang memisahkan keduanya. Tembok itu tinggi menjulang, jauh lebih tinggi dari kotak suara, kantor parlemen, dan istana negara. Lalu, tembok imajiner itu seringkali merasuk terlalu dalam ke keluarga, kantor, pertemanan, dan klik-klik antarmanusia lain.
Di iklim yang mendidih itu, perspektif ala pluriverse akan memberi kita mata baru untuk melihat sekitar. Dalam konteks Indonesia, spirit bhinneka tunggal ika mungkin bisa kita gali ulang.
Sejak kecil dulu, pluralisme selalu diajari bapak-ibu guru di sekolah. Plural adalah kata kunci. Ia memberi kita argumentasi konseptual sekaligus praktikal tentang yang sehari-hari di sini. Ada 269 juta orang Indonesia dan tak adil untuk merangkum semuanya hanya ke dalam dua kutub saja. Tak masalah jika pilihan elektoral yang tersedia cuma dua. Tapi, di luar bilik suara, tak ada alasan untuk mengkotak-kotakkan kita dan mereka.
Jalan pulang yang panjang
Seperti sudah disebut, tak ada jalan pulang yang sederhana untuk keluar dari polarisasi ini. Polarisasi bisa ada dan berkembang karena proses normalisasi yang panjang. Proses itu melewati kanal-kanal yang publik, personal, dan sehari-hari (everyday practices).
Kanal-kanal yang samalah yang harus kita lalui untuk kembali ke yang plural, meninggalkan yang polar di belakang. Kita mesti menempuh jalan pulang itu dengan perlahan, dengan kesadaran bahwa ada A-Z di sekitar kita, dan masing-masing berhak atas eksistensinya.
Kesadaran adalah langkah pertama. Setelah kesadaran adalah dialog. Selanjutnya, kita harus kembali lagi duduk di meja yang sama dengan perbedaan. Di situ kita harus saling bicara dengan terbuka dan apa adanya, tapi tanpa nyinyir dan tendensi untuk nyinyir, serta tanpa perasaan takut keliru.
Anggap saja ini semacam proses hermeunetik yang terapeutik. Saat politik memecah, dialog meleburkan kita kembali ke dalam common sense. Seharusnya, keadaan akan lebih baik saat dialog antar-perbedaan dinormalisasi dan dirutinisasi.
Dan ada baiknya jika media massa berhenti menaburi luka dengan garam. Politik dan segenap dampak sosiologis yang dihasilkannya hari ini hanya sebagian kecil dari peristiwa yang terjadi di negeri ini.
Mungkin ada baiknya kita lebih sering membahas isu-isu yang selama ini tenggelam atau tak mendapat tempat di pemberitaan arus utama. Mungkin ada baiknya kita lebih sering membahas puisi daripada retorika politisi A dan B. Jika itu terjadi, media massa bisa jadi katalis untuk menggerakan massa yang cemas di medsos.
Terakhir, interaksi kita hari-hari ini lebih banyak terjadi di ruang digital. Whatsapp, Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya telah menjadi spasi untuk berkomunikasi. Media sosial dan aplikasi pesan singkat sebagai instrumen rekonsiliasi tak terelakkan.
Di sanalah, dulu, bara disemai dan polarisasi terus dipupuki hingga subur. Jadi, hari ini, kita harus kembali ke ruang-ruang virtual masing-masing dan membagi emoticon-emoticon yang menentramkan. Percayalah, tak ada yang lebih indah daripada pulang ke rumah.