Kabar sedih terjadi beberapa hari lalu. Gajah Sumatera binaan Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Pelalawan Riau bernama Rahman ditemukan mati. Kematian Rahman menambah daftar panjang kematian hewan yang berstatus dilindungi ini. Terlebih ketika ditemukan Rahman berada di dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Tewas dengan diracun, kehilangan satu gading dan kemungkinan gading tersebut hilang ketika dia masih hidup. Sungguh sebuah perbuatan yang biadab.
Menilik riwayat Rahman. Gajah berusia 46 tahun ini merupakan gajah jinak yang digunakan untuk kepentingan balai konservasi guna membantu tugas-tugas mereka. Salah satunya meredakan konflik yang terjadi di antara komunitas gajah dan manusia di hutan. Bayangkan, dengan status Rahman yang sudah terkenal saja, seorang pemburu masih berani membunuh gajah tersebut. Apalagi dengan keadaan gajah lain yang berada jauh dari pantauan petugas?
Permasalahan lingkungan di Indonesia seharusnya masuk dalam skala prioritas utama yang wajib diperhatikan. Sayangnya, kelestarian lingkungan seperti bukan urusan para pemegang regulator. Mereka lebih peduli akan kendaraan listrik yang nyatanya hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
Berbicara mengenai gajah, menurut data dari Kompas, populasi gajah Sumatera terus menyusut, dari 1.300 ekor pada 2014 dan pada 2021 lalu hanya menyisakan sekitar 693 ekor. Jumlah ini terus menyusut sampai angka 50 persen. Kematian demi kematian yang banyak ditemukan pada umumnya disebabkan oleh racun mematikan.
Dalam kematian gajah-gajah ini, kebanyakan lokasi kejadian berdekatan dengan permukiman dan ladang warga yang mengokupasi lahan hutan. Tidak hanya itu, kebanyakan juga kejadian dari kematian ini berada di sekitar perkebunan besar sarat modal hasil konsesi lahan. Semua permasalahan ini tiada muara, gajah mati dan kasus menguap tanpa kabar.
Padahal Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 21 jelas menyebut sejumlah larangan terkait pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa. Ada pengecualian terkait penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa bersangkutan.
Namun, lagi-lagi penegakan hukum yang lemah membuat semua ini seakan sulit ditegakkan. Hal ini juga menyoroti pada jumlah jagawana (polisi kehutanan) di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare. Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya 1 jagawana hanya menjaga 500-1000 hektare.
Selain aspek penegakan hukum yang lemah. Masalah lain adalah kebaikan pemerintah melalui konsesi lahan kehutanan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini terdapat 3,1 – 3,2 juta hektare sawit di kawasan hutan. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Namun, pemerintah malah berencana memutihkan atau melegalkan 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Pemutihan tersebut merupakan langkah penyelesaian permasalahan kebun sawit yang sesuai dengan mekanisme Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga, selama delapan tahun berkuasa pemerintahan Presiden Jokowi telah memberikan izin konsesi lahan seluas 11,7 juta hektare (ha). Selama periode 2014-2022, konsesi lahan yang paling banyak diberikan berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni 5,37 juta ha.
Walhi dan Auriga juga mencatat, sejak era Soeharto sampai Jokowi hak pengusahaan dan penguasaan lahan paling banyak diberikan kepada korporasi, sedangkan yang diberikan untuk rakyat porsinya sangat kecil. Dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan bagi rakyat, tapi 94,8 persen bagi korporasi.
Maraknya izin pembukaaan lahan hutan ini tentu berdampak pada rumah para hewan liar termasuk gajah. Konflik antar hewan-manusia makin marak terjadi, luas hutan lindungan semakin menyempit, komitmen-komitmen tentang kepedulian terhadap lingkungan seolah hanya menjadi ‘omon-omon’ saja. Sebab alam dibiarkan rusak karena keberpihakan pada korporasi dan ketidakpedulian pada penegakan hukum terhadap para perusak hutan. Kita butuh sikap yang tegas dari pemegang kekuasaan sebagai bentuk komitmen kepeduliaan dan keperpihakan pada hutan yang merupakan tempat bagi jutaan flora dan fauna di Indonesia.