Jumat, April 26, 2024

Kemana Humor Khas Jokowi?

Ulwan Fakhri
Ulwan Fakhri
Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) | www.ihik3.com

Tensi Pilpres 2019 yang makin tinggi tampaknya membuat petahana gerah juga. Komunikasi politik Joko Widodo terasa lebih agresif belakangan, sehingga membuatnya tampak tertekan, panik, dan terseret permainan oposisi.

Tengok saja bagaimana ia sampai harus turun tangan sendiri menangkis dan menyerang balik kubu lawan terkait hoaks dan prediksi bubarnya negara Indonesia, sampai menuding Prabowo-Sandi berparadoks: rajin melantunkan narasi antiasing tetapi menggunakan konsultan asing (propaganda ala Rusia).

Jokowi kini beranjak ke strategi komunikasi menyerang habis-habisan, meninggalkan gaya equalitarian yang biasanya ia adopsi. Wakil Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Meutya Hafid, bahkan telah menyatakan secara terbuka kalau gaya ini akan terus dipakai sampai akhir laga.

Hal ini memang disengaja, dengan harapan bisa meningkatkan elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo tersebut sembari mempertahankan pendukungnya agar tak sampai bermigrasi ke seberang.

Transformasi ini lantas memunculkan pertanyaan, apakah strategi “gaspol” dengan risiko mengorbankan ciri khas Jokowi yang “merakyat” merupakan satu-satunya cara terekfektif untuk sekarang?

Dalam perspektif penulis, atribut “merakyat” Jokowi dalam retorikanya sejatinya dapat terlihat dari penggunaan humornya, terutama yang dengan percaya diri mengungkap kekurangan sendiri (biasa disebut dengan self-deprecation, self-mockery, atau self-effacing).

Presiden Amerika Serikat, dari Abraham Lincoln, Ronald Reagan, sampai George Bush dan Barrack Obama tak asing dengan seni wawas diri ini. Partington dan Taylor, dalam The Language of Persuasion in Politics: An Introduction (2018), menjelaskan kalau strategi ini lazim dipakai demi mendongkrak popularitas si elit humoristis itu sendiri. Menunjukkan kemampuan bisa menerima lelucon walaupun itu agak getir adalah “jalan tol” untuk menaikkan likeability, reaksi positif publik, hingga mendapatkan voter.

Karakter humoris pimpinan negara justru makin menonjol seiring tak terpisahkannya media massa dengan kehidupan masyarakat. Disertasi David Rhea (2007) yang meneliti 24 siaran debat pemilihan presiden Amerika Serikat dari tahun 1960 sampai 2004 berhasil mengungkap kalau kandidat yang humoris adalah dambaan media massa.

Setelah ada humor sensasional dari kandidat saat adu visi dan misi, maka meningkatlah sirkulasi pemberitaan yang bersangkutan di koran setempat. Implikasi ini jelas menguntungkan bagi para pemain di sistem politik elektoral yang amat bergantung pada popularitas.

Jokowi sebenarnya tak awam dengan khasiat humor yang satu ini, dari menyoroti fisiknya yang terlampau kurus saat hendak menunggangi kuda milik Prabowo Subianto tiga tahun lalu sampai mengakui kalau dirinya kalah karisma dengan Susilo Bambang Yudhoyono saat memberi sambutan di Kongres Partai Demokrat di Surabaya tahun 2015. Saat membuka Kejuaraan Silat Nasional 2017, ia kembali melempar lelucon untuk menanggapi tudingan bahwa ia adalah pemimpin yang otoriter.

“Masa wajah saya kayak gini wajah diktator?” kelakarnya kala itu yang diikuti riuh tawa hadirin.

Di samping itu, dengan aktif menjadi pengritik dan pengoreksi diri sendiri, Jokowi sejatinya mempunyai kesempatan untuk membungkam oposisi yang hendak mengeksploitasi kelemahannya. Sebabnya, ia telah mengetahui dan mengungkapkan langsung kekurangannya itu. Menampilkan kewawasan diri secara humoristis juga menunjukkan bahwa seorang politisi sudah percaya diri dengan pelbagai kualitas dan atribut yang melekat padanya (Bippus, dalam Attardo, 2014).

Liz Sills (2015) dalam esainya berjudul “He Approves This Message”: Presidential Self-Deprecating Humor as a Violation of a Social Contract menjelaskan kalau dalam khazanah politik, para politisi dan kepala negara biasa memakai humor wawas diri untuk membungkam kritik yang dialamatkan pada mereka. Minimal, para elit berkesempatan untuk mengklarifikasinya pada publik tanpa nada ofensif yang bukan tidak mungkin justru dapat memperpanjang problematika atau memperkeruh suasana.

Ya, self-deprecation merupakan senjata yang masih sangat mungkin dipakai oleh Jokowi di posisi saat ini. Seperti kata Bre Redana, dalam kolomnya di Harian Kompas (27/11/2019), “Menertawakan diri sendiri dianggap sikap yang sehat, lebih sehat dibandingkan melakukan teror.” Dengan memosisikan diri di bawah lawan, empati kawan sekaligus lawan bukan tidak mungkin untuk dipertahankan atau direbut.

Contoh nyatanya telah dikupas oleh Sachiko Kitazume (2008). Paper-nya bertajuk The Self-deprecating Humor of George W. Bush: Its Functions and Effects memberikan gambaran bahwasannya lelucon merendahkan diri sendiri telah memberikan jalan bagi mantan presiden Amerika Serikat, George Bush, untuk menuai apresiasi dan simpati, sembari merespons sentimen miring yang dialamatkan padanya. Setidaknya, hal ini dapat terlihat dari apresiasi media yang mencuplik ucapan Bush dan penggambaran audiens yang tertawa atau terhibur dengan ucapan tersebut. Lagi-lagi, pemberitaan positif menjadi buah dari praktik ini.

Hemat penulis sebagai rakyat, pemegang hak pilih di kontestasi Pilres 2019, sekaligus pemerhati humor, Jokowi perlu mengubah atau mengembalikan teknik retorikanya. Sebab, ada yang hilang dari ujarannya belakangan, yakni keandalan dalam merespons problematika dengan humor khasnya. Sebagai pimpinan negara, sikap ofensifnya justru berpotensi memancing serangan balasan atau memperpanas suhu di akar rumput yang memang sudah tinggi. Humor self-deprecation justru bisa menyetop sirkulasi menyesatkan tersebut.

Daripada repot-repot meladeni arus ciptaan pihak yang menyerang, agaknya Jokowi bisa terus mengalirkan dukungan kepada dirinya dengan bekerja memberi bukti nyata sembari berkelakar bersama rakyatnya. Masyarakat sepertinya lebih membutuhkan komentar-komentar satir santai lagi macam “Yang suruh makan jalan tol siapa? Makan semen sama aspal malah sakit perut” berikut eksplanasi yang terkait dari Jokowi ketimbang intimidasinya.

Referensi:

Attardo, S. (ed.) (2014). Encyclopedia of Humor Studies. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, & Washington DC: SAGE Reference.

Kitazume, S. (2008). The Self-deprecating Humor of George W. Bush: Its Functions and Effects. Diakses dari https://kindai.repo.nii.ac.jp/?action=repository_action_common_download&item_id=7837&item_no=1&attribute_id=40&file_no=1.

Partington, A. & Taylor, C. (2018). The Language of Persuasion in Politics: An Introduction. Abingdon & New York: Routledge.

Redana, B. (2019, 27 Januari). Kutukan Mpu Gandring. Harian Kompas.

Rhea, D. (2007). Seriously Funny: A Look at Humor in Televised Presidential Debates (Doctoral thesis).

Sills, L. (2015). “He Approves This Message”: Presidential Self-Deprecating Humor as a Violation of a Social Contract. Florida Philosophical Review, 15(1)h.37-49.  

Ulwan Fakhri
Ulwan Fakhri
Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) | www.ihik3.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.