Dalam Pandemi ini topik politik tentang masa depan Indonesia dalan Kawasan Asia Tenggara sangat menarik dibahas. Masa depan Asia Tenggara berada ditangan generasi modern ini.
Seiring dengan semakin kuatnya semarak keislaman di Asia Tenggara, patut optimis bahwa komunitas Muslim di kawasan ini akan tampil sebagai salah satu kekuatan budaya yang penting dan diperhitungkan. Optimisme ini tentunya perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah nyata dan perubahan.
Meliputi peningkatan kerjasama pemberdayaan ekonomi umat, penguatan kerjasama pendidikan, penguatan kerjasama lembaga-lembaga sosial keagamaan, kerjasama penelitian dan pengembangan, penerbitan karya-karya akademis, serta berbagai bentuk kerjasama program lainnya.
Problem utama umat Islam kawasan Asia Tenggara saat ini adalah masih tingginya angka kemiskinan dan rendahnya akses sebagian umat terhadap sumber daya ekonomi yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kualifikasi keilmuan, terbatasnya penguasaan teknologi, dan terbatasnya modal.
Langkah konkret Indonesia misalnya, dalam konteks mengurangi angka kemiskinan. Indonesia sudah cukup lama konsen terhadap pendidikan Islam yang berkualitas bagi masyarakatnya, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Untuk level perguruan tinggi Islam yang diselenggarakan pemerintah misalnya, pemerintah melalui Kementerian Agama. telah menyelenggarakan tidak kurang dari enam Universitas Islam Negeri (UIN), 15 Institut Agama Islam Negeri (IAIN)—yang telah didirikan sejak tahun 1960-an, dan 31 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).
Khusus untuk UIN, tidak hanya menyelenggarakan program studi studi-studi Islam, namun juga telah mengembangkan bidang kajian program studi ilmu-ilmu sains dan teknologi.
Tentu saja proses pendidikan yang diupayakan melalui berbagai institusi pendidikan Islam, baik perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan lain, tanpa diragukan lagi akan memainkan peran penting dalam proses modernisasi masyarakat Muslim. Terbukti, sejumlah alumni lembaga pendidikan ini memiliki pemikiran Islam yang progresif, inklusif dan toleran.
Selain itu, dalam rangka penguatan kualitas sumber daya manusia Muslim Asia Tenggara, perlu juga diperkokoh kerjasama dalam bidang pendidikan. Sebagai modal sosial yang paling penting dan utama bagi penguatan kontribusi Islam terhadap wajah peradaban di Asia Tenggara, perhatian terhadap kerjasama pendidikan perlu diperkuat dan diperluas dalam berbagai bentuk,
Misalnya dengan penguatan manajemen kelembagaan, pengembangan desain pembelajaran, penyediaan bahan pustaka, pengembangan teknologi pendidikan, peningkatan kualitas tenaga dan guru/dosen, pengembangan model, pertukaran siswa dan mahasiswa, serta berbagai kerjasama pendidikan lainnya.
Kerjasama ini tidak hanya dimaksudkan bagi pemerataan akses pendidikan kepada segenap lapisan masyarakat, tetapi juga diharapkan dapat terbangun sumber daya manusia Muslim yang semakin berkualitas dan mampu bersaing pada tataran global. Adanya, fenomena “panen raya” intelektual Muslim dalam dua dekade terakhir ini diharapkan dapat diperkuat dalam bentuk penguasaan akses terhadap berbagai bidang usaha dan lembaga ekonomi bagi pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Namun ada pula aspek yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam upaya membangun peradaban Islam Asia Tenggara yang diproyeksikan sebagai kiblat baru peradaban Islam dunia. Maraknya gerakan Islam radikal yang muncul di kawasan Asia Tenggara harus mendapatkan perhatian ekstra serius dari semua pihak.
Sekarang inilah waktu yang tepat untuk para sarjana, pemimpin, dan seluruh elemen Muslim Asia Tenggara untuk terus mengembangkan ajaran Islam yang moderat sebagai pembanding atas gerakan radikalisme Islam. Seluruh elemen kaum Muslim berkewajiban untuk menyosialisasikan Islam Asia Tenggara sebagai Islam moderat, Islam yang cinta damai dan aman.
Problem radikalisme yang muncul dalam Islam setidaknya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, salah pemahaman terhadap doktrin Islam untuk menjustifikasi paham radikalisme dan terorisme. Kedua, maraknya praktik kekerasan yang tidak dapat disangka berkembang di sejumlah negara Muslim—yang sebenarnya sebagai respon atas kondisi sosial politik di masing-masing kawasan.
Di sinilah diperlukan upaya komunikasi, informasi, dan edukasi bagi publik bahwa praktik rasikalisme dalam Islam merupakan sebuah distorsi pemahaman keagamaan.
Selain melalui jalur pendidikan yang diselenggarakan melalui institusi pendidikan, upaya sosialisasi dan edukasi tentang Islam moderat menjadi sangat efektif jika dilakukan melalui media.
Upaya yang telah dilakukan Kementerian Agama yang bekerjasama dengan The Muslim World League pada Konferensi Internasional Media Islampada bulan Desember 2011 yang dilaksanakan di Jakarta merupakan tonggak sejarah baru bagi Islam Asia Tenggara. Dalam konferensi tersebut, Indonesia telah ditunjuk oleh peserta konferensi untuk menyelenggarakan sejumlah agenda yang dapat memperkuat posisi media Islam.
Kesempatan ini benar-benar harus dimanfaatkan, karena sebagai negara dengan umat Muslim terbesar sudah selayaknya Indonesia memimpin dan memberikan warna bagi masa depan Islam untuk kepentingan umat secara luas.
Agar bisa melakukan fungsi sosialisasi dan edukasi secara maksimal, posisi media harus diperkuat. Media di negara-negara Muslim sekarang harus diakui dengan jujur masih sangat lemah. Konten pemberitaan media di negara-negara Muslim, terutama di kawasan Asia Tenggara, belum ada yang fokus untuk pemberitaan Islam yang moderat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa arah dan orientasi pemberitaan media masih dikuasai the big three yang itu nota bene dikuasai Barat. Ini menjadi persoalan serius bagi upaya pembangunan kiblat baru peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara. Karena dengan demikian, arah pemberitaan akan terus dikendalikan dan ditentukan oleh tiga besar pemilik agen media internasional tersebut.
Sehingga tidak heran jika pemberitaan Islam yang muncul di tengah-tengah masyarakat masih didominasi dengan wajah Islam yang sangat bertentangan dengan spirit Islam yang sesungguhnya, yakni Islam yang cinta damai, yang lebih dekat dengan representasi wajah Islam di kawasan Asia Tenggara. Tentu saja harus ada upaya untuk mengakhiri fenomena ini, di antaranya dengan cara memperkuat peran media di negara-negara Muslim.