Jumat, April 19, 2024

Keharusan Islam Menjaga Demokrasi?

Muhammad Kamarullah
Muhammad Kamarullah
Penikmat pisang goreng dan teh hangat.

Demokrasi memang bukan sebuah system yang paling ideal, tetapi demokrasi adalah sistem yang baik dalam skup yang paling minimal. Sebab dalam pemerintahan manapun setiap sistem kenegaraan selalu saja mengalami pergantian dan perbaikan.

Begitupun demokrasi yang Indonesia ilhami saat ini. Mengutip Cak Nur “intisari demokrasi adalah proses dinamis ke arah perbaikan sehingga pendefenisian yang terlalu kaku dan bersifat final tidaklah tepat”.

Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi menuju konsolidasi demokrasi.

Konsolidasi demokrasi dan rekonsiliasi politik di tingkat elite hendaknya berdampak positif sampai ke akar rumput. Lupakan semua perselisihan yang berkecamuk saat pemilu. Wacana tentang politik identitas dan populisme yang selalu dilengketkan dengan agama sudah seharusnya direfleksikan sebagai sebuah masalah yang patut untuk dihilangkan bagi setiap pemeluk agama, khususnya Islam sendiri.

Negara demokrasi adalah negara memiliki sistem terbuka sehingga promosi sosial, mobilitas vertikal tidak lagi berdasarkan hal-hal askriptif, misalnya suku apa, bahasa daerah apa, keturunan siapa, itu tidak lagi relevant, tetapi yang dipentingkan adalah nilai pokok yang ada dalam demokrasi itu. Yakni Kebebasan, Keadilan dan Musyawarah.

Politik harus berjalan normal kembali sehingga semua warga bergandengan tangan. Saatnya waktu yang tepat untuk kembali merawat demokrasi dari fanatisme Agama, yaitu demokrasi dalam arti sesungguhnya.

Wacana tentang relasi agama dan demokrasi seringkali menjadi perbincangan public. Fanatisme keagamaan yang di praktekkan sering berdampak pada distabilitas kehidupan. Ucapan tentang domain demokrasi adalah urusan publik dan agama adalah urusan private sering diglorifikasikan. Akhirnya, dalam kehidupan demokrasi Indonesia terdapat beberapa problem yang cukup serius dan sensitive.

Kolusi, korupsi dan nepotisme yang menjadi salah satu problem di negara mayoritas Muslim, ini muncul antara lain karena prinsip-prinsip ajaran Islam tidak dihadirkan. Pada akhirnya melecehkan nilai demokrasi itu sendiri. Gagasan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin pun mengalami pelemahan secara sistemik.

Hal ini telah diucapkan oleh seorang tokoh pembaharuan Islam Nurcholis Madjid, ia adalah relasi agama dan demokrasi. Pertama, problem filosofis yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total maka akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, problem historis-sosiologis, ketika kenyataannya peran agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya.

Secara tegas Islam adalah agama yang menganjurkan tentang perbaikan dan kebaikan bersasma. Artinya Islam sebagai agama adalah baik secara teologis dan sosioligis dalam mendukung demokratisasi. Bagi kalangan neo-modernis, agama dan demokrasi sejatinya bisa disatukan. Demokrasi dipandang sebagai pertandingan kehidupan politik yang paling layak, dan agama sebagai wasit moral dalam praktik demokrasi.

Tjokroaminoto bersama para sejawat modernisnya di SI/PSII-sebagai orang-orang yang terbuka terhadap pemikiran politik Barat kontemporer, percaya bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi haruslah menjadi dasar bagi perjuangan Islam.

“Jika kita, kaum Muslim, benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati”. Bahkan Mohammad Natsir, yang sering dinisbatkan sebagai intelektual Islamis yang memperjuangkan negara Islam tak pernah mendikotomikan Islam dan demokrasi.

Demokrasi dalam Islam setidaknya identic dengan konsep “syura” yang mengandung prinsip-prinsip kebebasan (al-hurriyah), kesamaan (al-musawa), toleransi (al-tasamuh), keadilan (al’adalah).

Selain itu pula seluk-beluk demokrasi banyak berlandaskan teks Al-quran, misalnya tentang kebebasan dan tanggung jawab individual (QS. 6: 94), tentang kebebasan eksprimen (QS. 18: 29), tentang sikap kebijaksanaan (QS. 16: 125), tentang keadilan (QS. 5: 58, 4: 135), dan tentang musyawarah (QS. 3: 159, 42: 38). Nilai-nilai fundamental ini menjadi pesan mendasar dalam kitab suci yang menuntut kaum muslim mampu mengoperasionalkannya.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die menyatakan agar tatanan demokrasi suatu negara dapat tetap terawat, sebaiknya memperhatikan empat tanda peringatan perilaku politikus yang dapat mengancam demokrasi.

Tanda itu adalah menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata atau perbuatan, menyangkal kemenangan legitimasi lawan, menyerukan kekerasan, serta menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan politiknya. Menurut dia, apabila seorang memenuhi salah satu dari empat perilaku tersebut, hal itu sudah menjadi ancaman terhadap tatanan politik demokrasi suatu negara.

Charter of Madina atau Piagam Madinah masih sangat relevan untuk dieksplorasi lebih lanjut dan diimplementasikan dalam konteks politik kebangsaan dan kenegaraan kontemporer.

Piagam Madinah mengajarkan pelaksanaan politik pemerintahan yang tidak kaku. Efek positifnya terasa dengan menunjung tinggi etika, moralitas, ikatan kepercayaan, dan rasa kasih sayang. Piagam Madinah juga mampu melindungi dan mengatur kehidupan bernegara yang multi-etnis dan berbeda-beda agama. Hal ini menjadi bukti telah terjalankannya iklim demokrastis dan keadilan di Madinah sendiri.

Kaum beragama dan pemimpinnya (Islam) Islam sudah seharusnya menegakkan prinsip-prinsip demokrasi itu. Imam Al-Gazali menyatakan: “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan adanya dunia. Kekuasaan dan agama tidak mungkin dipisahkan. Agama adalah tiang, penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan keseimbangan akan terwujud kecuali dengan penguasa”.

Muhammad Kamarullah
Muhammad Kamarullah
Penikmat pisang goreng dan teh hangat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.