Kamis, April 25, 2024

Kegagalan Melki Membaca Made Supriatma

Pavel Alamsyah
Pavel Alamsyah
Sehari-sehari bekerja paruh waktu di pembebasan nasional

Malam ini agenda saya untuk istrahat sejenak memeras otak untuk berpikir dan menjauhkan sejenak mata saya yang mulai rabun akibat terlalu lama terpapar layar terganggu oleh tulisan, lebih tepatnya kegagalan Melki dalam membaca tulisannya Made Soal Katolik dan Anjing Itu.

Kegagalan itulah yang bagi saya membuat Melki telah secara serampangan menuduh Made “buta pikir” dalam tulisannya Buta Pikir ‘Made Supriatma’ Soal Katolik dan Anjing Itu. Saya bukan hendak bermaksud mendahului atau “sok” menjadi juru bicara Made untuk menjawab tulisannya Melki.

Tapi kegagalan membaca pesan yang disampaikan oleh seseorang seperti yang dialami Melki inilah yang mendorong saya untuk menuliskan pandangan saya atas kegagalan Melki dalam membaca tulisannya Made, meskipun pada dasarnya mengganggu rencana awal saya malam ini.

Langsung saja, mari kita periksa dimana letak kegagalan Melki. Kegagalan Melki dalam membaca tulisan Made sebenarnya telah jelas terlihat ketika dia mencoba menafsirkan inti dari tulisan Made.

“Inti dari persoalan yang ditulis Made ialah tentang hebohnya masyarakat ‘muslim’ Indonesia ketika ada perempuan yang membawa anjing ke dalam masjid. Dikabarkan karena perempuan tersebut mengalami depresi.

Tapi hal itu tidak menyurutkan kehebohan kasusnya, apalagi perempuan tersebut merupakan seorang yang menganut kepercayaan yang berbeda dari mayoritas; Katolik”, tulis kawan kita yang terlalu mudah memvonis seseorang “buta pikir” ini.

Pada bagian ini, Melki berusaha menunjukan kesimpulannya bahwa inti dari tulisan Made adalah sebatas pada hebohnya masyarakat “muslim” Indonesia dalam menanggapi persoalan perempuan (depresi) yang membawa anjing ke dalam masjid.

Dia gagal memahami bahwa, tidak sekedar kehebohan soal perempuan dan anjing yang dia bawa masuk yang ingin disampaikan Made dalam tulisannya. Lebih dari itu, bagi saya Made justru hendak menunjukan fakta yang belakangan ini menjadi penyakit massal di Indonesia, yakni penyakit yang mudah terprovokasi. Yang oleh Made disebut masyarakat schizophrenic.

“…Seorang penceramah agama kabarnya menggaraminya sehingga sempurna sudah kejadian ini menjadi huru-hara di media sosial. Orang berdebat kiri dan kanan”, tulis Made. Pada kenyataannya memang demikian.

Kebanyakan masyarakat kita mudah terprovokasi oleh penyampaian seseorang tanpa mencari tahu terlebih dulu fakta-fakta sebenarnya, terlebih kalau seseorang yang menyampaikan “provokasi” tersebut dilabeli sebagai penceramah terkenal.

Tentang penyebab kehebohan berlebihan akibat dari provocateur ini Made menulis, “Semua dalil agama dikemukakan — tentang najisnya anjing. Tentang perempuan yang tidak melepas sepatunya. Tentang tidak tolerannya si perempuan Katolik ini. Tentang perasaan teraniaya yang dimunculkan oleh para pengipas (provocateur). Kemudian ada kabar tambahan. Perempuan itu ternyata menderita depresi. Tapi itu tidak menghentikan perdebatan”.

Made tidak hanya sebatas membahas pada kehebohan perdebatan yang timbul akibat perbuatan perempuan ini. Lebih dari itu, dia hendak menunjukan bagaimana peran penting provokator dalam membakar kemarahan masyarakat pada hampir setiap kasus yang ada kaitannya dengan agama.

“Saya melihat dengan masygul orang-orang yang terbakar oleh bahan-bahan yang disiarkan oleh beberapa penceramah agama. Di media sosial, orang-orang mengeroyok seorang kawan, yang saya tahu sangat dalam ilmu agamanya. Para pengeroyoknya justru menuduhnya tidak punya ilmu agama” tulis Made.

Selanjutnya Melki menuduh Made terlalu berandai-andai karena menganggap bahwa mudahnya masyarakat terprovokasi ini adalah “simptom dari sebuah penyakit sosial yang sudah sangat mendalam”.

Bagi Melki penyakit sosial masyarakat yang gampang terprovokasi ini hanya terjadi dalam jangka pendek –pada saat prosesi pemilu saja, setelah itu masyarakat akan seperti biasanya, “Pada dasarnya semua itu bersifat jangka pendek, yaitu berkenaan dengan prosesi pemilu. Kalau Made bilang ini adalah symptom yang mendalam, bagi saya hal tersebut terlalu berandai-andai”.

Entah karena ketidaktahuan Melki akan penyakit gangguan mental schizophrenic, ataukah karena dia terlalu terburu-buru menjawab tulisan Made sehingga  dia menganggap bahwa persoalan penyakit sosial ini hanyalah akibat yang ditimbulkan oleh perbedaan pilihan masyarakat saat pemilu. Biarkan dia menjawabnya di lain waktu.

Lagi pula “mendalam” yang dimaksud Made dalam tulisannya menurut saya bukanlah persoalan jangka panjang atau jangka pendek.

Mengenai persoalan penyakit sosial ini, meskipun Made tidak secara lengkap menguraikannya. Tapi dia telah memberikan gambaran yang cukup mudah dipahami, “Kepribadian ini dengan sangat mudah dieksploitasi. Tiupkanlah sedikit harapan, maka orang menjadi bergetar.

Tiupkanlah sedikit kabar yang samar-samar, orang akan mengamuk. Bicaralah dengan kelembutan yang plastis, orang akan menangis tersedu-sedu. Orang menjadi sangat gampang terharu, marah, jengkel, benci, dan mengamuk”.

Tak ada api tanpa bara, kira-kira seperti itulah yang ingin digambarkan Made. Fenomena yang beberapa tahun belakangan terjadi di masyarakat menang menunjukan bahwa orang akan sangat mudah terhasut oleh sesuatu yang disampaikan oleh seseorang yang dianggap cukup terkenal, termasuk oleh penceramah-penceramah agama seperti yang dimaksud made dalam tulisannya tersebut.

Bahkan Made juga menjelaskan bahwa ada industri yang sudah tumbuh untuk mewadahi dan menjadi kaya akibat memanfaatkan penyakit sosial (masyarakat schizophrenic) ini. Praktis, penyakit sosial ini bukan hanya karena perbedaan pilihan saat pemilu.

Dan yang terakhir, sekaligus yang menjadi dasar sehingga Melki menggap bahwa Made “buta pikir” adalah statement yang dikutip Made dari seorang kawannya di bagian akhir tulisannya.

Melki menuliskan, “disini jelas bahwa statement tersebut sangat dipercayai Made sebagai suatu perbandingan sebanding secara sosial. Bahkan ia menyebutnya status itu sebagai statement yang jernih. Inilah yang saya maksud ‘Buta Pikir’ pada tulisan yang dibuatnya. Karena ia seolah mengirim pesan bahwa umat muslim ini sangat brutal, tak bisa dikendalikan, maunya menang sendiri dan kalau bertindak sesukannya saja.”

Kalau mbah Marx pernah bilang bahwa, “Sejarah selalu berulang. Yang pertama sebagai lelucon, yang kedua sebagai tragedi”, maka salah satu contohnya adalah apa yang diperlihatkan melki dalam tulisannya ini. Sudah gagal membaca tulisannya Made, gagal pula membaca status temannya Made.

“Schizophrenia menghilangkan nurani”, tutup Made dalam tulisannya. Alih-alih menuduh umat islam brutal, atau bahkan menolak mengutuk setiap tindakan yang (benar) menistakan agama, dalam tulisannya ini Made justru lebih pada mengingatkan kepada kita bahwa penyakit sosial ini benar-benar telah meniadakan nurani dalam diri kebanyakan orang yang terprovokasi oleh ucapan-ucapan provocateur dalam merespon hampir setiap masalah yang ada kaitannya dengan agama.

Jaga Kewarasan, Jaga Nurani!

Pavel Alamsyah
Pavel Alamsyah
Sehari-sehari bekerja paruh waktu di pembebasan nasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.