Senin, Oktober 7, 2024

Kebangkitan PKI: Paranoia Korban Hegemoni

Bustanul Arif
Bustanul Arif
Freelance Writer dan Aktivis Pemberdayaan Masyarakat.

Apa yang terjadi dua hari kemarin, Sabtu dan Minggu, 16-17 September 2017 di depan gedung YLBHI, yaitu pembubaran paksa diskusi pelurusan sejarah 65 dan pengepungan massa yang memaksa merangsek masuk untuk menyerbu kantor LBH yang berakhir bentrok dengan aparat kepolisian, adalah bukti nyata bahwa paranoia kebangkitan PKI masih menghantui banyak elemen di negeri ini. Umumnya adalah mereka yang tidak membaca sejarah dengan benar atau mempercayai sejarah versi orde baru. Mereka adalah korban hegemoni dari narasi besar kebohongan yang dibuat oleh orde baru untuk melanggengkan kekuasaan yang tiranik.

Kita tidak menafikan bahwa negeri ini punya sejarah yang kelam menyangkut pembantaian besar-besaran. Darah berceceran di ladang-ladang. Tapi apakah semua itu terjadi begitu saja. Tidak. Semua telah dimainkan. Ada tangan-tangan besar kekuasaan yang bermain yang juga melibatkan konspirasi internasional. Saat itu eranya adalah perang ideologi. Di berbagai belahan bumi perang yang terjadi adalah perang antar ideologi. Tapi saat ini, tentu saja semua sudah selesai. Era ideologi telah selesai. Kenapa kita kembali berkutat di sini?

PKI, selama masa kekuasaan orde baru (Soeharto), adalah stempel keramat “stigmatisasi” yang bisa membuat siapa saja kehilangan nyawa. Tak peduli mereka betul-betul menjadi bagian dari partai itu atau tidak, asal mereka pernah berhubungan dengannya, tamatlah riwayatnya. Politik stigmatisasi dijalankan untuk memberangus siapa saja yang melawan kekuasaannya. Narasi-narasi sejarah ditulis, film dibuat, semua adalah alat propaganda kekuasaan yang jelas-jelas banyak berisi kebohongan. Rakyat selama 32 tahun dicekoki dengan informasi dan cerita kebohongan ini. Alhasil, kita-kita yang menggalami masa-masa kekuasaan orde baru adalah korban hegemonik cerita-cerita besar kebohongannya, seperti yang setiap 30 September dijejalkan ke kita melalui film G30S PKI.

Saat gelombang reformasi datang dan meruntuhkan kekuasaan orde baru, tentu alam bawah sadar kita tak serta merta bisa dipulihkan. Paranoia akut masih bercokol kuat di pikiran. Sehingga ketika kata-kata atau idiom-idiom kiri terdengar kita masih mudah menjadi ketakutan: jangan-jangan PKI akan bangkit lagi. Lebih parah dari itu, kita malah berhalusinasi bahwa mereka benar-benar akan bangkit. Bibit-bibitnya adalah wacana-wacana kritis, diskusi tertutup, pembacaan puisi, dan lain-lain yang beridiom kiri atau bernuansa merah. Dalam bahasa psikologi, menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, sebenarnya kita telah mengalami pembajakan pikiran.

KOMUNISME TELAH MATI

Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History telah menggambarkan bahwa sejarah pertarungan ideologi telah selesai. Kemenangan ada di pihak kapitalisme. Dan saat ini kita melihat bahwa negara-negara besar komunis pun telah berubah wajah menjadi kapitalis. Identitas negara komunisme hanya menjadi jubah, namun tubuh yang dibalutnya adalah tubuh kapitalis dengan watak dan kecenderungan yang benar-benar kapitalis. So, apa yang harus ditakutkan?

Jadi sejatinya, sebagai sebuah ideologi komunisme telah mati. Ia betul-betul tak lagi laku lagi untuk dijual sebagai mimpi-mimpi. Selain karena lemah di dalam dirinya sendiri karena menafikan kecenderungan mendasar manusia untuk memuaskan diri, lawan beratnya, yaitu kapitalisme, memiliki kecerdasan yang luar biasa untuk selalu memperbaiki diri. Ia bisa merevisi dirinya sendiri, memperbaiki kelemahan-kelemahan, bahkan memperbaiki watak jahatnya sendiri.

Tapi mungkin mereka yang saat ini sedang paranoid dan terus berhalusinasi tentang bangkitnya komunis (PKI) ini tak pernah membaca buku atau membaca sejarah perkembangan dunia. Bahwa di luar sana lompatan demi lompatan telah terjadi. Dan kehidupan saat ini menawarkan warna yang lebih cerah dari sekedar hitam putih sejarah yang kelam yang pernah kita miliki. Mereka adalah korban-korban hegemoni orde baru yang tidak mau atau tidak siap untuk move on, membuka mata pada gemerlapnya peradaban dan masa depan dunia.

Ini sekaligus ironi, mengapa di era informasi dan ledakan digital saat ini, kita masih saja terkooptasi oleh narasi-narasi kebohongan, isu-isu murahan yang tidak mencerdaskan, dan halusinasi-halusinasi ketakutan yang justru memenjarakan akal sehat dan pikiran. Padahal di luar sana, dunia bergerak dengan begitu cepatnya. Yang lain sudah membicarakan kehidupan di angkasa, lompatan kuantum, kita masih terjebak di sini, menghantui diri sendiri dengan isu murahan yang kita produksi sendiri dan kita percayai sendiri. Waraskah kita?

WASPADA NEO ORDE BARU

Isu bangkitnya PKI dan sensitifitas kita terhadap idiom-idiom kiri menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan kita masih rendah. Sebagai bangsa kita masih tergolong illiterate karena gagap membaca sejarah dan kecenderungan peradaban. Hal ini tentu menjadi ruang yang subur dan momentum yang pas bagi bangkitnya Neo-Orba.

Kita ingat bagaimana watak Orba dengan politik stigmatisasinya. Yang perlu dikhawatirkan adalah ketika isu-isu dan wacana kebangkitan komunis ini terus dimunculkan dan dimassifkan, ini akan mempengaruhi alam bawah sadar kita semua dan membuat kita akan betul-betul mempercayainya. Dan jika ini terjadi, maka praktik kekuasaan yang akan berlaku adalah praktik kekuasaan ala orde baru, yakni stigmatisasi menjadi jalan efektif untuk memberangus kebebasan dan mengerdilkan demokrasi.

Jika ini terjadi, maka segala ruang dialektik akan tersumbat, arus informasi akan terkenadali oleh kekuasaan, dan perkembangan intelektual akan mandeg. Apakah ini yang kita inginkan? Realitasnya, bahkan para aparatur negara seperti kepolisian dan tentara pun masih banyak yang belum melek soal ini. Buktinya, sering terjadi di mana-mana pembubaran diskusi, bedah buku, pembacaan puisi, pemutaran film, dan lain-lain yang masih marak. Sebagian lagi aktornya adalah ormas-ormas tertentu yang dibiarkan saja oleh aparat. Ini menjadi PR kita untuk mengatasinya, yakni bagaimana mencerdaskan para aparatur negara itu juga, selain rakyat kita tentunya.

Di sinilah pemerintah harus mulai terlibat. Aparat adalah alat negara, alat kekuasaan. Maka pemegang kuasa harus memiliki kesadaran akan bahayanya kecenderungan anti intelektualisme dan anti demokrasi ini. Saat ini adalah era keterbukaan, era kebebasan. Ruang dialog ada di mana-mana. Mestinya semua pihak bisa memanfaatkan ruang-ruang yang ada atau yang bisa diciptakan itu untuk membangun kesadaran baru dan produktivitas yang akan berdampak baik pada negeri ini.

Kalau para elit hanya berebut kuasa, maka sampai kapanpun rakyat akan terjebak pada kebodohan dan jumudnya pikiran. Lalu kapan negeri ini akan ada di puncak tertinggi? Mari semua pihak bersinergi untuk membangun kesadaran ini. Jangat terjebak pada halusinasi. Saatnya move on dan mengembangkan diri, bersama-sama membangun negeri.

Kutai Kartanegara, 18 September 2017

Bustanul Arif
Bustanul Arif
Freelance Writer dan Aktivis Pemberdayaan Masyarakat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.