Jumat, Maret 29, 2024

Kearifan Lokal Generasi Muda di Era Milenial

dita tuasikal
dita tuasikal
Dita Fomara Tuasikal Mahasiswa Manajemen 16 Universitas Muhammadiyah Malang

Globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang dihadapi setiap negara di dunia. Secara demografis, pesatnya kemajuan teknologi saat ini mengakibatkan lahirnya generasi milenial.

Generasi milenial atau yang akrab disebut generasi Y yaitu kelompok anak muda yang berusia belasan tahun hingga awal tiga puluhan yang lahir pada awal 1980 hingga awal 2000 (Suryadi, 2015).

Di era milenial ini, setiap informasi dapat dengan cepat tersebar dan diakses oleh siapa saja di manapun dia berada. Dengan teknologi yang mumpuni, generasi milenial dibentuk menjadi pribadi yang serba canggih dan modern.

Di luar dari itu semua, hal ini justru menjadi bumerang bagi generasi milenial. Terdapat tiga hal utama yang menjadi perhatian penulis yang tentunya saling berkaitan satu sama lain.

Pertama, kemajuan teknologi menjadi problomatika baru bagi mereka pemuda bangsa ini yang belum siap, sehingga mereka dijajah oleh zaman namun tidak secara fisik melainkan secara mental dan pemikiran dengan digiring pada kemelutnya pornografi, narkotika, miras, dan lain-lain.

Kedua, generasi Y yang berorientasi pada gadget juga tidak dapat menafikan bahwa informasi yang diserap merupakan informasi global yang pastinya memuat budaya dan gaya hidup bangsa asing di luar sana. Hal ini akan mendorong masuknya budaya-budaya asing ke dalam negeri, yang dalam pandangan generasi muda merupakan hal yang kekinian atau modern dan menganggap budaya lokal sebagai segala sesuatu yang ketinggalan zaman.

Globalisasi meleburkan batas-batas budaya suatu bangsa dan menyebabkan dunia seakan-akan menyatu menjadi satu kampung global yang budayanya ialah budaya global dan pastinya merupakan cangkokan budaya negara-negara barat (negara maju).

Derasnya arus globalisasi perlahan namun pasti membuat generasi muda Indonesia asing terhadap budayanya sendiri. Hal ini tentu menjadi mimpi yang lebih buruk lagi jika para generasi milenial bangsa kita tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang budayanya sendiri.

Sehingga Bukanlah merupakan kekhawatiran yang tidak berdasar bahwa di tahun-tahun mendatang budaya lokal bangsa ini terancam sampai ke tingkat kepunahan. Nyatanya dalam konferensi internasional di bidang bahasa, sastra, dan budaya (icons laterals) yang diselenggarakan di Auditorium Widyaloka Universitas Brawijaya menyebutkan dengan jelas bahwa 12 bahasa lokal di Indonesia telah punah.

Ketiga, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa walaupun dengan keadaan sekarang yang memberikan kemudahan memperoleh informasi. Kita dituntut untuk jeli memilah setiap informasi yang ada, sebab akan dengan sangat mudah bagi orang-orang yang tidak bertanggung-jawab di luar sana untuk menyebarkan informasi yang berupa “hoax” atau berita bohong untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu, maupun opini yang mampu menguntungkan pihak-pihak tertentu pula.

Era milenial

Melihat realita yang terjadi di era milenial ini, terdapat satu skenario utama yang mesti dipahami oleh para pemuda generasi Y agar dapat menggunakan kemajuan teknologi ini secara bijak dan maksimal yakni tidak lain dan tidak bukan ialah dengan mengilhami secara utuh kearifan lokal yang dimiliki negeri dan bangsa kita Indonesia.

Menjunjung local wisdom yang kita miliki bukan berarti mengabaikan kemajuan dan menjadi tertinggal atau yang sering disebut “tidak update”. Haluty (2014) mengatakan berbagai kajian dan fakta menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki karakter kuat.

Nilai-nilai karakter tersebut adalah nilai-nilai yang digali dari khazanah budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat setempat (kearifan lokal) dan bukan “mencontoh” nilai-nilai bangsa lain yang belum tentu sesuai dengan karakteristik dan kepribadian bangsa tersebut.

Penguatan terhadap kearifan lokal sudah semestinya dilakukan bukan saja untuk mempertahankan eksistensi budaya nenek moyang. lebih dari itu penguatan kearifan lokal dapat dijadikan sebagai pengokoh nasionalisme bangsa ini.

Sehingga setiap berita ataupun informasi yang mampu menyulut perpecahan baik antar agama, suku, ras, dan hal-hal lainnya tidak dapat dengan mudah mempengaruhi psikologi publik. Hal ini dikarenakan masyarakat sendiri sudah memiliki pegangan yang kuat berupa nila-nilai dari kearifan lokal tadi.

Sebagai contoh, jika ditilik kembali, yang menjadi kunci perdamaian setelah rentetan catatan kelam konflik agama di Ambon, Maluku 1999 silam bukanlah karena keberhasilan pemerintah pusat maupun daerah dalam mengerahkan pasukan bersenjata untuk mengamankan apalagi mendamaikan kedua belah pihak, melainkan atas ilham dari nilai-nilai salah satu kearifan lokal di sana.

Local wisdom merupakan warisan berharga yang mampu memproteksi generasi muda di era milenial dari sisi negatif derasnya arus globalisasi. Tentu saja sifat-sifat yang individualis dan hedonis bukanlah apa yang diajarkan budaya lokal di nusantara.

Sehingga jika generasi Y hari ini sudah khatam mempelajari budayanya sendiri, maka tentunya akan menjadi lebih bijak dalam bersikap. Lain halnya dengan para pemuda bangsa ini yang terjebak kelutnya pornografi, narkotika, miras, dan sebagainya. Mereka merupakan populasi generasi Y yang premature karena sebab belum memiliki bekal berupa budaya lokal yang cukup sehingga belum saatnya berkutat dengan iklim global.

Propaganda kearifan lokal

Di era milenial ini, peran internet menjadi sangat masif di kalangan masyarakat. Berdasarkan data dari www.cnnindonesia.com saat ini pengguna internet di Indonesia telah mencapai 65 persen dari total populasi dengan rata-rata durasi penggunaan mencapai 8 jam 44 menit sehari.

Selain memudahkan dalam mengakses informasi tertentu, tidak dapak dielakan bahwa internet juga memang merupakan keran masuknya budaya asing. Durasi 8 jam 44 menit sehari dengan pengguna internet sebesar 65 persen dari total populasi merupakan angka yang terbilang fantastis. Sehingga wajar saja jika budaya global semakin mewabah di Indonesia.

Dalam perkembangannya, internet memberikan berbagai layanan komunikasi dan yang paling sering dikunjungi akhir-akhir ini adalah instagram, twitter, whatsapp dan beberapa lainnya. Setiap orang dapat dengan mudah berbagi pengalaman ataupun memuat tulisan apa saja di sana. Hal ini mendorong terjadinya pertukaran informasi secara global dengan sangat cepat.

Dengan kondisi yang seperti ini, para pemuda generasi milenial seharusnya tidak kehilang akal dalam rangka mengembalikan posisi kearifan lokal yang mulai tergeser oleh budaya asing. Tidak cukup sampai di situ, juga dibutuhkan jiwa-jiwa kreatif yang mampu menjawab tantangan zaman ini.

Untuk mempublikasikan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia, tidaklah cukup dengan menuangkannya pada halaman-halaman buku bacaan. Akan menjadi solusi brilian jika kearifan lokal ini dipropagandakan dengan cara-cara yang milenial juga yaitu dalam bentuk tulisan-tulisan yang dibagikan melalui media internet baik berupa karya ilmiah, maupun bacaan santai di jejaring sosial. aksi ini dapat membantu mengedukasikan nilai-nilai kearifan lokal yang mampu mereduksi resiko terjangkit budaya-budaya asing yang merugikan.

dita tuasikal
dita tuasikal
Dita Fomara Tuasikal Mahasiswa Manajemen 16 Universitas Muhammadiyah Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.