Rabu, Oktober 16, 2024

Karakter Perempuan yang Diremehkan Menjadi Pemimpin

Silvanah
Silvanah
Silvanah, a student of International Relations at the Islamic University of Indonesia and a researcher at the Center for Indonesia-China Studies (CICS)

Dalam dunia politik dan hubungan internasional selama ini sangat identik dengan dunia para kaum laki-laki. Sebagian besar diplomat, pemimpin negara, bahkan staf badan-badan internasional selalu terdiri dari laki-laki. Mengapa hal demikian terjadi? Mengapa perempuan jarang menempati posisi strategis? dan mengapa perempuan lebih sering tersisih dalam hal merancang kebijakan luar negeri?

Adanya kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perempuan ketika mencoba memasuki dunia elit pembuat kebijakan luar negeri, itu yang membuat perannya sedikit terlihat.Kelemahan perempuan selalu dianggap berbahaya ketika masalah keamanan nasional menjadi taruhannya. Terutama karena peran presiden yang juga merupakan panglima tertinggi memaksakan kepercayaan kita bahwa kualitas diasosiasikan dengan “kejantanan” sehingga ini pun yang menjadi kriteria penting dalam memilih seorang pemimpin.

Perempuan dalam politik internasional

Kalau kita bicara soal politik internasional, kita jarang atau bahkan tidak pernah melihat adanya peran perempuan terutama dalam proses pembuatan kebijakan misalnya di posisi-posisi strategis seperti sebagai pemimpin, perdana menteri, ataupun mereka yang punya posisi strategis seperti menteri pertahanan, atau menteri luar negeri.

Ada sedikit sekali bukti yang menyebutkan bahwa perempuan telah memainkan peran besar dalam membentuk politik luar negeri di negara manapun.

Ketika kita bertanya apakah perempuan itu ada di lingkungan politik? Sering kali kita diarahkan untuk memberikan contoh kepada tokoh-tokoh perempuan yang mungkin kita sebut namanya atau kita hapal, kenapa? Karena jumlahnya bisa dihitung.

Sebenarnya dengan hanya memberikan ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin atau mengambil keputusan yang lebih strategis diluar isu-isu yang khusus sama perempuan saja, itu hanyalah langkah pertama untuk mencapai kesetaraan gender.

Yang perlu diketahui bersama bahwa sebenarnya kesetaraan gender itu tidak harus memberikan sesuatu hal yang sama persis kepada perempuan dan laki-laki. Tetapi kesetaraan gender yang sesungguhnya itu adalah ketika terjadinya keadilan. Yang mana keadilan itu tidak harus sama persis antara perempuan dan laki-laki, tetapi dengan bisa menempatkan pada porsinya masing-masing.

Perempuan ketika menjadi pemimpin

Politik luar negeri mengandung unsur-unsur yang diasosiasikan dengan laki-laki dan maskulinitas seperti kekuatan, kekuasaan, otonomi, kebebasan dan rasionalitas.Karakter-karakter tersebut dipercayakan kepada laki-laki untuk menjalankan kebijakan luar negeri dan membela kepentingan negara.

Secara tradisional pemahaman kita adalah yang namanya pemimpin, atau yang namanya pengambil keputusan yang biasanya punya peran publik yang besar adalah laki-laki. Peran perempuan itu hanya yang sifatnya privat atau hanya peran domestik saja menjadi ibu rumah tangga.

Perempuan sering dicap sifatnya naif, lemah, dan tidak maskulin. Bahkan perempuan yang mempunya pengalaman luas dalam menangani masalah-masalah politik luar negeri sering digambarkan sebagi sosok yang emosional dan terlalu lemah untuk menangani masalah-masalah yang terkait dengan hidup dan mati, atau masalah yang dituntut dalam hal kepentingan negara.

Seringkali perempuan berada di posisi yang power less dan kadang dipaksa harus memilih.Ketika perempuan jadi pemimpin, dia sering memiliki tuntutan yang lebih berat karena dianggap harus seolah-olah sama dengan laki-laki.

Misalnya perempuan itu harusnya tegas, tidak boleh terlihat terlalu emosional dan tidak boleh baperan. Karena karakter-karakter perempuan yang seperti itu, ketika menjadi seorang pemimpin, mereka selalu dituntut untuk menjadi lebih maskulin dalam hal pembuatan kebijakan misalnyal.

Tentu itu sangat menyulitkan perempuan karena dia dipaksa untuk menghilangkan karakternya. Karena selalunya standar pemimpin itu yang kayak laki-laki, dan jika perempuan tidak memenuhi standar itu maka dia sebagai pemimpin dianggap jelek, padahal kan belum tentu.

Perempuan sering dilihat sebagai objek, sesuatu yang harus ditolong, dan seolah-olah perempuan itu tidak bisa menolong dirinya sendiri.

Bagaimana seharusnya?

Karakter-karakter perempuan yang tadinya dianggap emosional, lembut, baperan dll, itu justru dibutuhkan dalam hal pembuatan kebijakan misalnya. Kenapa? Karena kalau selalu berpikir secara rasional dikit-dikit kita bawaannya pengen perang, selalu dipaksa tegas, atau maskulin.

Nah, jika karakter-karakter perempuan itu tadi yang dianggap lembut, emosional dan empati, justru itu lebih mendorong pada upaya-upaya lebih damai karena mereka bisa berempati.

Namun sayangnya ini tidak selalu dianggap penting. Karena selalunya standar kepemimpinan itu harus seperti laki-laki, sehingga ini sangat sulit bagi perempuan jika harus dipaksa selalu maskulin dan lari dari karakter aslinya.

Padahal jika perempuan diberi keleluasaan tanpa adanya paksaan harus maskulin, mereka bisa menjalani kepemimpinan mereka dengan nyaman karena mereka menjalaninya dengan karakter mereka sendiri.

Perempuan bisa menggunakan empatinya misalnya ketika dihadapkan kepada sebuah kondisi yang menuntutnya untuk memutuskan kebijakan yang cukup berat, perempuan bisa memanfaatkan karakternya untuk menentukan kebijakan dengan hati-hati.

Silvanah
Silvanah
Silvanah, a student of International Relations at the Islamic University of Indonesia and a researcher at the Center for Indonesia-China Studies (CICS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.