Ditilik dari kacamata ekonomi dan politik, kita sering kali tidak cepat tanggap dan kritis dalam merespon anti rokok bahkan terkait isu kenaikan rokok yang melonjak hingga 50 ribu perbungkus; terlebih ketika isu ini mengatasnamakan wacana kesehatan masyarakat dan sebagai pengurangan konsumen rokok itu sendiri. Isu rokok kemudian dikerucutkan dalam lingkup yang cukup sederhana. Sehingga serta-merta mengusung dimensi kesehatan semata, yang dianggap sebagai hal absolut tanpa nalar kritis. Apalagi ketika wacana tersebut dibaluti pengetahuan ilmiah dan saintifik, kemudian masyarakat tanpa sadar akan keluasan problematika dimensional lainnya seperti ekonomi-politik, sosial dan budaya. Banyaknya klaim tentang tembakau yang seringkali dikatakan sebagai senyawa karsinogen dan penyebab kanker, yang membuat masyarakat bergerombol dalam kampanye anti tembakau ini. Padahal di sisi lain, tembakau pula memiliki potensi kandungan protein yang justru sanggup mencegah berbagai penyakit, termasuk kanker.
Banyak sekali masyarakat kalangan menengah hingga kalangan atas yang bersikeras untuk memerangi rokok dengan berbagai slogan bahwa rokok itu berbahaya, maka dari itu rokok (tembakau) harus diperangi. Para perokok lalu ditempatkan sebagai subjek yang nyaris tidak memiliki nilai baik yang dihadapkan dengan kaum perempuan dan keluarga sebagai entitas subjek-korban dari potensi bahaya rokok. Pertentangan penggunaan tambakau dicatat baik oleh sejarah, dimana pada awalnya hanyalah muncul pada kegiatan-kegiatan ilmiah. Antara lain dimulai ketika Duta Besar Prancis untuk Portugal Jean Nicot de Villemain yang menuliskan manfaat pengobatan tembakau kepada pengadilan Prancis pada tahun 1559. Hingga 50 tahun kemudian, muncullah publikasi ilmiah yang membantah bahwa tembakau itu baik untuk pengobatan, ia menuliskannya pada buku yang berjudul Worked Of Chimney Sweepers. Buku itu ditulis oleh seorang dokter yang tidak diketahui identitasnya lalu ia menyamarkan namanya menjadi Phillaretes.
Pelanggaran penggunaan tembakau juga diproklamirkan secara terang-terangan pada tahun 1590. Yang saat itu seorang Paus Urban VII mengeluarkan peraturan yang melarang mengonsumsi tembakau dalam bentuk apapun. Sepanjang tahun 1630-an, sejarah mencatat periode kemunculan peraturan pelarangan mengonsumsi rokok di beberapa Negara. Pertama, di Cina, dinasti Qing mengeluarkan kebijakan anti tembakau pada tahun 1634. Larangan yang juga dikeluarkan oleh Negara Jepang dan Korea, dua Negara tersebut melarang merokok bukan karena alasan kesehatan; tetapi karena adanya kekhawatiran akan kebakaran yang dipicu oleh api rokok. Sultan Murad IV dari Kekaisaran Ottoman, Turki, Czar Michael dari Rusia pula melarang orang merokok. Tidak hanya itu, di Prancis gerakan anti-tembakau pun dilakukan dengan cara membatasi penggunaan tembakau hanya untuk apoteker dan konsumsi harus sesuai resep dokter. Pada tahun 1899, gerakan anti tembakau Amerika pun muncul ke publik dengan terbentuknya gerakan Anti-Cigarettes League Of America. Kebijakan anti-tembakau juga semakin menguat ketika Jerman melandasi argumen imiah yang lebih modern pada era Nazi. Munculnya kebijakan ini dipicu oleh hasil penelitian Franz H. Muller pada tahun 1939, yang dilanjutkan oleh Eberhard Schairer dan Erich Schoniger pada 1943. Dari banyakya catatan sejarah tentang kampannye anti tembaku ini disaat yang bersamaan, di Indonesia, industri tembakau khususnya industri kretek menjadi primadona bagi pemerintahan colonial Hindia Belanda. Maka dari itu, retorika kebijakan anti-tembakau tidak ikut mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Sayangnya, situasi itu berbalik ketika Perang Dunia II dan Jepang mengambil alih kekuasaan; bahkan pada masa itu dapat dikatakan bahwa bisa jadi sebagai awal pro-kontra tembakau. Memasuki dasawarsa 90-an, gerakan anti tembakau semakin menguat dan memuncak terlebih di Amerika Serikat. Pada era ini tembakau yang pada awalnya dituding sebagai resiko kesehatan dan penyakit, itulah sebagai penyebab utama kematian. Dan salah satu tokoh paling mencolok dalam gerakan anti tembakau global adalah Michael Bloomberg. Ada pertanyaan seperti ini, apakah gerakan kampanye anti tembakau itu semata-mata hanya dilandasi dimensi kesehatan masyarakat saja atau ada hal lain membatasi itu seperti adanya keuntungan politik di dalamnya?
Persoalannya disini adalah modus kapitalis yang sejauh ini terlanjur dibungkus sebagai gerakan yang seolah-olah tanpa adanya campur tangan ambisi politik, bebas dari kepentingan individual dan hanya mementingkan kepentingan masyarakat saja. Barangkali sebagian orang yang dibesarkan dalam suatu keyakinan bahwa kapitalismme adalah sinonim dengan pasar bebas dan demokrasi akan terkejut ketika mengetahui apa yang disebut sebagai globalisasi pasar bebas itu sendiri sebenarnya sudah terencana dengan baik oleh konnsolidasi modal global. Di Indonesia sendiri, saat ini sedang terjadi gerakan anti tembakau, yang dimana harga rokok yang melonjak naik menjadi isu yang menarik untuk dibedah setiap orang. Isu kenaikan rokok 50 ribu perbungkus berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Hasbullah Thabrany sebagai kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ia melakukan penelitian berdasarkan survei pada tahun 2016 dengan landasan untuk mencegah pelajar dan orang miskin merokok. Data-data yang terlampir dimulai sejak Desember 2015-Januari 2016, dengan hasil responden 1000 orang; 82 persen setuju harga rokok dinaikkan dan 72 persen menyatakan akan berhenti merokok jika memang wacana itu menjadi fakta. Namun Sri Mulyani sebagai mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia menegaskan bahwa kebijakan tersebutt belum disahkan.
Kenaikan ini menyebabkan berbagai pro-kontra di masyarakat, sebab ketika harga rokok dinaikkan belum tentu yang menyatakan akan berhenti merokok itu benar-benar tidak merokok. Bahkan dengan adanya isu kenaikan harga rokok ini dapat menimbulkan banyaknya produsen-produsen rokok illegal dengan menyajikan rokok yang sesuai dengan kantong konsumennya. Terlebih lagi, ketika kebijakan ini disahkan secara keseluruhan, para industri rokok kemungkinan besar akan mengalami kerugian jika konsumennya beralih ke rokok-rokok illegal. Dan dapat dipastikan karyawan-karyawan industri tembakau ini akan terancam PHK, lalu kapasitas pengangguran di Indonesia semakin merambak hebat. Di Indonesia sendiri industri tembakau ini adalah salah satu yang mempengaruhi perekonomian Negara, ketika harga rokok sendiri dinaikkan maka aka nada pemasukkan lebih ke tabungan Negara. Walaupun, kita sebagai masyarakat kecil tidak tahu menau kemanakah alokasi tersebut.