Rabu, Oktober 16, 2024

Kang Moeslim, Selamat Jalan (Mengenang Moeslim Abdurrahman, 6 Juli 2012)

Pradana Boy ZTF
Pradana Boy ZTF
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Pengasuh Lembaga Bait al-Hikmah, Malang. Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia.

Kurang lebih lima tahun yang lalu, kami, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), sebuah komunitas anak-anak muda Muhammadiyah yang dimentori oleh Dr. Moeslim Abdurrahman, menelurkan sebuah rencana. Tahun 2012 adalah tahun di mana Kang Moeslim Abdurrahman genap berusia 65 tahun. Rencana itu adalah memberikan kado kejutan untuknya. Kami akan mengadakan sebuah peringatan ulang tahun kecil-kecilan menyambut ulang tahun Kang Moeslim.

Dalam rencana kami, peringatan ulang tahun itu akan dibarengi dengan peluncuran buku. Ya, sebuah buku yang akan ditulis oleh aktivis-aktivis JIMM tentang persinggungan mereka dengan Kang Moeslim. Kami berpikir, pasti Kang Moeslim akan kaget campur gembira, ketika kami memberikan hadiah ulang tahun seperti itu. Sambil kami bayangkan Kang Moeslim akan mesam-mesem, karena mungkin ia tidak menyangka sekaligus tidak terlalu “berminat” ulang tahunnya dirayakan seformal itu.

BACA JUGA: Kiai Hasyim Muzadi dalam Kenangan (Aktivis) Muhammadiyah

Tapi yang melandasi kami untuk menelurkan rencana itu adalah kenyataan bahwa Kang Moeslim telah memiliki peran besar dalam memunculkan optimisme intelektual di kalangan generasi muda Muhammadiyah, ketika gairah intelektualisme di kalangan muda Muhammadiyah mengalami kelesuan. Meski banyak yang antusias menyambut rencana itu, ada pula yang kurang setuju.

Alasannya, lazimnya peringatan ulang tahun dan mengenang pemikiran seorang tokoh dilakukan ketika sang tokoh berusia 70 tahun. Sehingga kurang lazim jika pada usia 65 tahun acara itu digelar. Kami pun akhirnya menyerah pada kebiasaan. Tetapi sebagian dari kami masih menyimpan keinginan besar untuk menggelar perayaan ulang tahun Kang Moeslim yang ke-65 itu. Alasannya, kita tidak pernah tahu kapan usia seseorang akan dipungkasi. Maka merayakan usia ke-65 Kang Moeslim adalah cara bersyukur kami terhadap kehadiran sang mahaguru dalam kehidupan intelektual kami.

Tapi apa mau dikata. Tak seorang pun yang mampu menerka kapan nyawa manusia hendak dipisahkan dari raga. Rencana tinggal rencana, dan Kang Moeslim pada akhirnya meninggalkan kita semua tepat sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke-65. Awal bulan Mei 2012 saya masih sempat menemuinya di Jakarta, ditemani potongan-potongan pizza. Dalam pertemuan terakhir itu memang Kang Moeslim telah menampakkan perubahan fisik.

Saya kaget mendapati Kang Moeslim yang raut mukanya nampak jauh lebih tua dari sebelumnya. Setiap pertemuan dengan Kang Moeslim adalah perbincangan keilmuan. Di sela-sela pertanyaan tentang kabar dan keadaan kami masing-masing, Kang Moeslim tak pernah lupa menekankan pentingnya untuk menjadi intelektual yang serius. Ketika menanyakan topik disertasi saya di National University of Singapore (NUS), pesan yang meluncur dari bibir Kang Moeslim adalah: “Belajarlah sungguh-sungguh, agar punggung keilmuanmu kokoh. Saya tidak ingin melihat bangunan keilmuanmu hanya kokoh di dada saja, tetapi tidak di punggung.”

Istilah “dada ilmu” dan “punggung ilmu” yang dilontarkan Kang Moeslim meresap dalam ke alam pikiran saya. Kang Moeslim tak sedang bercanda. Pernyataan itu menunjukkan komitmennya pada ilmu dan intelektualisme, meskipun ia sendiri adalah seorang yang multidimensi. Setengah bercanda, Kang Moeslim pun berujar: “Meskipun sudah tua, soal perkembangan ilmu, aku tidak mau kalah.” Lalu ia sodorkan kepada saya sebuah jurnal yang teramat penting. “Ambillah dan pelajari isinya”. Sebagai rasa takzim saya, saya pun berjanji memberikan sebuah foto kopi buku terbaru dari sosiolog yang begitu dikagumi oleh Kang Moeslim. Bryan S. Turner nama sosiolog itu. Tetapi belum lagi buku itu saya kirim, kabar sedih itu telah menyapa.

Kang Moeslim menjadi mentor intelektual yang tangguh bagi saya dan tak terbilang anak-anak muda Muhammadiyah lainnya, ketika sejumlah tokoh dan intelektual senior Muhammadiyah cenderung abai. Ia juga adalah seorang pedagog ulung. Kang Moeslim mengajarkan banyak hal, tanpa kami merasa diajari. Mengajar secara transformatif. Gagasan transformasi yang ia kembangkan, tak hanya berhenti pada teori. Ia membimbing kami dalam totalitas: waktu, ilmu, raga, materi. Maka mustahil memisahkan nama Moeslim Abdurrahman dari geliat kebangkitan intelektual muda di Muhammadiyah setidaknya dalam satu dekade terakhir ini.

Dalam sebuah bukunya, Kang Moeslim pernah menulis bahwa ia mempersembahkan bukunya sebagai tadarus intelektual untuk dua sahabat yang telah mendahuluinya: Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. Tentang Cak Nur, yang disejajarkan dengan Kiai Ahmad Dahlan, Kang Moeslim sering mencontohkan keduanya sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan “nubuwah” atau kenabian. Artinya, mereka bisa membaca tanda-tanda zamannya dengan sangat baik, dan dengan pembacaan itu mereka merumuskan postulat-postulat perubahan sosial pada masanya. Dalam istilah Kang Moeslim, kedua orang ini adalah contoh mereka yang berhasil menemukan kunci-kunci hermeneutika persoalan sosial pada zamannya.

Meskipun tak pernah mengakuinya, sesungguhnya Kang Moeslim pun telah menemukan kunci-kunci hermeneutika dalam membaca masyarakat Islam. Istilah seperti “dosa sosial”, “kemunkaran sosial”, dan “yatim sosial” adalah di antara kunci-kunci hermeneutis yang diwariskan Kang Moeslim kepada dunia intelektual Indonesia. Segaris dengan itu, maka Kang Moeslim tak pernah bosan berpetuah agar kami berjuang menjadi “nabi-nabi sosial” baru untuk perbaikan masyarakat. “Tetapi menjadi nabi tidaklah mudah,” begitu kata Kang Moeslim. Harus ada di antara kalian, kata Kang Moeslim, yang belajar bersungguh-sungguh, “bertapa” secara serius untuk mengasah kemampuan nubuwah itu. Tentu tidak dalam arti kenabian sebagaimana kita fahami secara teologis.

Tentang hubungan Kang Moeslim Abdurrahman dengan Pak Kunto, akan mengingatkan kita kepada teori Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang, antara lain, merupakan buah interaksi pemikiran antara Pak Kunto dan Kang Moeslim. Pada dasawarsa 1980-an, Kang Moeslim melontarkan gagasan tentang Islam Transformatif atau Teologi Transformatif. Meskipun penjelasan teoretik dari rumusan itu cukup rumit, secara singkat bisa dijelaskan bahwa Kang Moeslim ingin menghadirkan Islam sebagai spirit perubahan bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik, makmur, thayyibatun wa rabbun ghafur. Tetapi oleh Pak Kunto, gagasan itu dinilai memiliki kelemahan. Salah satunya adalah terletak pada penggunaan kata “teologi”. Pak Kunto memandang secara umum terdapat dua makna “teologi” ketika dihadirkan dalam kerangka kehidupan umat Islam Indonesia.

Pertama adalah mereka yang melihat “teologi” sebagai sebuah konstruksi imani yang sakral, sehingga jika dikritik akan menjadi persoalan. Karena mengkritik teologi sebangun dengan mengkritik iman. Kedua, ada kalangan yang berusaha menghubungkan teologi dengan konstruksi sosial. Karena teologi berhubungan dengan konstruksi sosial dan cara pandang terhadap realitas berdasarkan doktrin-doktrin agama, maka mengkritik teologi sebenarnya mengkritik cara pandang orang terhadap agama dan bukan mengkritik bangunan agama itu sendiri. Oleh Pak Kunto, “Teologi Transformatif” Kang Moeslim ditempatkan dalam domain kedua ini, sementara di sisi lain terdapat kenyataan bahwa sebagian besar umat Islam berada pada domain penilaian yang pertama.

Namun, menurut Pak Kunto, jika rumusan teologi transformatif yang digunakan, hal itu akan memicu kontroversi karena mengandung kerawanan-kerawanan tertentu. Sebagai gantinya, Pak Kunto lalu mengusulkan nama lain untuk gagasan Kang Moeslim, yakni misalnya disebut Ilmu-Ilmu Sosial Transformatif, meskipun Pak Kunto juga kemudian menawarkan konsepnya sendiri dengan apa yang ia istilahkah sebagai Ilmu Sosial Profetik atau ISP tadi.

Pernah suatu ketika kami menanyakan, mengapa debat dengan Pak Kunto tidak dilanjutkan, karena jika debat itu berlanjut, akan menjadi suguhan debat teoretis yang sangat berbobot. Di samping akan menjadi pembelajaran dan cermin bagi generasi muda, debat itu juga akan mempertajam gagasan Teologi Transformatif dan pada waktunya merumuskan formulasi-formulasi praktis untuk operasionalisasi gagasan ini pada level masyarakat.

Kang Moeslim menjawab bahwa ia memang pernah diundang oleh Bu Ning, isteri Pak Kunto, untuk melanjutkan debat itu. Tetapi karena alasan kesibukan, undangan itu ternyata tidak direspon. Begitulah. Meskipun waktu bergulir, saya melihat warisan teoretis Moeslim Abdurrahman tetap relevan. Teologi Transformatif akan terus hidup, terlebih dalam alam masyarakat Indonesia yang penuh ketimpangan sosial ini. Kami, murid-muridnya, berkewajiban untuk melanjutkan pemikiran itu.

Sebagai shalawat untuk mengiringi kepergian ke alam keabadian, kami ikrarkan untuk melanjutkan benih-benih perjuangan yang telah dia semai kepada kami. Meskipun dia telah tiada, semangat ilmu dan pengabdiannya akan selalu mengalir dalam nadi perjuangan kami. Selamat jalan, Kang Moeslim. Saya, anak didik Moeslim Abdurrahman.

BACA JUGA: Muhammadiyah yang Bukan Muhammadiyah

Pradana Boy ZTF
Pradana Boy ZTF
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Pengasuh Lembaga Bait al-Hikmah, Malang. Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.