Sabtu, Oktober 25, 2025

Kalau Hakim yang Melanggar Hukum, Siapa yang Mengadilinya?

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum Pidana I, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Dalam setiap persidangan, hakim adalah sosok yang paling berkuasa di ruangan itu. Satu ketukan palunya bisa menentukan apakah seseorang bersalah atau bebas, masuk penjara atau pulang ke rumah.

Tapi pertanyaan sederhana yang sering muncul di masyarakat adalah: kalau hakimnya sendiri yang melanggar hukum, siapa yang akan mengadilinya? Banyak orang awam mungkin mengira hakim itu kebal hukum, padahal tidak. Hakim tetap bisa diperiksa, dijatuhi sanksi, bahkan dipidana. Hanya saja, mekanismenya berbeda karena berkaitan dengan kehormatan jabatan dan menjaga independensi peradilan.

Sistem hukum Indonesia sudah mengatur hal ini secara jelas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim wajib menjaga martabat, kehormatan, dan perilaku dalam menjalankan tugas. Pasal 5 ayat (2) menegaskan bahwa hakim harus menggali nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, sedangkan Pasal 6 menekankan larangan bagi hakim untuk menerima gratifikasi atau imbalan dalam bentuk apa pun yang dapat memengaruhi putusan. Kalau hakim melanggar prinsip-prinsip itu, maka ia bisa dikenai sanksi etik maupun pidana.

Untuk pelanggaran etik, yang berwenang memeriksa adalah Komisi Yudisial (KY) bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA). Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 dan diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Lembaga ini bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Jika ada laporan dari masyarakat bahwa seorang hakim bersikap tidak pantas, berpihak, atau melakukan tindakan yang mencoreng wibawa peradilan, KY akan memeriksa dan kemudian memberikan rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung. Sanksinya bisa berupa teguran, penundaan promosi, mutasi, hingga pemberhentian tetap.

Namun, jika pelanggaran hakim sudah masuk dalam kategori tindak pidana, misalnya menerima suap, korupsi, atau kekerasan, maka prosesnya masuk ke ranah hukum pidana umum. Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, hakim tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata karena putusannya, tapi bisa diproses hukum jika melakukan tindak pidana di luar tugas yudisial.

Pemeriksaan terhadap hakim dalam kasus pidana dilakukan oleh kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan izin tertulis dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Tujuan izin ini bukan untuk melindungi hakim dari hukum, melainkan untuk memastikan prosesnya tidak disalahgunakan oleh pihak yang dendam atau tidak puas dengan putusan.

Dalam praktiknya, beberapa hakim sudah pernah dijatuhi hukuman pidana. Misalnya, ada hakim pengadilan negeri yang ditangkap KPK karena menerima suap dari pihak berperkara. Mereka tetap diadili di pengadilan umum, dijatuhi vonis penjara, dan diberhentikan dari jabatannya. Kasus seperti ini menjadi bukti bahwa hakim bukan sosok yang kebal hukum. Jabatan mereka memang terhormat, tapi tidak berarti kebal dari pertanggungjawaban.

Sistem pengawasan terhadap hakim ini menjadi bagian penting dari prinsip check and balance dalam negara hukum. Kekuasaan kehakiman memang harus independen, tapi bukan berarti tanpa pengawasan. Karena keadilan hanya bisa ditegakkan oleh orang yang juga tunduk pada hukum. Di sisi lain, masyarakat juga punya peran besar dalam mengawal integritas hakim. Jika menemukan dugaan pelanggaran atau perilaku tidak pantas dari hakim, masyarakat bisa melaporkannya langsung ke Komisi Yudisial melalui mekanisme resmi. Laporan publik sering kali menjadi pintu masuk bagi banyak penegakan sanksi etik terhadap hakim.

Jadi, kalau ada yang bertanya “kalau hakim yang salah, siapa yang mengadilinya?”, jawabannya sudah jelas. Untuk pelanggaran etik, yang menanganinya adalah Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Untuk pelanggaran pidana, penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau KPK tetap bisa memprosesnya setelah mendapat izin dari Mahkamah Agung. Hakim tetaplah manusia, bisa salah dan bisa diproses. Bedanya, prosesnya diatur dengan cara khusus agar tetap menjaga keseimbangan antara kemandirian peradilan dan akuntabilitas hukum. Karena pada akhirnya, tidak ada satu pun jabatan, termasuk hakim, yang lebih tinggi dari hukum itu sendiri.

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum Pidana I, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.