Sejak awal, perkembangan kajian anak muda dalam perspektif Indonesia telah menjadi agenda penting dan strategis. Sebagai bidang penelitian yang relatif baru, tidak dapat dipungkiri acap kali meminjam teori dan sudut pandang dari negara-negara metropolitan. Namun, hal ini tidak boleh membuat penelitian pemuda di Indonesia jatuh ke dalam ketergantungan akademis saja. Realitas obyektif dari produksi pengetahuan global adalah adanya kesenjangan dan relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara wilayah metropolitan dan wilayah pinggiran (Connell, 2007).
Sejak zaman penjajahan, celah itu kembali muncul. Tropole mendapatkan legitimasi dan menjadi pusat pembentukan teori, sedangkan wilayah pinggiran hanya digunakan sebagai penyedia data dan tempat pengujian teoritis (Samuel dan Sutopo, 2013). Selain itu, hal ini juga berimbas pada ketidakadilan dalam pembagian kerja, kaum intelektual di metropolis dianggap teoris, sedangkan intelektual pinggiran hanyalah pengrajin data. Dalam proses penelitian anak muda di Indonesia, perlu dipahami hubungan kekuasaan yang tidak seimbang ini
Dalam semangat menengok ke belakang dan menciptakan masa depan, pengembangan penelitian anak muda Indonesia harus bisa belajar dari sejarah logika sosial Indonesia. Pada awal orde baru, tanpa kesadaran kritis telah terjadi pengenalan secara besar-besaran. model sosiologis Amerika. tahu caranya. Selama ini bahkan sosiologi Indonesia masih menjadi importir dan konsumen setia, omnivora terhadap berbagai tren teoritis baru kota metropolitan. Kedepannya dalam melakukan penelitian remaja di Indonesia tidak boleh terulang kembali.
Dari perspektif Indonesia, langkah awal dalam melakukan penelitian anak muda adalah melakukan analisis latar belakang kritis terhadap berbagai teori di kota metropolitan sebagai alat untuk menganalisis berbagai fenomena anak muda di Indonesia.
Yang terpenting, semangat kontekstual merupakan langkah awal yang penting, karena dengan sikap ini, produksi pengetahuan menjadi lebih berwarna, lebih terlokalisasi, dan tidak akan “memperkosa” universalitas teori metropolitan, fenomena pemuda di Indonesia. Ketidakpekaan terhadap konteks hanya akan mengkonfirmasi karakteristik otoriter dari Teori Metropolitan, dan tren ini juga akan mereproduksi deskripsi Connell (2007) tentang membaca dari tempat kejadian, gerakan menjijikkan, dan penghapusan skala besar. Untuk mewujudkan pentingnya bahwa sosiologi pemuda harus melampaui budaya, dialog antara para intelektual yang tertarik pada penelitian pemuda dari Utara global dan Selatan global mutlak diperlukan.
Langkah selanjutnya adalah perlahan-lahan mengakumulasi pengetahuan atas dasar penelitian anak muda Indonesia dan berani mengkonstruksi teori, inilah bentuk cikal bakal teori pemuda Indonesia. Strategi politik pengetahuan semacam ini sangat penting untuk melawan fenomena ketergantungan, Houtondji (1997) menggambarkannya sebagai ekstroversi (menghadapi otoritas eksternal). Dengan keberanian memberikan teori-teori anak muda Indonesia, saya berharap di masa depan, kebangkitan yang saya sebut sebagai pemikir selatan akan memicu gelombang semangat baru. Produksi segala jenis pengetahuan akan menghasilkan suara ganda (Connell, 2007), yang merupakan gejala kesehatan, pembebasan dan pemberdayaan, membuat pembelajaran remaja masa depan lebih demokratis.
Kelas sosial dan ketimpangan sosial merupakan konsep yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam agenda teoritis penelitian pemuda Indonesia. Fakta obyektif dalam wacana ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu sosial di Indonesia, seringkali terpinggirkan, terutama sejak peralihan kekuasaan dari rezim otokrasi orde baru (Rossa, Ratih, dan Farid, 2004).
Kelas sosial adalah konsep politik yang dekat dengan kiri. Dan hal itu dianggap subversif terhadap stabilitas sistem yang dibentuk oleh rezim orde baru. Wacana pembangunan saat itu mencoba merepresentasikan manfaat absolut dari pembangunan dan modernisasi, khususnya aspek ekonomi dari semua kelas sosial. Sebaliknya, yang terjadi, perkembangan dan modernisasi yang erat kaitannya dengan kepentingan kapitalisme menyebabkan jurang sosial semakin melebar.
Pengetahuan yang dihasilkan dalam proses ini hanya didominasi oleh kepentingan untuk melegitimasi rencana pembangunan rezim. Dengan kata lain, mengacu pada pandangan Habermas (1971), produksi pengetahuan hanya melayani kepentingan teknologi (technical interest), mengendalikan dan membimbing masyarakat sebagai objek pembangunan, dengan tetap mempertahankan posisi dominan status quo. Produksi pengetahuan menjadi kurangnya minat yang membebaskan atau berdiri dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Dalam konteks Indonesia, konsep kelas sosial sebenarnya memainkan peran sentral dalam produksi pengetahuan selama masa perlawanan terhadap hegemoni kolonial. Salah satu pendiri bangsa, Soekarno, dalam karyanya “Mengkuga (1930), Indonesia” dan “Under the Revolutionary Banner” (1963), mendesak agar memperhatikan kelas sosial dan status sosial dalam memahami situasi sosial di Indonesia.Warisan para founding fathers tidak boleh dilupakan dan dianggap sebagai “kebenaran mutlak”, namun jika digabungkan dengan kondisi kekinian akan lebih bermanfaat.
Dalam konteks perubahan Indonesia, terutama di bawah kekuasaan hegemoni neoliberalisme, konsep ketimpangan kelas dan sosial sangat penting untuk kemunculan kembali produksi pengetahuan, khususnya penelitian pemuda (Furlong dan Cartmel, 2007). Kaum muda di era neoliberal adalah kaum baru yang termarjinalkan, atau disebut baru arogan oleh Standing (2011). Kebijakan ekonomi yang didasarkan pada ideologi neoliberal dalam skala global seringkali tidak menguntungkan kaum muda. Misalnya, hal ini terlihat pada pendidikan dan sumber daya manusia.
Pendidikan yang semestinya dianggap sebagai hak publik telah disulap menjadi komoditas, karena pendidikan berbasis logika kini hanya terbatas pada anak muda dari keluarga kaya, maka aturan diskriminasi berbasis kelas sosial lebih jelas. Pendidikan harus menjadi manifestasi dari akumulasi modal budaya (Bourdieu, 1998), tidak hanya memungkinkan generasi muda dari strata sosial bawah untuk pindah ke kelas atas, tetapi juga sebagai investasi untuk mempertahankan status sosial generasi muda dari strata sosial bawah.
Selain pendidikan, kebijakan neoliberal juga memarjinalkan generasi muda, terutama dalam perburuhan. Sistem kontrak, eksploitasi upah, kurangnya asuransi kesehatan dan outsourcing menjadi kendala bagi kaum muda untuk mewujudkan keinginan dan impian masa depan mereka, yang terjadi adalah kaum muda akan selalu menghadapi kondisi ketidakamanan dan ketidakpastian dalam segala aspek kehidupan.
Konsep ketimpangan kelas dan sosial akan menjadi alat analisis yang tajam untuk memahami situasi anak muda Indonesia kontemporer, karena pemuda Indonesia harus berhadapan dengan hegemoni neokolonialisme. Peka terhadap diskriminasi dan marjinalisasi remaja dari strata sosial tertentu, yang akan membantu menentukan prioritas target remaja yang perlu diberdayakan; intervensi pemberdayaan dapat dicapai melalui kebijakan, pemberdayaan akar rumput, dan pembangkitan pengetahuan kunci. Secara spesifik, pengarusutamaan konsep ketimpangan kelas dan sosial juga akan mendiversifikasi subjek penelitian remaja
Sejauh ini, fokus utamanya adalah kaum muda kelas menengah dan kelas perkotaan, rasa kelas sosial berikan kesempatan untuk penelitian pemuda tergolong kelas bawah remaja (Mcdonald dan Marsh, 2005), remaja terpinggirkan oleh pedesaan, kaum muda dari daerah tersebut terstruktur sebagai “area orang-orang muda yang tinggal di batas luar wilayah Indonesia.