Detik Jateng 31 Januari 2022, melansir sebuah berita menarik di bawah judul: Potret Gus Dur, Kado Imlek Warga NU Muntilan untuk Kelenteng Hok An Kiong. Sebagaimana diuraikan lebih lanjut, ada acara pernyerahan foto Gus Dur yang dilakukan Ketua MWC NU Kecamatan Muntilan Bambang Mulyono dan diterima Ketua TITD Hok An Kiong Budi Raharjo. Foto Gus Dur tersebut selanjutnya dipasang di Kelenteng Hok An Kiong yang berada di Jalan Pemuda No 100, Muntilan, Kabupaten Magelang.
“Kami berterima kasih sekali karena Kiai Haji Abdurrahman Wahid ini adalah Bapak Pluralisme di Indonesia dan beliau langsung yang memberikan satu kesempatan untuk seluruh masyarakat Indonesia etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek,” kata Hings. Lebih lanjut dikatakan, “Ini momentum yang sangat tepat dan sulit dicari posisi yang seperti ini karena Imlek ini selalu berpindah-berpindah waktunya dan ini kok kebetulan pas tanggal 1 (satu) bersamaan dengan milad Nahdlatul Ulama,”
Peristiwa penuh keharuan ini menghadirkan dua hal yang saling mengisi. Pertama, bagi masyarakat Indonesia etnis Tionghoa, perayaan Imlek yang berlangsung secara regular adalah berkat Gus Dur. Presiden ke IV Indonesia ini melalui Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Membuka pintu bagi umat Konghucu di Indonesia untuk memeroleh kebebasan dalam melaksanakan agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka. Gus Dur telah wafat. Namun potret yang diberikan akan senantiasa menghadirkan kenyamanan bagi kaum minoritas.
Sebaliknya MWC NU Kecamatan Muntilan sebagai representase warga Nahdliyin memberi keyakinan bahwa Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Bangsa Indonesia dan NU adalah wadah ideologis yang tetap menjadikan pluralism sebagai ideology perjuangan. Di dalam tubuh NU, pluralism tetap tumbuh dan berkembang, dan di dalam darah kaum Nahdliyin mengalir darah persaudaraan, dan perasaan kebangsaan.
Sikap Gus Dur sebagai seorang pemimpin, mengingatkan kita pada penegaskan Yudi Latif (Kompas, 24 Juni 2021). Bahwa warisan terhebat dari seorang pemimpin adalah standar dan visi etis yang ditinggalkannya. Sumbangsih kepemimpinan tidak ditentukan oleh seberapa lama seseorang berkuasa, melainkan nilai apa yang dibudayakannya selama berkuasa. Kepemimpinan negara itu pusat teladan, ibarat mata air yang darinya mengalir sungai-sungai kehidupan yang memasok air ke hilir. Seperti apa mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir.
Gus Dur adalah tokoh pluralisme. Sebagai tokoh yang dikagumi, kharismatik dan disegani, Gus Dur tidak hanya menggagas tetapi bertindak. Banyak keputusan beresiko dibuat. Di tangannya, kaum minoritas merasa nyaman dan kaum mayoritas merasa ikhlas. Pluralisme tidak hanya nyanyian tetapi fakta yang dibangun di atas kesadaran kolektif akan perbedaan. Bahwa perbedaan adalah hal terberi yang harus dirawat sebagai pemuliaan kemanusiaan.
Pemikiran Lintas Saman
Mengenang Gus Dur adalah menelusuri kembali pemikiran-pemikiran besar – lintas saman. Sikap, pandangan hidup dan perjuangan Gus Dur, mengingatkan kita pada catatan penting filsuf Ernest Renan tentang negara bangsa. Bahwa negara bangsa (nation state) adalah satu jiwa, satu prinsip rohani. Yang satunya di masa lalu dan yang lainnya di masa kini. Yang satu adalah kepemilikan bersama kenangan-kenangan yang kaya, yang lainnya adalah persetujuan actual, kehendak untuk hidup bersama, kehendak untuk terus menilai warisan yang dianut semua orang bersama-sama (Ernest Renan, Imagined communities, 1964).
Pemikiran Renan ini masih terasa resonansinya dalam sekat kehidupan negara bangsa hingga saat ini. Kenangan yang kaya adalah entitas imaginer yang menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Kita mengerti arti kepahlawanan, kita memahami pengorbanan. Sebaliknya persetujuan actual, kehendak untuk hidup bersama menguatkan ikrar kita sebagai sebuah negara. Dalam keseluruhan perjalanannya setiap entitas sebagai bangsa sekaligus entitas sebagai negara harus terus dirawat.
Gus Dur sang Arsitek hadir dalam simpul pemikiran seperti ini. Kehadirannya memberi arti bahwa sejarah perjuangan, arti kepahlawanan, tidak bisa disederhanakan sebagai artefak yang menghidupi imajinasi bangsa melalui makam para pahlawan. Akan tetapi aktualisasi nilai kehidupan bersama yang harus terus digali, dimplementasikan, karena ia merupakan persetujuan actual yang menggerakkan cita-cita bernegara.
Dalam konteks ini ada dua hal esensial yang perlu terus diperhatikan. Pertama, perlu ada tempat tumbuh bagi setiap elemen kebangsaan karena negara kebangsaan adalah kumpulan identitas. Kedua, tidak dibenarkan adanya proses unifikasi yang dipaksakan karena penyatuan tidak sepadan dengan pemberangusan. Jati diri harus senantiasa tumbuh dalam keberagaman sehingga ia menjadi melting point sebagaimana dianjurkan Kallen, dalam Democracy and the Melting Point. Harapannya, antara lain pemerintah berperan membuka ruang publik, atau berlaku adil untuk setiap individu tanpa terkecuali dengan hak-haknya masing-masing.
Dialektika antar-identitas kebangsaan ini berpotensi melahirkan ketegangan yang mengancam bangun kenegaraan. Dengan demikian, Negara harus menjadi rumah bersama yang menjamin hak hidup warganya dalam keberagaman identitas. Pada titik ini, sosok Gus Dur menjadi tokoh sentral yang memberi kontribusi luar biasa pada tumbuh dan berkembangnya pluralisme sebagai persetujuan actual berbangsa.
Pluralisme sebagai Legacy
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi sosial dan kultural yang mampu menjadikannya sebagai bangsa besar. Kebesaran sebagai negara bangsa (nation state) hanya dapat diwujudkan melalui penelusuran intens sosial dan budaya yang sangat bervariasi. Namun Indonesia sebagai bangsa majemuk bisa hancur berantakan, jika berbagai elemen social dengan identitas yang beragam tidak dikelola secara baik.
Sebagai seorang tokoh nasional bahkan dunia, Gus Dur memahami kegelisahan itu dan menghadirkan diri untuk memainkan peran dominan di ranah pluralisme. Pemikiran, pandangan,dan terobosannya mencerminkan keluasan wawasan dan interaksinya dalam lintasan orbit pergaulan tanpa batas. Keteguhan Gus Dur dalam menyikapi pluralisme paling kurang dilandasi tiga faktor dominan.
Pertama, keyakinannya pada nilai-nilai universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Islam adalah agama yang mengusung nilai kemanusiaan universal. Kedua, hak setiap individu dan kelompok dalam sebuah negara itu sama. Ketiga, meyakini dan mengakui akan adanya perbedaan dengan tulus, merupakan faktor yang membuatnya memiliki integritas lintas etnik, agama, ras dan golongan.
Kerja besar ini belum selesai, namun gagasan dan keberanian bertindak menjadi legacy yang turut mewarnai sejarah bangsa. Sang Fenomenal itu telah wafat. Namun ketokohan dan jasanya tetap dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan. Pemikiran inspiratifnya akan terus hidup melampaui batas zaman.