Topik “Jurnalisme Berkualitas” sedang menjadi isu hangat di berbagai kanal media digital beberapa waktu belakangan. Draf Perpres (Peraturan Presiden) Jurnalisme Berkualitas sendiri diajukan oleh Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berada di luar struktur pemerintahan.
Ajuan yang dimulai sejak tanggal 17 Februari 2023 oleh Ketua Dewan Pers ini dimaksudkan agar perkembangan platform digital diiringi dengan tanggung jawab masing-masing platform untuk mendukung jurnalisme berkualitas di Indonesia. Sebelumnya peraturan seperti ini pernah diterapkan di beberapa negara, salah satunya di Australia lewat “The News Media Bargaining Code Regulation”.
Jurnalisme berkualitas sendiri seperti yang diungkapkan Vehko (2010, dikutip dari Ambardi. et. al, 2017) adalah jurnalisme tanpa meninggalkan elemen jurnalisme yaitu nilai dan fungsi idealnya seperti “setia terhadap warga”, “menyediakan forum publik dan kompromi”, “memberikan kerangka interpretasi untuk memahami dunia”, “menunjukkan empati sosial”, “memobilisasi warga untuk perubahan”, dan “mempengaruhi opinion leaders.”
Dalam perpres tersebut termuat beberapa asas untuk menjamin Jurnalisme yang Berkualitas seperti kedaulatan informasi, keseimbangan, keberlanjutan, kesetaraan, manfaat, transparansi, dan non-diskriminasi. Tujuannya agar informasi yang dimuat dalam platform digital dapat dipertanggungjawabkan selain menghormati kepemilikan karya jurnalistik (Rangkuti, 2023).
Rancangan peraturan tersebut pada Bab IV Bagian Kedua Pasal 7 Ayat 1 mengatur kewajiban platform digital, 3 dari 8 poin kewajiban tersebut antara lain: Menghilangkan berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pers, Memberitahukan perubahan algoritma atau sistem internal yang mempengaruhi distribusi konten, referral traffic, dan sistem paywalls pada kurun waktu 28 hari sebelum dilakukan perubahan algoritma dan berbagi data agregat aktivitas pengguna yang berasal dari pemanfaatan konten jurnalistik milik Perusahaan Pers secara transparan dan adil.
Pada Ayat 2 disebut, Platform Digital yang tidak menjalankan kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Di Bab VI Bagian Kesatu juga diatur terkait pembagian hasil antara Perusahaan Pers dan dan Perusahaan Platform Digital yang dituangkan secara tertulis (draf RPerpres, 2023).
Liberalisasi sendiri berasal dari kata liberal yang memiliki akar kata dari bahasa Latin yang berarti “bebas”. Ciri-ciri liberal yang melekat pada demokrasi biasanya berlandaskan supremasi hukum, kebebasan berbicara, berkumpul, beragama, dan kebebasan pers (Plattner, 2019).
Indonesia memiliki peringkat Indeks Kebebasan Pers–dirilis oleh “Reporters Without Borders” (RSF)–selalu naik dalam lima tahun terakhir dimana di tahun 2023 Indonesia menduduki peringkat 108 dari sebelumnya di peringkat 117 (VOA, 2023). Sebagai suatu negara yang mendukung kebebasan pers, Indonesia dapat menjamin kebebasan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F UUD 1945).
Meski memiliki “Indeks Kebebasan Pers” yang naik setiap tahunnya, wacana “Jurnalisme Berkualitas” tersebut sebenarnya bisa menjadi satu preseden bagi perkembangan liberalisasi digital di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari ditentangnya draf tersebut oleh dua platform digital terbesar di Indonesia yaitu Google dan Meta.
Google merasa diberlakukannya Perpres tersebut akan membatasi keberagaman sumber berita yang muncul di platform Internet secara luas. Adapun Meta merasa keberatan dengan pemberlakuan draf Jurnalisme Berkualitas karena dianggap pengaturan algoritma penampil berita tersebut bisa membuat perusahaan membayar buta konten berita yang tidak ingin dilihat oleh penggunanya.
Meta bahkan menyebutkan, jika selama ini konten berita yang muncul di halaman kedua platform digitalnya (Facebook dan Instagram) sudah bukan merupakan konten dominan yang dilihat oleh pengguna dimana pengguna untuk saat ini lebih memilih konten video yang dibagikan. Jika diterapkan, Google dan Meta sudah mengambil ancang-ancang akan menghentikan distribusi konten berita di platformnya.
Rancangan perpres ini sebenarnya memiliki tujuan yang bisa dipertimbangkan namun tetap perlu dikaji secara lebih kritis. Masalah yang patut lebih dikaji adalah terkait penyeleksian dan skema pembiayaan konten-konten yang muncul di platform digital–selain implikasi wewenang yang muncul dari adanya regulasi ini. Penyeleksian konten seperti ini melihat platform digital sebagai technology innovation yang bisa menentukan permasalahan malinformasi, misinformasi dan disinformasi secara deterministik.
Platform digital dianggap sebagai satu-satunya solusi dari kesalahan informasi yang didapatkan oleh pengguna. Permasalahan informasi tersebut (information-crawling) sebenarnya dilihat dengan kacamata “social construction of technology” dimana teknologi tidak menentukan tindakan manusia, namun tindakan manusialah yang menentukan teknologi. Sehingga, kesadaran etis dalam penggunaan platform digital yang seharusnya lebih ditingkatkan.
Bagi penulis, pemberian ruang tersendiri bagi berita yang dianggap berkualitas sebaiknya dilakukan dengan berbagai matriks dan definisi operasional yang tepat, bisa dilakukan dari sisi berita tersebut ditampilkan dan dari sisi pengguna yang seharusnya mendapatkan berita tersebut (user studies).
Pengaturan konten mana yang muncul di halaman pengguna sendiri bagi penulis merupakan proses penyediaan informasi yang bersifat top-down yang mana kurang sesuai dengan semangat reformasi republik ini. Pengaturan konten tersebut juga bisa mengurangi kreativitas dan keberagaman konten kreator selain mekanisme pembiayaan antara platform digital dan media konvensional yang seharusnya bersifat saling menguntungkan secara business to business (B2B).
Perkembangan teknologi yang pesat juga tidak membuat pembuat kebijakan paling berpengetahuan bisa mengimbanginya. Menyaring berita agar berkualitas pun tidak bersifat praktikal yang malah menciptakan hambatan pada inovasi dan kebebasan bersosial bagi masyarakat puublik.