Kamis, April 25, 2024

Jurnalisme Data, Tebar Ancaman Atau Manfaat?

Pundra
Pundra
Pundra Rengga Andhita, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Baru-baru ini ada satu kanal berita nasional yang memangkas karyawannya. Kebanyakan posisi yang kena dampak dari kebijakan itu adalah reporter (penulis) dan fotografer.

Konon, hal itu disebabkan adanya peralihan bisnis perusahaan. Tidak sedikit beberapa reporter dan fotografer senior yang kena imbas, putus hubungan kerja (PHK). Salah satu fotografer senior yang saya kenal, memilih sikap tidak terlalu mengambil pusing perihal itu.

Namun jika ditelisik lebih mendalam, di sorot matanya ada kegetiran yang besar. Bukan soal PHK tetapi sesuatu yang menurutnya akan menjadi “ancaman” bagi mekanisme kerja jurnalis di masa depan, yakni, jurnalisme data. Suatu genre baru dalam jurnalisme yang menggabungkan elemen jurnalisme, internet, komputer, statistik dan desain grafis. Meski kehadirannya sudah cukup lama, namun ini yang nantinya digadang-gadang bisa membuat jurnalis tidak bersentuhan langsung dengan narasumber.

Ada situasi, kisah dan sentuhan lapangan yang hilang. Jurnalisme data lebih menekankan aktivitas jurnalistik pada pengelolaan basis data di komputer. Mereka duduk di depan komputer sambil menggali dan mengeruk dari berbagai sumber data. Bukan selalu verifikasi data di luar komputer. Data-data itu dikompilasi, disaring, disesuaikan menurut kebutuhan, lalu disandingkan dengan grafis yang menarik dan jadilah berita.

Akurasi Data

Lalu apa masalahnya? Giannina Segnini, seorang jurnalis asal Kosta rika yang juga profesor di Columbia University mengatakan, “The data and technology shouldn’t distract us from our mission for accuracy,” (Verification Handbook for investigative reporting, 2015). Ya, kekuatiran terbesar dari evolusi jurnalisme data adalah hilangnya akurasi.

Jadi, jika sebelumnya jurnalis mewawancarai orang, maka di model baru ini jurnalis lebih menekankan interogasinya pada data. Nantinya mereka akan menggunakan program komputer yang cukup kompleks. Di antara program itu yang paling banyak digunakan adalah Excel, Tableau, SPSS dan SQL (Salazar, 2018). Mungkin masih banyak lainnya.

Persoalan akurasi ini muncul dari adanya skepstime beberapa kalangan terhadap bagaimana data itu dimasukkan dalam komputer lalu menjadi acuan media untuk kemudian diolah menjadi berita. Hal yang perlu diketahui, data yang dimasukkan tersebut seringnya adalah angka.

Nah, dari sini skeptisme itu muncul karena menyangkut apakah manusia yang memasukkan angka itu tidak terlepas dari kepentingan tertentu. Apakah angka itu akurat dengan kondisi ril di lapangan. Dan apakah itu juga bisa mendetailkan sisi human interest narasumber yang terwakili melalui angka tersebut.

Dari perbincangan singkat saya dengan fotografer senior yang baru saja selesai menikmati liburannya, jika melihat dari asalnya, ada dua sumber data dari jurnalisme model ini, pertama, data diraih dari hasil riset mandiri.

Kedua, memanfaatkan data pemerintah. Untuk yang kedua, kumpulan data tersebut bisa diperoleh melalui situs Badan Pusat Statistik (BPS), kementerian atau lembaga pemerintah lainnya. Terbaru, menurut Badri (2017), “Kehadiran portal satu Satu Data (http://data.go.id) sebagai portal resmi data terbuka Indonesia memberi ruang pemenuhan kebutuhan data publik bagi masyarakat termasuk jurnalis. Selain itu sumber data terbuka juga tersaji di berbagai situs multilateral seperti organisasi PBB, Bank Dunia, NGO Internasional, dan sebagainya”

Komparasi Riset Mandiri dan Data Publik

Sebenarnya ada solusi untuk membuang keraguan akan akurasi, yakni, mengkombinasikan riset mandiri lalu mengkomparasikannya dengan data publik. Ada yang menganalisa data di depan komputer dan ada yang melakukan verifikasi data dengan turun ke lapangan. Kedua mekanisme itu yang nantinya akan melahirkan field report yang lebih mendalam. Paling tidak, luaran dari kombinasi tersebut tidak hanya menghadirkan teks semata, tetapi juga bisa lebih variatif dengan adanya infografis yang dapat lebih dipertanggungjawabkan.

Jurnalisme data harus dipandang sebagai inovasi yang tidak bisa dihindari lagi dalam aktifitas penyajian data. Jurnalisme data sebagai produk dari teknologi informasi juga hadir atas permintaan manusia. Ini sesuatu yang harus diterima. Jika melihat dari sisi positifnya, ketersediaan data yang melimpah seharusnya dapat membantu jurnalis dalam menciptakan produksi berita berkesinambungan, mendukung jurnalisme investigatif dan melahirkan pemberitaan inovatif.

Terlepas dari skeptisme akurasi data, hal yang paling mendasar dari kehadiran jurnalisme data ini adalah jangan sampai implikasinya menggeser keberadaan jurnalis, baik itu reporter ataupun fotografer yang tergantikan dengan data analis, programmer atau sejenisnya. Bijaknya, perusahaan media harus membekali jurnalis dengan kemampuan analisis data hingga visualisasi data. Bukan menggantinya dengan profesi lain.

Perusahaan juga seharusnya tidak melahirkan konsep programmer-jurnalis, melainkan jurnalis-programmer yang saling adaptif satu sama lain. Interaksi antara keduanya harus dibuat harmonis dalam kerangka fungsi yang terpadu.

Perusahaan harus mampu mengakomodir keduanya dengan baik, memperlakukannya tanpa pilih kasih. Jurnalis jangan sampai menjadi anak tiri dalam rahim jurnalisme. Hal yang perlu diingat, nyawa dari sebuah berita itu bukan di data tetapi ada di jurnalis. At the end of the day, data isn’t the story; people are the story (Casselman, 2019).

Oya, fotografer senior itu memiliki catatan foto jurnalistik yang luar biasa. Tidak sedikit orang yang mengakui karyanya, nasional dan internasional. Sangat disayangkan jika kehadiran jurnalisme data justru membuat ruang foto jurnalistik menjadi sempit. Semoga itu tidak terjadi.

Referensi:

Ilustrasi foto : Bismo Agung Soekarno

Badri, Muhammad. 2017. Tren Pola Konsumsi Media di Indonesia Tahun 2017, Jakarta: Serikat Perusahaan Pers (SPS)

Casselman, Ben. 2019. In Data Journalism, Tech Matters Less Than the People, diakses dari https://www.nytimes.com/2019/11/13/technology/personaltech/data-journalism-economics.html

Salazar, Milagros. 2018. Research: “Data-driven journalism: Visualizing the lie versus revealing the truth” diakses dari https://ijec.org/2018/01/29/research-data-driven-journalism-visualizing-the-lie-versus-revealing-the-truth/

Segnini, Giannina. 2015. Verification Handbook for investigative reporting dalam Salazar, Milagros. 2018. Research: “Data-driven journalism: Visualizing the lie versus revealing the truth” diakses dari https://ijec.org/2018/01/29/research-data-driven-journalism-visualizing-the-lie-versus-revealing-the-truth/

Pundra
Pundra
Pundra Rengga Andhita, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.