Senin, Oktober 14, 2024

Jokowi, Sains, dan Teknologi

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).

Pada bulan Mei, 2017, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menerbitkan buku putih dengan judul Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045—berisikan skenario besar pada pengembangan sains, teknologi maupun pendidikan tinggi di Indonesia.

Penerbitan buku tersebut tentu saja bukan tanpa latar belakang maupun alasan yang jelas. Melainkan dari itu, sebagai upaya besar dalam menelorkan gagasan untuk kepentingan pengembangan pada sektor sains dan teknologi. Tak bisa ditampik, sektor tersebut juga merupakan parameter maupun representasi dari kehadiran sebuah negara.

Dalam hal ini, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menjadi lembaga yang sangat begitu sentral dalam peranan itu. Ia membawahi berbagai perguruan tinggi, tidak terkecuali adalah universitas yang memiliki tugas berupa mencetak akademisi maupun intelektual yang siap memberikan gagasan segar, inovasi maupun perubahan pada pengembangan sains dan teknologi. Tujuan akhirnya, tentu saja adalah pada kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh tanpa terkecuali.

Berangkat dari dua wacana tersebut, sekiranya ada beberapa hal yang menjadi perhatian ketika ditarik pada masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden Republik Indonesia (RI) semenjak tahun 2014. Ada kelebihan maupun kekurangan yang terjadi sejauh ini. Namun, setidaknya realitas yang terjadi pada perkembangan sains dan teknologi belum menunjukkan kemajuan maupun progresivitas yang cukup berarti. Bahkan, dalam banyak pemberitaan maupun pendapat dari beberapa kalangan akademisi—masih berada di kondisi tertinggal.

Sulistyowati Irianto, guru besar Anthropolog Hukum FH Universitas Indonesia (UI) menuliskan esai berjudul Jokowi dan Universitas (Harian Kompas, 27 Januari 2018)—banyak mengetengahkan hal-ihwal problematika yang masih kerap terjadi di universitas kita. Seperti diantaranya adalah bahwasannya universitas yang ada belum bisa terbuka terhadap ilmu multi dan interdisiplin. Padahal dari sedemikian rupa, hal tersebutlah baginya merupakan kebutuhan dari kecenderungan ilmu pengetahuan masa kini. Salah satu hal yang disebutkan dan berpeluang melahirkan tantangan: keberadaan era disrupsi.

Membaca Peta

Ada beberapa lembaga riset di luar perguruan tinggi yang menjadi pemikul tanggung jawab bagi perkembangan sains dan teknologi Indonesia—sebagaimana juga disebutkan dalam buku yang ditulis oleh AIPI tersebut, diantaranya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi (Puspiptek) yang terepresentasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Dewan Riset Nasional (DRN).

Di luar itu pula, tidak bisa dipungkiri akan keberadaan Badan Atom Nasional (BATAN) maupun Badan Pengawas Tenaga Atom Nasional (BAPETEN) yang mempunyai regulasi terhadap pengembangan energi, khususnya adalah pada sumber daya nuklir. Perlu diketahui pula, pada era Jokowi, BATAN memiliki misi berupa pembuatan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang target rampungnya pada tahun 2019. Yang mana, reaktor yang dibangun di Serpong tersebut sebagaimana dituliskan oleh Murjiyono, dkk (2015) dalam Jurnal Pengembangan Energi Nuklir Vol. 17, No. 1, Juni 2015—sebagai embrio pemanfaatan energi nuklir di tanah air. Energi nuklir itu pula diharapkan dapat menjadi solusi kebutuhan energi nasional jangka panjang.

Perkembangan Zaman

Setelah Revolusi Industri 4.0 digaungkan kepada seluruh permukaan lapisan masyarakat, setidaknya berbagai tugas besar sudah menanti. Tak terkecuali juga pada ranah sains dan teknologi.

Pada momentum tersebut ditandai dengan pemanfaatan kemajuan teknologi digital. Dalam esai berjudul Kecerdasan Buatan dan Keributan Beneran di Majalah Basis No. 11-12, 2017, Dr. B. Hari Juliawan menyatakan—penggunaan komputer bukan lagi sekadar pengolah data, tetapi menjelma menjadi mesin yang bisa belajar sehingga mampu mengolah data yang semakin kompleks dan mengambil keputusan yang semakin akurat. Kita kemudian mafhum mengenal hal itu dengan sebutan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (ai).

Realitas yang terjadi pada dinamika ilmu pengetahuan masih menjadi persoalan tersendiri di Indonesia. Seperti diantaranya adalah kemampuan berpikir dan bernalar yang salah satunya direpresentasikan oleh literasi matematika. Seperti halnya dipaparkan dalam salah satu berita yang ada di Harian Kompas, 12 November 2018 berjudul Nalar Bermatematika Gawat. Di sana disebutkan bahwasannya tingkat kompetensi matematika di berbagai tingkatan sekolah—dasar hingga menengah dari tahun 2000 hingga 2018 belum menunjukkan grafik peningkatan yang signifikan.

Kemudian daripada itu, menilik data angkatan kerja Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 yang juga diangkat oleh Karlina Supelli dalam ceramah ilmiahnya di Universitas Katolik Parahyangan pada 22 September 2017—hanya 18,4% penduduk berusia 19-24 tahun yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Selain itu, yang menjadi keresahan lain adalah fakta bahwa hampir 50% angkatan kerja Indonesia lulusan sekolah dasar, bahkan sebagian diantaranya tidak lulus sekolah dasar. Ini tamparan keras bagi kita semua, tentunya.

Keresahan demi keresahan wajar hadir dari sebagian besar kalangan. Tugas besar sudah begitu menanti. AIPI sebagai badan independen untuk memberikan pendapat, saran dan nasihat kepada pemerintah dan masyarakat terkait akuisisi, pengembangan serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam buku putih tersebut mengidealkan akan sinergitas berbagai sektor yang ada—akademik, industri hingga pemerintah untuk terciptanya sebuah sistem sains dan teknologi. Toh, kita tidak menginginkan saat dampak disrupsi maupun tantangan dari revolusi industri 4.0—tak bisa menghadapinya. Lebih dari itu, bukankah bonus demografi di Indonesia juga akan segera tiba.

Dari kesemua itu pada dasarnya memang bukan tanggung jawab dari satu-dua orang saja. Melainkan dari itu, tanggung jawab bersama—dari berbagai elemen atas kepentingan sebuah bangsa maupun negara. Hal tersebut tentu saja membutuhkan regulasi maupun sistem yang jelas dan punya misi dalam jangka pendek, menengah maupun panjang—hulu sampai hilir.

Lebih lagi, kalau menilik dari beberapa negara maju maupun berkembang lain yang sudah mapan dalam perkara sains dan teknologi—tak lain dan tak bukan teridealkan lewat lingkaran dari beberapa sektor, yaitu: akademik, industri serta pemerintah. Hingga kemudian ia dapat bertransformasi pada penciptaan maupun produksi pengetahuan serta teknologi baru yang lebih maju dan memberikan kebermanfaatan bagi banyak orang.[]

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.