Sebelum meninggalkan jabatannya, Presiden Jokowi (Joko Widodo) mendorong agar Indonesia masuk sebagai anggota penuh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Pada tanggal 28 Mei 2024, Presiden Jokowi bertemu dengan Sekjen OECD (Mathias Cormann) untuk membahas aksesi Indonesia agar menjadi anggota dari organisasi yang didirikan pada tahun 1961 ini.
Jokowi saat itu membentuk Tim Nasional melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2024 yang dipimpin oleh Menko Perekonomian untuk mempercepat proses ini dengan target tiga tahun. Tim ini memiliki tujuan untuk mengintegrasikan target aksesi OECD ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Indonesia (RPJMN) sehingga nantinya menjadikan langkah ini sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional. Sebagai langkah awal, Indonesia akan menyusun initial memorandum dalam waktu 250 hari dan menjalani survei ekonomi yang diadakan oleh OECD. Survei ini akan mengevaluasi kesiapan regulasi dan iklim investasi Indonesia yang dianggap penting untuk menarik lebih banyak investasi asing.
Keanggotaan Indonesia di OECD diproyeksikan dapat memperkuat ekosistem industri semikonduktor di Indonesia serta memajukan kerangka kerja ekonomi digital yang diharapkan akan memperkuat posisi Indonesia dalam persaingan ekonomi global. Keanggotaan penuh di OECD tak hanya meningkatkan reputasi ekonomi Indonesia di ranah internasional, tetapi juga memfasilitasi adopsi praktik global terbaik di bidang ekonomi dan investasi. Selain itu, dengan menjadi anggota ke-39 OECD, Indonesia diperkirakan akan mendapatkan akses yang lebih luas ke pasar internasional sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan oleh Jokowi dan menjadikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi.
Prabowo Ingin Indonesia Masuk BRICS
Setelah dilantik menjadi Presiden terpilih pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto langsung menunjuk Sugiono, Menteri Luar Negeri di kabinetnya untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa) di Kazan, Rusia pada 23-24 Oktober 2024. Kunjungan ini tampak menjadi kontraproduktif dengan keinginan Jokowi agar Indonesia menjadi bagian dari OECD daripada BRICS. Hal ini juga menjadi pertanda atas langkah pertama Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo dalam kurun waktu kurang dari satu minggu untuk berpartisipasi aktif pada forum BRICS.
Dalam kunjungan itu, Sugiono ditugaskan untuk mewakili kepentingan Indonesia di forum ekonomi ini dan menyuarakan solidaritas negara-negara berkembang. Hal ini sekaligus menegaskan atas ketertarikan Indonesia untuk menjadi bagian dari BRICS yang menurut Prabowo bisa membawa manfaat bagi keamanan energi dan akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia.
Prabowo lebih mempertimbangkan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS sebagai strategi untuk meningkatkan pengaruh Indonesia di antara negara-negara berkembang. Dalam berbagai diskusi, Prabowo (sebelum dilantik menjadi presiden) mendapat masukan dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menyampaikan manfaat ekonomi potensial dari BRICS termasuk peningkatan keamanan energi dan peluang ekspor ke pasar yang lebih luas di negara-negara anggota BRICS.
Secara singkat, profil organisasi yang berdiri tahun 2006 ini terdiri dari sepuluh negara, mengendalikan lebih dari 40% cadangan minyak, dan 50% cadangan gas dunia yang secara tidak langsung dapat memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan energi dengan negara-negara Barat jika bergabung ke dalam anggota BRICS.
Meskipun demikian, Indonesia tetap harus mempertimbangkan secara hati-hati atas dampak geopolitik dari keanggotaannya di BRICS khususnya terhadap hubungannya dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat yang merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.
Di sisi lain, Tiongkok yang merupakan salah satu kekuatan utama dalam BRICS juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam perekonomian Indonesia. Dominasi dua negara ini (AS dan Tiongkok) terhadap perekonomian Indonesia cukup membuat Indonesia harus berhati-hati dalam memainkan perannya dalam tata kelola geopolitik dan geoekonominya.
Meskipun Retno Marsudi menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tetap bebas aktif, bukan berarti Indonesia bebas dari anggapan akan kecenderungannya ke pihak tertentu sehingga membahayakan kondisi perekonomian dalam negeri. Apalagi hal ini diperkuat dengan adanya konflik yang memanas di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina sehingga dapat membuat baik OECD maupun BRICS menjadi proksi untuk melihat keberpihakan suatu negara dalam kebijakan ekonominya. Oleh karena itu, keputusan untuk bergabung dengan BRICS harus diambil dengan mempertimbangkan manfaat nyata bagi ekonomi domestik tanpa harus memperburuk bahkan mengorbankan hubungan dengan pihak lain.
Indonesia Berpeluang Masuk OECD dan BRICS
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi anggota OECD dan BRICS, mengingat kepentingan Indonesia atas dua geng tersebut berbeda. OECD memiliki kecenderungan sebagai grup pengawasan atau think tank untuk mendorong anggotanya agar terus memiliki kebijakan yang mendorong kemakmuran, kesetaraan, kesempatan, dan kesejahteraan bagi semua orang.
Sedangkan BRICS memiliki orientasi fokus kerjasama Selatan-Selatan, memperkuat suara negara-negara berkembang di ranah internasional, serta reformasi lembaga keuangan internasional. OECD didominasi oleh negara belahan dunia barat, hanya Jepang dan Korea Selatan yang berasal dari Asia serta Selandia Baru dan Australia dari Oseania. Sedangkan mayoritas anggota BRICS adalah negara-negara berkembang dan yang memiliki potensi ekonomi besar, seperti Brazil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, UEA, Arab Saudi, Mesir, & Ethiopia.
Jokowi berpandangan bahwa menjadi anggota OECD merupakan langkah strategis untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah dan mencapai status negara berpenghasilan tinggi.
Selain menarik investasi, keanggotaan OECD memungkinkan Indonesia mengadopsi praktik-praktik terbaik dalam tata kelola ekonomi yang bisa memperkuat sektor-sektor penting. Indonesia diharapkan dapat mengakses pengetahuan dan data OECD yang berguna dalam penyusunan kebijakan untuk menghadapi tantangan domestik dan global seperti ketimpangan dan transisi energi.
Sedangkan Prabowo melihat BRICS sebagai peluang untuk memperluas kerja sama ekonomi tanpa keterikatan pada blok geopolitik tertentu yang sejalan dengan prinsip non-blok atau politik bebas aktif Indonesia. Jika bergabung, Indonesia dapat memanfaatkan pengalaman negara-negara BRICS dalam perdagangan dan investasi lintas wilayah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif di Indonesia.
BRICS menawarkan peluang bagi Indonesia untuk memperluas pengaruhnya di antara negara-negara berkembang & memperkuat keamanan energi melalui akses ke pasar dan sumber daya energi global dengan tetap menjaga prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif. Sedangkan dengan menjadi anggota OECD, Indonesia bisa meningkatkan standar tata kelola ekonomi, iklim investasi yang stabil, & reformasi struktural jangka panjang yang akan menarik investasi asing berteknologi tinggi dan mendukung pembangunan berkelanjutan.