Sabtu, April 20, 2024

Jihad Politik, Muhammadiyah di Persimpangan Jalan

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

”Di tahun politik, tidak boleh seorang Haedar Nashir memilih menyerahkan ke kader untuk menentukan sikapnya di pilpres. Kalau sampai seperti itu, akan saya jewer.”

Pernyataan Amien Rais yang mengusik sekaligus bakal ”menjewer” Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir perihal sikap politik sebagaimana contoh fragmen berita di atas menggelinding bak bola panas.

Mantan ketua umum PP Muhammadiyah (1995–1998) itu menyampaikannya dalam Tabligh Akbar dan Resepsi Milad Ke-106 Masehi Muhammadiyah di Islamic Center Surabaya akhir bulan lalu (20/11). Di milis-milis Muhammadiyah begitu berita tersebut turun, ucapan berbau politis itu segera menjadi perdebatan.

Dari kasus tersebut, saya punya pertanyaan yang ternyata melarat ke mana-mana. Pertama, dalam 2–3 tahun belakangan sudah dua kali Muhammadiyah Surabaya mengundang Amien Rais dan apa yang disampaikannya tak jauh berbeda: sedikit bicara keumatan dan banyak membahas politik. Apa gerangan motif Muhammadiyah Surabaya mengundang dewan pembina PAN itu, padahal daerah lain seperti Malang dan Jombang, misalnya, lebih memilih untuk menghadirkan tokoh Muhammadiyah yang tidak ”kontroversial”?

Kedua, apakah ini berkaitan dengan keputusan konsolidasi nasional Muhammadiyah Maret 2018 yang menurut informasi membincang jihad politik? Ketiga, Muhammadiyah senantiasa mengambil dua peran dalam berpolitik: high politics dan real politics. Lantas, jika dulu persyarikatan masih lekat dengan politik adiluhungnya, apakah sekarang pendulum itu serta-merta bergeser menjadi politik praktis?

Soal Muhammadiyah Surabaya yang dua kali mengundang Amien Rais ini saya risaukan sebelumnya. Sebab, selama ini erat kaitan ia dengan partai politik dan bahkan mendukung serta turut mengusung capres tertentu. Tapi, toh mayoritas kader di Kota Pahlawan antusias dengan gaya persuasi Amien Rais. Kutipan berita sarat agitasi di bawah ini adalah bukti sahih.

”Jadi adil, keadilan itu ada di ideologi kita, ada di Alquran kita. Tugas kita adalah pergantian pimpinan nasional, setuju tidak?” tandas Amien. ”Setuju,” jawab hadirin.

Mahsun dalam bukunya, Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajrid dan Tajdid (2017), menjelaskan bahwa Khitah Ujung Pandang (1971) merupakan khitah yang paling sering dirujuk sebagai pedoman atau acuan pokok dalam menentukan sikap politik organisasi. Poin pertama menyatakan, Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari satu partai atau organisasi apa pun. Kedua, setiap anggota Muhammadiyah dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari AD, ART, dan ketentuan lain dalam persyarikatan.

Di dalam Khitah Denpasar (2002), sikap Muhammadiyah terhadap politik dipertegas.Pertama, melalui kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kenegaraan (real politics) sebagaimana dilakukan oleh kekuatan politik lainnya. Kedua, kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat memengaruhi kebijakan negara dalam perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat bangsa dan negara. Pada poin 6 dari 9 poin yang ada juga ditegaskan kembali bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik maupun organisasi mana pun.

Jadi, meskipun sama-sama berlambang matahari, Muhammadiyah dan PAN sama sekali tidak berafiliasi. Eksemplar kader Muhammadiyah bisa ke mana saja. Asalkan tidak menyimpang dari ciri Muhammadiyah sekaligus tidak membawa panji organisasi, sah-sah saja kader terjun ke dunia politik. Amien Rais yang konsisten dengan partai yang dirintisnya, PAN; Din Syamsuddin dan Hajriyanto Y. Thohari yang pernah berkecimpung di Golkar; hingga tokoh intelektual muda semacam Fajar Riza Ul Haq yang merapat ke partai baru PSI adalah kenyataan bahwa Muhammadiyah membebaskan alias tidak melarang kadernya berkiprah di mana pun.

Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad juga menegaskan bahwa Muhammadiyah secara kelembagaan tidak akan pernah bermain di wilayah politik praktis. Jika ada orang struktural yang menjadi caleg, misalnya, dia harus mengundurkan diri dari kepengurusan (bukan keanggotaan).

Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid pernah menulis opini di Jawa Pos  dengan judul Jihad Politik Hadang Politik Transaksional. Dalam tulisan itu, tokoh Muhammadiyah yang dikehendaki dan didorong kader-kadernya untuk maju dalam kontestasi DPD ini menyatakan bahwa memasuki usia ke-106 ini persyarikatan menelurkan spirit baru, yaitu jihad politik. Kebijakan jihad politik itu lahir dalam konsolidasi nasional yang digelar Maret 2018. Jihad politik ini diejawantahkan bahwa kader-kader yang dinilai punya kapasitas dan integritas dalam politik untuk ikut berlaga dalam kontestasi Pemilu 2019 melalui parpol-parpol yang dianggap sevisi dengan persyarikatan.

Keputusan jihad politik itu pun membuat Muhammadiyah seperti berada di persimpangan jalan. Apakah keputusan tersebut sebatas untuk menandai spirit gerakan yang bebas tafsir seperti jihad-jihad lainnya (ekonomi, konstitusi, digital), ataukah langsung menjadi instruksi yang sifatnya top down. Apakah warga Muhammadiyah patuh dengan calon-calon yang direkomendasikan pimpinan, ataukah tetap diberi hak kebebasan dan independensi untuk memilih. Hasil jihad politik juga seperti paradoks dengan apa yang disampaikan PP Muhammadiyah di atas. Keresahan biasanya dialami kader grassroots (akar rumput).

Barangkali memang banyak kader yang sepakat dengan spirit jihad politik ini, yang bertendensi ke wilayah real politics. Namun, saya yakin tak kalah banyak pula yang menganggap bahwa Muhammadiyah lebih baik tetap mengutamakan bergerak ke high politics (politik adiluhung) seperti cita-cita di awal. Doktrin high politics mengisyaratkan, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan tidak akan pernah terlihat dalam politik praktis. Muhammadiyah akan lebih berkonsentrasi pada gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar sehingga tercipta masyarakat madani (civil society) yang sejahtera, adil, dan makmur.

Dalam kaitan itu, high politics Muhammadiyah adalah gerakan moral dalam rangka turut serta memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara, Muhammadiyah tidak mendukung salah satu kekuatan partai politik tertentu, apalagi mendesak-desakkan kadernya menjadi pemimpin nasional. Sederhananya, dalam high politics, Muhammadiyah selalu siap jika sewaktu-waktu diminta negara untuk membantu mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Muhammadiyah tidak ”meminta-minta”, tetapi lebih ”dimintai tolong”.

Pada akhirnya, petuah Haedar Nashir, Muhammadiyah bukanlah kekuatan monolitik. Sebab, tidak ada orang, parpol, atau ormas mana pun yang bisa memaksakan pilihan politik. Muhammadiyah tetap cair dalam berpolitik. Sementara Saad Ibrahim berpesan, Muhammadiyah tidak boleh dibawa terlibat dalam politik praktis. Kalaupun ada keuntungan, itu hanya jangka pendek. Padahal Muhammadiyah harus berdakwah sepanjang hayat. Pernyataan dua tokoh penting di atas selaras dengan apa yang saya kehendaki dalam tulisan ini sebagai otokritik: Muhammadiyah tetap mengutamakan politik adiluhung alih-alih politik praktis.

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.