[Foto: harisantri.id]
Pembentukan Negara Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kontribusi kaum santri yang telah menempuh pahit getir jihad kebangsaan demi membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme. Jihad kebangsaan kaum santri itu diinisiasi oleh tiga tipikal santri Nusantara, yang saya sebut dengan istilah “Santri-Ulama”, “Santri-Intelek” dan “Santri-Kyai”.
Nasionalisme Klasik Santri-Ulama
Jihad kebangsaan kaum santri telah dimulai jauh sebelum era revolusi nasional. Seiring perluasan budaya santri pada abad ke-19, jaringan ulama berbasis pesantren dan tarekat sufi memainkan peran yang semakin menonjol dalam kancah perjuangan anti-kolonial. Jaringan ulama pesantren ini terkonsolidasi seiring pembentukan formasi baru komunitas epistemik “Kampung Jawa” di Haramain (Mekah dan Madinah), yang ditandai oleh kemunculan figur ulama-ulama Jawi berkaliber internasional seperti Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Mahfudz Termas. Para ulama Jawi yang mengajar di Masjidil Haram ini dianggap sebagai maha guru dari para kyai terkemuka seperti KH Khalil Bangkalan, KH Asnawi Caringin, KH Abdul Karim Banten, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Abdul Karim Amrullah, KH Wahab Hasbullah dan sebagainya.
Para ulama Jawi di Haramain itu bukan hanya menjadi pusat otoritas dalam proses reproduksi dan redistribusi pengetahuan keagamaan, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap kemunculan gerakan-gerakan politik akar rumput di Tanah Air. Bahkan pemberontakan-pemberontakan pribumi sepanjang abad ke-19 disinyalir oleh pemerintah kolonial sebagai akibat dari spirit perlawanan yang dihembuskan oleh para ulama Jawi di Haramain. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, ulama Nusantara yang dikenal secara luas di hampir seluruh dunia Arab dan diakui sebagai sumber otoritas tradisi keilmuan pesantren, diidentifikasi oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu aktor penting yang harus diinvestigasi.
Menurut Snouck Hurgronje (2007: 290), “di bawah inspirasinya, semakin banyak orang Sunda, Jawa, dan Malaya yang belajar Islam secara mendalam, dan ideal-ideal politik-keagamaan Islam, dalam bentuknya yang paling maju, semakin berkembang luas.” Lebih dari itu, “kebangkitan kesultanan Banten, atau negara Muslim yang merdeka, dalam bentuk apapun, akan disambutnya dengan penuh suka cita.” Meskipun sebagian besar karya Syaikh Nawawi cenderung menghindari wacana politik, namun secara diam-diam ia kerap mengekspresikan sentimen anti-kolonial dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemerintahan Belanda sebagai masalah prinsip.
Dalam perkembangannya, sentimen anti-kolonial dikumandangkan secara lebih terbuka oleh Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dalam tulisan-tulisannya, tokoh yang dianggap sebagai inspirator gerakan reformisme Islam di Indonesia ini secara aktif mengecam perilaku Belanda di seluruh Tanah Jawa. Dia seringkali menggambarkan Belanda sebagai kaum kafir yang telah meracuni hati umat Islam. Dalam pandangannya, berhubungan dengan kaum kolonial yang kafir merupakan sebab utama dari kemunduran semangat Islam (Karel Steenbrink, 1984: 146-147).
Kebanyakan karya awal Ahmad Khatib menaruh perhatian pada trigonometri dan serangan terhadap adat Minangkabau. Di mata Syaikh Ahmad Khatib, intervensi Belanda terhadap kaum bangsawan yang menjadi pendukung de facto adat Minangkabau telah meminggirikan syariah dari Alam Minangkabau dan merusak koeksistensi adat dan syariah yang telah lama hidup berdampingan seperti di kebanyakan Tanah Jawa. Oleh karena itu, bagi Ahmad Khatib, perjuangan melawan dominasi adat kala itu merupakan tindakan anti-kolonial (Michael Laffan: 2003: 110).
Nasionalisme Modern Santri-Intelek
Jihad kebangsaan kaum santri semakin menemukan momentumnya menjelang revolusi kemerdekaan nasional. Kali ini, peran tersebut sebagian besar dimainkan oleh santri-intelek berpendidikan Barat yang berasal dari kalangan priyayi. Mereka pada umumnya bergabung dalam Sarekat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto.
Secara genealogis, para kyai yang memimpin pesantren-pesantren di seluruh Jawa justru berasal dari kalangan priyayi. Konon, pesantren pertama di Jawa adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang berdiri di atas tanah perdikan hadiah dari Kasunanan Surakarta dan dipimpin oleh seorang Kyai-Priyayi, Ki Ageng Hasan Besari. Model Tegalsari mengilhami Tremas, Tremas mengilhami Tebu Ireng, dan Tebu Ireng mengilhami seluruh sistem pesantren di Pulau Jawa. Jadi, “kebangkitan” kaum santri dengan pesantren-pesantrennya itu dipelopori oleh priyayi (Nurcholish Madjid: 1997: 52).
HOS Tjokroaminoto sendiri, tokoh pergerakan nasional yang berjuang keras mewujudkan “pemerintahan sendiri” (zelfbestuur), adalah anak priyayi Muslim taat, Raden Mas Tjokroamiseno, yang merupakan keturunan Ki Ageng Hasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari. Pelopor pergerakan Indonesia yang diberi gelar “Raja Jawa Tanpa Mahkota” ini merupakan guru para pemimpin besar revolusi di Indonesia seperti Soekarno, Semaoen, Alimin, Muso, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka.
Tokoh SI lain, Agus Salim, seorang priyayi Minang yang memperoleh status legal dari pemerintah Belanda sebagai “orang putih” dan mempunyai hak yang sama dengan orang Belanda, adalah anak seorang bangsawan Muslim taat dari Minangkabau, yaitu Sutan Mohammad Salim, yang memiliki ikatan keluarga dengan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Agus Salim inilah, yang sepulangnya dari Jeddah, menyebarkan intelektualisme Islam dan meraih simpati di kalangan priyayi muda berpendidikan Barat, yang belakangan menjadi para pemimpin intelektual Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem.
Nasionalisme Religius Santri-Kyai
Jihad kebangsaan kaum santri yang tak pernah padam sejak era kolonial hingga era kemerdekaan itu memperoleh refleksi spiritualnya dalam jargon terkenal Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, “Cinta Tanah Air sebagian dari iman” (hubb al-wathan minal îman). Jargon ini mencerminkan prototipe ideal “ulama-nasionalis” atau “nasionalis-ulama” yang tumbuh dalam konteks budaya santri Nusantara dan tidak dimiliki oleh ulama di negara Muslim lain termasuk Timur Tengah.
Rasa cinta Tanah Air KH Hasyim Asy’ari sendiri dibuktikan oleh keteguhannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan NKRI dari ancaman pendudukan kembali tentara sekutu Belanda dan Inggris (NICA) dengan mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad—atas permintaan presiden Soekarno—yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan jihâd fî sabîlillâh.
Fatwa Jihad itulah yang kemudian mendorong para kyai NU untuk mengeluarkan “Resolusi Jihad” di Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945 dan kemudian mengobarkan semangat juang para santri, ulama dan seluruh komponen bangsa dalam Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Terlepas dari fakta bahwa Resolusi Jihad diinisiasi oleh santri-kyai atau santri-sarungan, episode tersebut patut dianggap sebagai momentum simbolik yang mencerminkan spirit kebangsaan umat Islam untuk mempertahankan NKRI sebagai bentuk final negara.
Selamat Hari Santri Nasional!