Selasa, April 23, 2024

Feodalisme Yogyakarta Sebagai Pelindung Bangsa?

Helmi Iqbal Mahardika
Helmi Iqbal Mahardika
S1 Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di UPN "Veteran" Yogyakarta

Semua orang tidak akan membantah julukan Yogyakarta sebagai kota budaya. Ibarat kata hanya sejengkal melangkah, pasti ada budaya yang berbeda. Provinsi terkecil kedua di Indonesia, namun memiliki kekayaan budaya dari ujung pantai hingga puncak gunung.

Kekayaan budaya Yogyakarta tidak hanya terlihat dalam bentuk kesenian. Keramaah dan “unggah-ungguh” masyarakat Jawa kental terasa di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah ini. Bagaimana para wisatawan maupun pendatang disambut dengan ramah dibalik senyum sumringah warga Jogja. Bahkan orang tak dikenalpun jika disapa pasti akan memberi respon yang mensejukkan hati, itulah Yogyakarta.

Namun 1 Mei yang lalu, masyarakat dibuat geram dengan aksi mahasiswa. Aksi yang berdalih memperingati hari buruh atau Mayday berujung kericuhan. Dimana mahasiswa yang menamakan dirinya Gerakan Satu Mei (GERAM). Justru menuntut dibatalkannya proyek bandara baru yang dibangun di Kulon Progo. Proyek yang sudah berjalan dan telah dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Jokowi pada Januari 2017 lalu.

Mahasiswa yang berorientasi anti kemapanan dan kapitalisme menyuarakannya di Pertigaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Seruan yang berisi propaganda untuk menolak bandara berujung bentrok dan pembakaran pos polisi. Bahakan mahasiswa melakukan aksi vandalisme yang bertuliskan “bunuh sultan”, “hancurkan kesultanan”. Pelaku mungkin bukan orang Jogja asli.

Masyarakat Yogyakarta sangat mencintai pemimpinnya, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono X. tidak mengherankan jika warga marah dengan aksi tidak bertanggungjawab tersebut. Sang Sultan sudah sejak jaman dahulu dihormati oleh warganya. Dianggap sebagai Khalifah atau pemimpin ditanah Ngayogyakarta Hadiningrat. Bahkan jika bertemu Sultan, mereka percaya bahwa dengan bersalaman dengannya, maka akan mendapat berkah. Hal tersebut lumrah terjadi karena memang kepercayaan masyarakat masih dipengaruhi budaya kejawen.

Sebetulnya apa yang dilakukan mahasiswa membuktikan bahwa dirinya tidak memahami sejarah. Jika menilik sejarah bangsa Indonesia, Kesultanan Yogyakarta memainkan peranan penting dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Pada jaman penjajahan, wilayah Yogyakarta bukan termasuk wilayah jajahan Belanda. Hal ini terjadi Karena rasa hormat yang tinggi terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Perlu diketahui bahwa Kesultanan Yogyakarta merupakan negara merdeka yang bukan merupakan bagian dari Hindia Belanda.

Pada masa awal kemerdekaan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang kemudian dikenal dengan amanat 5 September 1945. Isi dekrit yang menegaskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tunduk terhadap NKRI. Keputusan yang luar biasa dari sang Sultan, mengingat bahwa bisa saja Yogyakarta menjadi negara merdeka. Atas keputusannya, Sultan mempertaruhakan tahta, kerajaan dan rakyatnya untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, Kesultanan Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX bak bidan yang merawat bayi yang baru lahir. Ketika tahun-tahun awal kemerdekaan, Yogyakarta menggantikan Jakarta pada 1946 karena suasana mencekam di Jakarta saat itu. Bahkan sang Sultan yang melindungi Sukarno dan Hatta di dalam kerajaannya. Bayangkan saja jika Sukarno selaku pemimpin negara  tidak selamat. Perjuangan ratusan tahun mungkin akan sia-sia.

Melihat sikap Sultan yang begitu arif dan bijaksana. Maka apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa pada 1 Mei sungguh mencederai perjuangan kemerdekaan. Mereka yang mengatasnamakan kehidupan yang lebih layak, justru menginjak-injak martabat negara. Jasa besar Sultan beserta kerajaannya bahkan menjadi cikal bakal keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta.

Ada feodalisme pada tubuh NKRI. Namun yang harus diketahui, feodalisme yang terjadi bukanlah feodalisme yang otoriter. Warga Jogja sangat nyaman dengan sistem yang ada. Mereka menjunjung tinggi prinsip ngalah, ngalih, ngamuk. 

Artinya jika diganggu meraka akan mengalah, namun jika masih diganggu  mereka akan pergi. Jika sudah pergi masih saja diganggu, maka jalan terakhirnya adalah mengamuk. Jadi bagi para mahasiswa yang tidak bisa menghargai Jogja. Diam dan menetap atau berulah namun pergi sekarang juga.

Helmi Iqbal Mahardika
Helmi Iqbal Mahardika
S1 Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di UPN "Veteran" Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.