Seratus tahun lampau, 31 Juli 1917, Hans Bague (H.B.) Jassin) lahir ke dunia. Anak Gorontalo itu semasa hidupnya menandai kebangkitan tradisi literasi Indonesia. Ia diperjalankan sebagai individu yang multi talenta, baik sebagai kritikus, dokumentator, pengajar, maupun “guru bangsa” dalam bidang literasi yang tak tercatat resmi.
Sikapnya yang rendah hati, sekalipun diberi predikat sebagai Paus Sastra, tak lantas membuat Jassin besar kepala. Ia memilih hidup setelanjang-telanjangnya sebagai orang yang tekun, meskipun kerja intelektualnya tak dihargai, bahkan diacuhkan oleh publik.
Ignas Kleden dalam esai berjudul Menyongsong 80 Tahun H.B. Jassin: Menghargai Sebuah Dokumen Hidup yang dimuat di Kompas pada 27 Juli 1997, menyatakan bahwa predikat “dokumentator” itu menandakan pujian dan sekaligus sindiran karena dianggap “tak setara” sebagaimana penulis kritik, esai, dan karya kreatif.
Tapi Jassin bukan penghamba identitas, melainkan cenderung bertahan pada personalitas. Identitas justru bertahan pada arus popularitas (internal), sedangkan personalitas berkonsentrasi pada dorongan batin (eksternal). Dengan kata lain, kerja intelektual yang ia perjuangkan selama hidupnya itu terdorong dari inisiatifnya sendiri, walaupun acap kali Jassin mengeluarkan rupiah secara mandiri.
Kebulatan tekad yang Jassin tempuh mengajarkan generasi muda betapa ketulusan hati tak dinilai secara nominal, tetapi substansial yang lebih abadi. Di mata Jassin parameter untung-rugi tak berlaku selamanya sebab di atas kalkulasi ekonomi konvensial selalu bersemayam moralitas kemanusiaan.
Nilai ini menjadi titik tolak dalam memahami Jassin sebagai manusia humanis yang konsisten mempertahankan komitmen itu hingga akhir hayat. Sejarah barangkali tak menyangka bahwa jerih payah Jassin selama setengah abad dalam jagat pustaka ternyata menghasilkan terobosan bagi ilmu sastra Indonesia.
Hasil dokumentasi yang kemudian mendapatkan apresiasi finansial dan institusi oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, itu menjadi lumbung informasi bagi para peneliti, pengajar, mahasiswa, maupun elemen sosial lain yang memposisikan sastra sebagai objek kajian. Tanpa Jassin, karya tulis dari tangan kreatif mereka mustahil lahir—setidaknya diperkaya oleh data milik Jassin.
Di sisi lain, kehadiran Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki itu berposisi sebagai antitesis kondisi sosiologi masyarakat Indonesia yang cenderung mengunggulkan tradisi lisan. Pada titik demikian Jassin memotong atau merevitalisasi jalan baru bagi tradisi tulis dan dokumentasi di Indonesia.
Kendatipun ikhtiar Jassin tersebut sebetulnya bukan hal baru; karena generasi sebelumnya, para pujangga Yasadipura I (1729-1802) hingga Raden Ngabehi Rangga Warsita (1802-1873), telah mengupayakan itu. Namun, terdapat generasi ahistoris antara Jassin dan dua pujangga zaman Mataram Islam: literasi tulis diabaikan, sementara dorongan lisan lebih dihela. Realitas tersebut tak berarti bahwa kecakapan tulis lebih unggul ketimbang lisan, tetapi terdapat kecenderungan dominan pada salah satu di antaranya.
Generasi Pasca Jassin
Sosiolog kelahiran Hungaria, Karl Manheim, mencetuskan frasa generasi milenial dua dekadae sebelum perang dunia kedua. Menurutnya, sebagaimana tertulis dalam esai masyhur berjudul The Problem of Generation, generasi ini memiliki nama lain, yakni generasi Y yang lahir pada rentang tahun 1981-1994. Ditambah dengan generasi Z, lahir antara 1995-2010, generasi milenial menempati posisi strategis dalam kebangkitan bangsa.
Karena itu, pertanyaan yang mengemuka antara lain apa relevansi teori Manheim dan Jassin dalam konteks hari depan bangsa Indonesia? Simplikasi jawaban atas pertanyaan tersebut terbagi menjadi dua pokok.
Pertama, generasi milenial niscaya bersemuka dengan literasi digital sebagai konsekuensi logis atas masifnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sejumlah peneliti menyimpulkan karaktertistik generasi Y dan Z mustahil terlepas dari telepon pintar setiap harinya.
Simtom atas kenyataan ini disadari publik dapat mengubah kebiasaan komunikasi lisan menjadi komunikasi tulis dengan dan melalui ponsel daring. Mereka melakukan interaksi sosial tanpa harus bertatap muka secara langsung karena gawainya telah menghubungkan satu sama lain dalam waktu yang bersamaan. Bila sepuluh tahun terakhir telepon genggam adalah peranti mewah-tersier, kini paradigma itu bergeser drastis menjadi galib-primer.
Kedua, akibat penjelasan pertama, kemudian muncul pertanyaan klise: bagaimana kontribusi Jassin? Tentu, sudut pandang perkara tersebut di balik menjadi sejauh mana generasi milenial meneladani Jassin sebagai pegiat literasi.
Penjungkirbalikan pernyataan itu sangat relevan bagi generasi yang diharapkan menjawab prediksi global berupa “bonus demografi”, khususnya bagi negara-negara di dunia ketiga yang akan menikmati hasilnya limabelas tahun mendatang.
Generasi milenial, karenanya, seyogianya meneruskan perjuangan Jassin sebagai intelektual yang “melek literasi” karena mampu mengonstruksi manusia menjadi pribadi yang kritis dan inovatif dalam menghadapi tantangan zaman.
Sikap demikian sangat krusial di tengah masyarakat umum yang gemar mengonsumsi informasi tanpa menggunakan rasio dan cenderung “sumbu pendek” terhadap pengetahuan yang masih simpang-siur. Dengan demikian, Jassin sebagai ilmu dan laku pantas diteladani generasi milenial untuk menyongsong Indonesia emas sebentar lagi.