“Anakku sayang, jangan merokok ya”. Mungkin perkataan itu pernah terlontar dari orangtua yang menyayangi anaknya. Pendidikan anak memang banyak permasalahan, diantaranya perilaku merokok pada anak. Perilaku ini tidak diinginkan oleh sebagian besar orang, karena secara medis diyakini merokok merupakan gaya hidup tidak sehat.
Memang, permasalahan kebiasaan merokok bukan hanya melanda orang dewasa, tapi juga menjadi permasalahan pada anak dan remaja. Mengingat efek buruk dari kebiasaan merokok, maka perilaku anak merokok patut menjadi prioritas perhatian bersama. Oleh karena itu, jangan biarkan anak untuk memulainya, demi masa depan emas mereka.
Saat ini, jumlah anak di Indonesia usia 19 tahun ke bawah masih relatif besar. Berdasarkan data proyeksi tahun 2022, ada sekitar 32,04 persen dari total penduduk Indonesia adalah anak usia di bawah 19 tahun. Proporsi yang cukup besar tersebut patut menjadi perhatian demi masa depan bangsa menuju Indonesia emas 2045.
Mulai Merokok
Usia remaja merupakan masa transisi menuju dewasa. Anak yang memasuki masa transisi tingkat emosinya belum stabil. Biasanya, anak usia 18 tahun ke bawah merupakan masa transisi terberat. Selama kurun waktu tersebut, mereka mencari jati diri dengan mencoba banyak hal, termasuk mencoba untuk merokok. Disinilah peran orangtua sangat diperlukan.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebagian besar orang mulai merokok pada usia kurang dari 20 tahun. Pada usia tersebut, mereka merasa bangga kalau sudah merokok, karena memang emosinya masih labil. Sementara itu, ada sekitar 11 persen anak usia kurang dari 15 tahun mulai merokok.
Perilaku merokok pada anak usia sekolah sangat memprihatinkan. Ditengarai perilaku merokok merupakan pelampiasan atas ketidakpuasan mereka. Bisa jadi tidak puas terhadap prestasi belajar, atau karena permasalahan keluarga. Hal tersebut menyebabkan mereka mulai merokok. Lazimnya kebiasaan merokok dimulai dari coba-coba dan ikut-ikutan.
Permasalahan tersebut jika terjadi terus menerus, akan membuat anak tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Otak mereka akan sulit diajak berpikir dan memproses hal positif. Prestasi belajar mereka akan terus menurun. Kalau sudah demikian, tidak sedikit yang mengalihkan perhatian mereka untuk mulai mencoba merokok.
Apabila perilaku merokok pada anak dibiarkan dalam kurun waktu lama dapat menyebabkan kecanduan, dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan belajar mereka. Minat belajar pun akan menurun, atau bahkan mereka tidak dapat menyelesaikan sekolahnya.
Selain itu, kesehatan anak juga akan terganggu. Seandainya hal tersebut terjadi, maka masa depan mereka tidak cerah, negara akan mendapat SDM yang tidak produktif karena mereka kurang sehat dan kurang cerdas. Hal ini akan menjadi beban keluarga dan negara.
Fenomena Anak Merokok
Pada tahun 2022, BPS mencatat sekitar 3,44 persen anak berumur 5-18 tahun yang merokok. Dibanding tahun sebelumnya memang angka tersebut menurun. Namun tingkat penurunannya masih relatif kecil. Secara statistik angka 3,44 persen memang relatif rendah. Namun, sebenarnya bukan hanya sekedar angka.
Mereka yang merokok tersebut adalah anak-anak kita generasi penerus bangsa. Di tangan merekalah masa depan suatu negara. Walaupun angkanya relatif kecil, tetap saja mengganggu proses pembangunan dan harus mendapat perhatian semua pihak.
Perilaku anak merokok, bisa saja karena kurang perhatian dari orang tua mereka. Atau bisa jadi orang tuanya juga sebagai perokok. Anak akan cenderung lebih berani mencoba dan mulai merokok jika ia melihat orang tuanya merokok. Mereka menganggap merokok tidak mengganggu kesehatan, atau tidak melanggar norma-norma seperti yang dilakukan ayahnya.
Masih berdasarkan data BPS 2022, apabila dilihat dari status ekonomi rumah tangga, persentase anak merokok yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah hampir sama dengan yang berasal dari keluarga menengah. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga kaya persentasenya lebih rendah.
Sungguh miris, anak yang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan, tapi sudah menunjukkan perilaku kurang baik seperti merokok. Berapa batangkah konsumsi rokok mereka?
Rata-rata orang dewasa menghabiskan 12 sampai 13 batang rokok per hari. Sedangkan anak usia 5-18 tahun rata-rata per hari dapat menghabiskan 8 sampai 9 batang rokok. Jumlah tersebut bukan sedikit, jika diasumsikan harga rokok yang relatif murah Rp1.000,00 per batang, maka jajan anak Rp8.000,00 per hari hanya untuk rokok.
Mungkin bagi orang kaya uang sejumlah tersebut tidak terlalu masalah. Mereka masih dapat memenuhi kebutuhan pokok dan tambahan lain dengan pendapatannya. Namun, bagi golongan berpendapatan rendah, uang tersebut cukup berarti untuk menghidupi keluarganya.
Fenomena yang diuraikan di atas terkait anak merokok, perlu mendapat perhatian berbagai pihak. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa merokok dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan berakibat kurang baik bagi pertumbuhan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama yang baik dari keluarga, lingkungan, dan pemerintah untuk mengurangi jumlah anak yang merokok.
Pemerintah sudah berupaya untuk menurunkan prevalensi merokok pada anak. Berbagai upaya yang telah dilakukan antara lain menaikkan bea cukai rokok, membatasi tempat untuk merokok, pembatasan iklan, dan sebagainya. Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu menekan secara signifikan prevalensi anak merokok.
Peran orang tua sangat penting dalam rangka mencetak generasi muda yang sehat, cerdas, dan unggul. Selain itu, peran tokoh masyarakat juga sangat diperlukan. Oleh karena itu jangan biarkan anak mulai merokok, jangan sampai masa muda mereka teracuni oleh kebiasaan merokok.