Jumat, April 26, 2024

Jalan Transformasi Energi

Muhammad Nauval
Muhammad Nauval
Namaku Muhammad Nauval, mahasiswa Prodi Teknik Industri Universitas Syiah Kuala. Lahir di Beureunuen, 15 Oktober 2002. Selain berkuliah, banyak mengisi waktu dengan menulis, biasanya topik seputar kripto, marketing, industrialisasi, dan green economy.

Transisi ke arah energi bersih merupakan salah satu agenda penting dalam KTT G20 pada November mendatang. Isu ini menjadi salah satu bahasan serius karena mengingat krisis iklim yang ditimbulkan oleh penggunaan energi konvensional yang tidak ramah lingkungan kian parah.

Energi konvensional memang telah menjadi bagian tak terpisahkan darikebutuhan manusia di zaman sekarang. Energi yang berasal dari batu bara, gas, dan minyak ini telah menemani umat manusia selama lebih dari tiga abad semenjak revolusi industripertama. Namun, terlepas dari sisi negatif konvensional yang sering dikatakan tidak ramah lingkungan, energi konservatif ini juga pernah merupakan “produk ramah lingkungan” untuk masanya sendiri.

Saat ini, kita cenderung hanya mengetahui bahwa energi konvensional telah berdampak buruk dengan menaikkan produksi karbon global. Energi konvensional yang berasal dari batu bara, minyak, dan gas sendiri mulai masif digunakan semenjak revolusi industri terjadi di abad 18. Berkat penemuan mesin uap oleh James Watt, penggunaan energi konvensional pun mulai berlaku. Namun, banyak dari kita tidak mengetahui bahwa energi konvensional ini nyatanya bukanlah sumber energi yang pertama kali digunakan oleh umat manusia.

Hal inilah yang disampaikan oleh Michael Shellenberger, co-founder dari Environmental Progress. Menurutnya, selama ini umat manusia selalu berusaha untuk beralih dari bahan bakar padat materi ke bahan bakar padat energi.

Artinya, umat manusia selalu mencoba untuk menaikkan produktivitas energi per satuan materi tanpa harus memakai jumlah materi lebih banyak. Sebelum revolusi industri, masyarakat sangat bergantung pada pada kayu hutan sebagai bahan bakar utama, di mana nilai kalori kayu adalah 18.000 kJ/kg.

Setelah revolusi industri, umat manusia mulai bergantung pada batu bara dengan 25-35 MJ/kg, minyak dengan 42,3 MJ/kg, dan gas dengan 1000-1200 BTU/SCF. Dari sini kita tahu, poduktivitas energi konvensional lebih tinggi berkali lipat dibandingkan jumlah energi yang dikandung kayu.

Transisi energi semasa revolusi industri, setidaknya telah menyelamatkan banyak hutan dari penebangan kayu. Selain itu, dilansir Ecowacth, energi dari kayu lebih kotor dari pada batu bara sehingga ada reduksi karbon terjadi ketika umat manusia bertransisi ke batu bara, minyak, dan gas.

Analoginya, jika memang dengan energi konvensional sekarang sudah cukup buruk untuk menimbulkan perubahan iklim maka tentunya akan lebih buruk lagi apabila umat manusia masih bergantung pada energi kayu dan biomassa. Terlebih, jumlah manusia yang secara signifikan meningkat dalam beberapa abad terakhir tentunya akan menuntut semakin banyak kebutuhan energi global.

Solusi bukan apologi

Tulisan ini tidak ditujukan menganulir dampak buruk dari energi konvensional. Terlebih, fakta di lapangan yang menunjukkan adanya krisis iklim akibat masifnya penggunaan energi ini tidak dapat dipungkiri. Mengacu kembali pada pernyataan Michael Shallenberger, dunia kini memang sedang beralih ke arah energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Survei Ipsos Public Affairs telah menunjukkan bahwa masyarakat global kini sudah semakin sadar akan pentingnya transisi menuju energi terbarukan. Energi terbarukan, angin, air, dan, matahari, menjadi sumber energi dengan tingkat favorit dan familiar yang sama-sama tinggi.

Transisi energi bersih sendiri masih menjadi sebuah pekerjaan besar bagi seluruh umat manusia. Dilasir dari OurWorldInData, sekitar 85% sumber energi untuk keperluan manusia saa ini masih besumber dari batu bara, minyak, dan gas. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri karena sumber energi bersih masih kesulitan untuk didistribusikan.

Tidak seperti energi konvensional, media distribusi energi terbarukan masih sangat bergantung pada listrik dan mengandalkan bateria dengan massa yang besar. Namun, kita pastinya tetap optimis tentang harapan energi bersih yang bersahabat dengan lingkungan. Alhasil, kehidupan di masa depan tidak terus dibayang-bayangi oleh ancaman krisis iklim yang menakutkan.

Muhammad Nauval
Muhammad Nauval
Namaku Muhammad Nauval, mahasiswa Prodi Teknik Industri Universitas Syiah Kuala. Lahir di Beureunuen, 15 Oktober 2002. Selain berkuliah, banyak mengisi waktu dengan menulis, biasanya topik seputar kripto, marketing, industrialisasi, dan green economy.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.