Isu pernikahan dini kembali mencuat setelah munculnya kabar pernikahan remaja usia 15 tahun dan 14 tahun di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Hal ini menyalahi peraturan yang telah dibuat melalui UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan perkawinan hanya diizinikan jika pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan mencapai usia 16 tahun, dan memenuhi syarat-syarat perkawinan yang salah satunya adalah untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin orang tua.
Kenyataanya pernikahan dini di Indonesia terbilang tinggi. Indonesia menjadi salah satu Negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki prevalensi pernikahan dini tertinggi. UNICEF menyatakan bahwa lebih dari seperenam anak perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa (usia 18 tahun) atau sekitar 340.000 anak perempuan menikah setiap tahunnya. Mengacu pada data Susesnas 2015, perempuan yang menikah pada usia 16-18 tahun memiliki presentase paling tinggi yaitu sebesar 22,82%.
Dampak Pernikahan Dini
Perlu kita sadari, pernikahan dini akan memberikan dampak yang besar. Salah satu dampak yang perlu menjadi perhatian serius adalah dampak pada kesehatan, baik itu kesehatan pada perempuanya maupun pada bayi yang nantinya dilahirkan.
Terdapat beberapa ancaman kesehatan nantinya yang akan didapatkan oleh perempuan, derajat kesehatan perempuan akan dipertaruhkan. Pertama, risiko komplikasi pada proses kehamilan. Penelitian Adedokun, (2016) menyatakan bahwa kehamilan pada 14 – 18 tahun akan berampak pada pada kesehatan ibu, diantaranya perdarahan persalinan, persalinan lama, keguguran. Hal ini dapat terjadi karena organ reproduksi perempuan yang belum siap untuk menjalani proses kehamilan.
Kedua, memiliki risiko lebih besar untuk terjangkit kanker leher rahim. Penelitian Louie KS (2009) menyatakan bahwa perempuan yang melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 17-20 tahun akan memiliki risiko lebih besar dibandingkan usia setelahnya. Hal ini dapat terjadi karena leher rahim belum cukup matang untuk melakukan hubungan seks dan menimbulkan infeksi serta memicu kanker.
Anak pada orang tua dengan pernikahan dini akan memiliki kualitas yang cenderung rendah, hal ini berkaitan dengan beberapa output yang dihasilkan selama proses kehamilan dan pola asuh dari orang tua tersebut. Pertama, bayi memiliki risiko yang lebih besar untuk dilahirkan dengan berat lahir rendah. Akan terjadi persaingan nutrisi antara janin dan ibu pada kehamilan di usia yang dini, pada usia ini seharusnya nutrisi yang didapatkan ibu digunakanya untuk pertumbuhan.
Kedua, proses pertumbuhan dan perkembangan anak yang terganggu, penelitian Raj Anita, (2010) menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan sebelum 18 tahun akan berdampak pada gangguan nutrisi seperti stunting dan underweight, hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang cenderung rendah mengenai asupan makanan dan perekonomian yang belum stabil sehingga mengalami kesusahan untuk mendapatkan sumber makanan. Kondisi ini nantinya akan berkontribusi dalam pertumbuhan kognitif anak yang nantinya dapat menurunkan kecerdasan anak.
Sex Education sebagai Alternatif Solusi
Pengetahuan yang rendah merupakan akar permasalahan dari pernikahan dini. Penelitian Wijayanti, (2017) menyatakan bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan pernikahan usia dini. Kebanyakan mereka tidak mengetahui mengenai batasan usia perkawinan dan dampak yang nantinya akan didapatkan dari pernikahan dini. Informasi seperti ini dianggap tabu bagi lingkungan mereka sehingga mereka kesulitan dalam mendapatkan informasi tersebut.
Faktanya penduduk Indonesia memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang cukup rendah. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa hanya 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun yang mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual. Data Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa penduduk usia 10-24 tahun yang mempunyai pengetahuan mengenai HIV/AIDS sebanyak 16,8%.
Budaya pernikahan dini sebenarnya bisa dipatahkan dengan informasi yang jelas mengenai dampak yang akan dihadapi. Kita perlu meruntuhkan anggapan bahwa hubungan seks merupakan suatu hal yang tabu untuk diperkenalkan kepada anak. Informasi ini dapat kita berikan ke beberapa lingkungan terdekat anak.
Pertama, lembaga pendidikan adalah merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak. Informasi mengenai kesehatan reproduksi seharusnya dapat diberikan melalui lembaga pendidikan. Kurikulum yang diberikan seharunya perlu lebih diperdalam dan tidak hanya berfokus pada fungsi organ saja. Pendidikan seks seharusnya tidak melanggengkan hal yang tabu mengenai hubungan seksual, hubungan seksual dan dampak yang mereka dapatkan harus lebih diperjelas tanpa menghilangkan artian yang sebenarnya.
Kedua, orang tua memainkan peran yang penting dalam memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi. Utomo I.D, (2012) menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi di Indonesia sekarang adalah budaya malu dilanggengkan oleh orang tua dan tidak tertarik untuk berdisusi dengan anak-anak tentang kesehatan seksual dan reproduksi.
Ketiga, sumber informasi melalui berbagai media harus bisa ditekan untuk mengkampanyekan pernikahan usia dini. Media juga perlu memberikan edukasi yang mencerdaskan mengenai kesehatan repoduksi yang nantinya dapat tepat sasaran kepada orang tua maupun anak.
Pelayanan kesehatan juga bisa menjadi media informasi bagi anak dan orang tua. Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih dengan mengaktifkan kembali Puskesmas remaja yang nantinya akan memberikan informasi sekaligus konseling pada anak dan orang tua.