Arah kebijakan publik Ibukota sekarang berbeda, setelah terjadi perubahan di era Jokowi yang diteruskan sesaat oleh Ahok, lagi-lagi arah besar Jakarta kembali berubah. Perubahan sejatinya memang perlu dan sebuah keharusan, namun perubahan bukanlah penghancuran total (total desctruction), elemen-elemen tertentu masih dipertahankan bahkan di era disrupsi tujuan yang diambil tetap sama bukan berubah total, atau mungkin Jakarta kali ini tengah berubah tanpa tujuan.
Tulisan ini bukanlah untuk menjustifikasi kegagalan atau keberhasilan kebijakan publik di awal rezim Anies-Sandi akan tetapi hanyalah sebuah pembelajaran publik tentang kebijakan publik sebagai suatu bidang ilmu. Penambahan akumulasi pengetahuan publik tentu bermanfaat bagi semua pihak, berpikir lebih kritis lagi dam menekan dengan lebih keras.
Singkatnya tulisan ini, menyediakan alternatif bagi kritik-kritik yang telah bertebaran lainnya. Tulisan ini tentu hanya sebuah bahan pertimbangan bukan sesuatu yang harus benar-benar dipatuhi karena jelas teori kebijakan publik lain juga berkata bahwa implementasi akan selalu berbeda dan bervariasi daripada perencanaan kebijakan publik. Sulit memang mengelola publik hari-hari ini. Setidaknya Jakarta tak salah kelola, salah pikir dan salah atur dalam kebijakan publiknya.
Aksi Kolektif: Substantif dan Prosedur
Kebijakan publik adalah aksi kolektif, tidak ada seharusnya klaim kebenaran kebijakan publik tanpa kesepakatan bersama meskipun klaim sepihak secara vertikal dan haorizontal tetap terjadi akan tetapi dalam suasana demokratis maka kolektivisme dalam kebijakan publik merupakan syarat utama yang membedakan antara kebijakan publik di negara demokratis dengan di negara otoriter.
Setiap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik setidaknya harus mengenal dua aspek penting dalam setiap tahapannya yaitu soal dimensi subtantif dan prosedur. Pada dasarnya teori ini diambil dari pandangan Herbert Simon (1976) dalam rasionalitas terbatas miliknya. Tidak ada yang sempurna dalam setiap pengambilan keputusan, oleh karena itu aspek subtantif yang berkaitan dengan metode pengambilan keputusan dan soal prosedur tentang siapa yang terlibat dan bagaimana caranya.
Salah satu kelemahan nyata duet pimpinan Jakarta kali ini adalah tidak siap dan tidak detil, terlihat dalam program-program mereka ketika kampanya terdahulu. Tentu publik bisa melihat calon mana yang sangat menguasai medan kebijakan di Jakarta daripada calon lainnya, terlalu banyak gambaran besar yang kurang jelas dirumuskan bahkan hingga sekarang.
Duet ini seharusnya mulai berkoar jargon partisipatif dan kemanusiaan, tentu logis untuk tidak berharap semua area kebijakan publik menggunakan asas tersebut perlu upaya terbuka dari jajaran pemerintah DKI untuk berkonsensus bagian mana yang partisipatif dan memanusiakan, bagian mana yang harus efektif dan efisien, karena ini adalah normal ketika pemerintah selalu menghadapi dilema, akan tetapi pemerintah daerah harus jujur dan terbuka pada apa yang dapat diatasi dan yang tidak dapat diatasi, bukan hanya menyalahkan, melempar pada aktor lain seperti pada kasus inisiatif Becak.
Eksklusi dan Inklusi
Kembali pada pernyataan bahwa tidak ada kebijakan publik yang sempurna, selalu saja terdapat kelemahan karena pada dasarnya buatan manusia (artifisial) yang berbeda dengan hal trasedental sehingga kebijakan pubik memerlukan pemikiran dan perbaikan terus menerus. Ketidaksempurnaan tersebut membawa konsekuensi penting bahwa sebuah kebijakan publik tidak dapat memuaskan semua pihak.
Ketika semua pihak puas justru pada dasarnya kebijakan publik tidak membawa efek apapun yang akan dicapai bersama sebab tidak ada pengorbanan atau resiko jelas akan membawa hasil nol atau yang paling minimal.
Oleh karena itu sebagai penanggungjawab utama berbagai kebijakan publik pemerintah harus dapat menempatkan diri dalam posisi yang berbeda di antara pihak yang merasa dirugikan (terekslusi) dan yang diuntungkan (terinklusi) oleh sebuah kebijakan publik. Logikanya pemerintah tak perlu lagi mengurus pihak yang terinklusi namun pihak yang tereksklusi dari kebijakan publik harus benar-benar diberikan perhatian, karena biasanya mereka melawan seperti pada kasus pengelolaan Tanah Abang.
Governance dan Networking
Kebijakan publik pada dewasa ini memang benar dapat mengatur seluruh entitas yang telah ditetapkan oleh kebijakan publik tersebut. Sebuah negara memiliki kekuasaan memaksa yang luar biasa agar publik tunduk dan patuh, bahkan sebuah kumpulan berbagai negara juga dapat mengadakan perjanjian tertentu untuk menerapkan kebijakan publik tertentu seperti yang kita lihat pada Uni Eropa.
Bahkan negara dapat melakukan perjanjian dengan entitas yang berbeda tujuannya seperti organisasi non pemerintah dan sektor bisnis. Dengan governance dan networking pemerintah dapat melimpahkan pada pihak lain kadar tertentu dari urusan publik. Fukuyama (2004) telah memberikan analisis menarik bahwa negara-negara yang memiliki luas wilayah yang besar cenderung meliberalisasi urusan publiknya misalkan Amerika Serikat sedangkan negara-negara kecil cenderung mengurus sendiri urusan publiknya misalkan Swiss.
Kedua mode tersebut memerplihatkan pola yang telah dilakukan negara-negara lain. Luar biasanya memang ketika terjadi kesalahan maka negara yang akan dihantam dan dipersalahkan, padahal tidak semua harus dikerjakan pemerintah. Oleh karena itu seharusnya yang menjadi permasalahan adalah penentuan bagian mana yang harus diurus pemerintah DKI Jakarta dan bagian mana yang dapat dikerjakan pihak lain, harus jelas dan bukan tumpang tindih.
Mode Intervensi: Makro ke Mikro
Akhir-akhir ini semenjak kemenangan aspek perilaku dalam ekonomi ketika Richard Thaler memenangkan nobel 2017 juga menular ke berbagai bidang studi seperti kebijakan publik. Ketika produk-produk kebijakan publik harus berupa regulasi yang memaksa ternyata dianggap tidak efektif maka hadir pendekatan perilaku untuk mencapai tujuan bersama tanpa harus mengggunakan pemaksaan baik insentif maupun disisentif.
Konsep nudge dapat digunakan ketika bagaimana sebuah fitur kecil yang detil mampu merubah perilaku manusia menuju ke tujuan yang lebih besar. Dapat kita lihat apakah pemerintah hanya berfokus melakukan pemaksaan melalui kebijakan publik atau melakukan mode lain dengan berusaha mempengaruhi perilaku warga tanpa warga sadari telah menapak tujuan yang lebih besar.
Jakarta seharusnya mulai mengakomodasi mode makro dan mikro dalam mengelola kota dengan berbagai variabelnya tentu pakar sangat tersedia di Jakarta daripada di daerah lainnya.