Kalimat perubahan iklim atau climate change menjadi kondisi yang menyita perhatian dunia internasional. Salah satu agenda internasional yang selalu dilaksanakan setiap tahun yaitu Conference of the Parties (COP). Agenda ini diketahui bersama berkonsentrasi membahas ancaman krisis iklim secara global.
Kesepakatan pencegahan perubahan iklim yang di bahas dalam COP juga tertuang dalam Perjanjian Paris dan ditandai dengan pembentukan komitmen bersama Nationally Determined Contribution (NDC) periode 2020-2030. Indonesia juga menjadi bagian dari komitmen internasional bersama tersebut.
Dengan penuh semangat, pemerintah kita tancap gas dengan meratifikasi perjanjian tersebut dengan bentuk instrument hukum dalam wujud Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change.
Berjalannya komitmen bersama di tingkat internasionl itu baik dalam bentuk perjanjian paris dan Konferensi COP, sampai saat ini masih mendapatkan dukungan postif serta kritik atas implementasi di dalam negeri.
Kritik hasil dari agenda tahunan konferensi internasional bernama COP itu masih banyak. Berbagai kalangan akademisi, masyarakat sipil dan organisasi kemasyarakatan yang berfokus pada lingkungan serta krisis iklim menilai masih kurang mencapai target yang disepakati bersama. Dikarenakan, sejak tahun 1995 agenda tersebut mulai digelar, belum terwujudnya transformasi besar-besaran dan sistemik untuk mencapai tujuan yang ditetapkan Perjanjian Paris masih jauh dari target yang ditetap.
Padahal, Perubahan iklim memiliki dampak langsung dan tidak langsung dalam kehidupan masyarakat. Dirasakan bersama, tidak hanya dampak langsung yang dirasakan, seperti banjir dan kekeringan. Terdapat juga dampak tidak langsung, seperti gagal panen, krisis pangan, naiknya ombak laut bagi nelayan dan kemiskinan.
Perubahan iklim menjadi perhatian utama saat ini karena berdampak pada stabilitas perekonomian serta mata pencaharian bagi masyarakat. Akibatnya terganggunya produksi seperti gagal panen pada komoditas pertanian dan kenaikan harga pangan berdampak pada peningkatan inflasi, penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), dan peningkatan garis kemiskinan. Terutama di masyarakat yang berkategori rentan di pedesaan.
Apabila melihat perhatian dunia internasional dan Indonesia bagian dari kesepakatan untuk penangan perubahan iklim. Upaya memitigasi serta beradaptasi atas ancaman dampak perubahan iklim seharusnya dapat dipahami oleh semua kalangan, termasuk masyarakat desa.
Tetapi kenyataannya isu ancaman terhadap perubahan iklim masih belum menyentuh secara menyeluruh kepada masyarakat yang ada di desa. jikalau ancaman perubahan iklim masih hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas atau masyarakat yang ada di perkotaan, menjadi berbahaya bagi kehidupan dan keberlangsungan bangsa dan negara.
Membumikan Isu Perubahan Iklim di Desa
Mengutip cerita masa lalu kejadian diwilayah kekaisaran Ottoman dapat kita ambil pelajaran yang berharga. Di akhir abad ke-16, para perampok dengan jumlah besar menyerang Anatolia yang berada di bawah Kekaisaran Ottoman. Tujuan mereka adalah menjarah berbagai hasil pertanian desa, membunuh masyarakat, dan menggoyahkan kekuasaan Ottoman.
Wilayah pedesaan yang diserang para perompak itu dulunya merupakan Ibu Kota Kekaisaran Ottoman, dan kurang lebih memiliki perbatasan yang sama dengan Turki pada masa kini. mayoritas lahan di desa tersebut digunakan untuk budidaya gandum dan biji-bijian, serta berbagai kegiatan peternakan masyarakat. Desa ini dkatergorikan berhasil dalam mengelola pertanian dan peternakan sehingga menjadi sumber produksi makanan yang penting bagi penduduk pedesaan serta penduduk ibukota Kekaisaran Ottoman yang ramai, yakni Istanbul (Konstantinopel).
Dikarenakan cuaca yang buruk pada saat itu, mengakibatkan berbagai wilayah tidak dapat memproduksi hasil pertanian dan peternakan mereka. Termasuk wilayah para perompak yang terdampak paceklik karena cuaca buruk.
Panen buruk yang terjadi terus menerus, perang yang melelahkan, serta masalah lain yang berkepanjangan secara tidak langsung memperlihatkan berbagai kekurangan dari sistem pengelolaan sumber daya Kekaisaran Ottoman. Di saat cuaca buruk menghambat upaya negara untuk mendistribusikan persediaan makanan, kelaparan melanda, dari seluruh desa hingga ke Istanbul. Semua itu pun kemudian disertai epidemi yang mematikan.
Hingga tahun 1596, serangkaian pemberontakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Celali meletus, dan menjadi konflik kekuasaan internal terpanjang yang dialami Kekasairan Ottoman selama enam abad berdiri. Dan salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya makanan dari pertanian masyarakat.
Belajar dari kisah kejayaan Ottoman dan cuaca buruk atau dalam bahasa saat ini yaitu Krisis iklim yang ada di desa-desa jangan sampai kekacauan tanpa pengendalian dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada pemerintah paling bawah yaitu desa. Perlu terus ditingkatkan. Dikarenakan saat ini terdapat ribuan desa yang rentan terdampak perubahan iklim. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 6.885 desa atau 8,20 persen desa di Indonesia yang memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Sementara 293 desa (0,35 persen) masuk kategori kerentanan tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) 2018. Data tersebut juga menunjukkan, sebanyak 75.687 desa (90,18 persen) berada pada tingkat kerentanan yang sedang. Adapun 882 desa (1,05 persen) masuk kategori kerentanan rendah dan 184 desa lainnya (0,22 persen) dikategorikan sangat rendah.
Dapat dikatakan sekitar 90 persen desa memang berada di kondisi sedang, tetapi tidak berarti dalam kategori aman. Desa dengan kategori sedang, jika tidak perhatikan dengan serius untuk melakukan upaya adaptasi, dampaknya akan tetap akan berbahaya. Kategori sedang ini bahkan bisa pindah ke kerentanan tinggi atau bahkan sangat tinggi.
Bekum lagi bagi masyarakat desa, isu lingkungan bukanlah prioritas jika dibandingkan dengan masalah pendidikan dan kesehatan. Komunitas lokal juga belum paham tentang cara menggunakan Dana Desa, sehingga infrastruktur menjadi pilihan utama.
Jangan sampai masyarakat desa menghadapi tantangan yang lebih berat dalam merespons dampak perubahan iklim sehingga lebih rapuh dalam menghadapi bencana iklim apabila dibandingkan masyarakat perkotaan.
Harus ada upaya khusus bagi semua kalangan agar isu perubahan iklim dapat tersampaikan kepada masyarakat desa sebagai tindakan untuk mitigasi dan adaptasi dalam pengelolaan mata pencaharian yang diketahui mayoritas berhubungan dengan alam seperti pertanian, perkebunan dan perikanan.