Beberapa waktu lalu, dalam acara diskusi kelas di kampus, ada pertanyaan menarik dari seorang kawan. “Mengapa orang berkulit hitam tidak akan pernah mau bermain catur?” Dengan sedikit mengernyitkan dahi, saya pun berpikir panjang tentang pertanyaan tersebut. Sebab saya dan beberapa kawan sekelas juga tidak mengetahui tentang hal ikhwal demikian. Bahkan ini adalah kali pertama kami mendengar tentang pertanyaan tersebut.
Seolah menang dengan apa yang ia tanyakan, dia pun menjawab pertanyaannya tadi. “Karena permainan catur, selalu diawali dengan pion berwana putih. Tidak akan pernah, permainan itu diawali pion hitam berjalan lebih dahulu. Dan, orang-orang berkulit hitam akan mau bermain catur, apabila pion warna hitam memulai permainan lebih dulu.” Ungkapnya.
Kami berpikir sejenak, tentang apa yang diungkapkan oleh seorang kawan tadi. Sebab tanpa disadari, peraturan demikian ternyata juga berkaitan erat dengan harga diri sebuah bangsa, bahkan warna kulit sekalipun.
Tak pernah terfikirkan dibenak saya, apabila hal demikian akan beranjak menjadi kanyataan pahit bagi sebagian golongan, bahkan seolah menjadi ironisme kepada golongan tertentu. Namun terlepas dari perbincangan demikian, pada dekade ini rasisme juga masih menjadi pemasalahan serius di mata dunia.
Pasalnya, ironi rasisme yang seharusnya sudah menghilang semenjak aturan kemerdekaan—piagam PBB—digulirkan, kenyataannya masih menjadi insiden yang cukup mengkhawatirkan. Bahkan pada beberapa pekan lalu, Parlemen Israel mensahkan Undang-undang (UU) Negara Israel yang mengandung kontrofersial di hadapan publik.
Sejumlah analisis, akademis, dan pemerintah di berberapa negara mengecam undang-undang demikian. Sefaham dengan itu, Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI, Rofi Munawar menilai bahwa langkah parlemen (Knesset) Israel dalam meloloskan UU tersebut adalah bukti bahwa Israel telah berbuat rasis dan diskrimatif.
Ia juga menambahkan bahwa UU demikian juga akan mengantarkan Israel untuk mewujudkan cita-cita pendirinya, Theodor Herzl, yang berkeinginan untuk mendirikan negara berdasarkan ras Yahudi (Hidayatullah.com).
Terlepas dari kenyataan pahit demikian, munculnya UU kebangsaan Yahudi secara terbuka telah memberikan dampak yang berlanjut kepada kelindan kehidupan di dunia. Sebab UU itu secara seksama akan merenggut hak-hak minoritas Arab atau Palestina untuk hidup dan tinggal di sana.
Tompson (2009) dalam Keadilan dan Perdamian mengatakan bahwa rasisme ialah suatu keyakinan akan superioritas rasial. Artinya, faham demikian secara sadar menyatakan bahwa ada hubungan langsung antara nilai-nilai, perilaku, sikap-sikap kelompok, dan ciri-ciri fisiknya adalah persoalan yang serius sehingga tidak dapat disatukan dan tak bisa hidup secara berdampingan.
Jones (1981) secara terbuka sangat menentang paham-paham seperti ini. Bahkan ia sendiri mencetuskan faham etnosentrisme untuk mengubur ironitas rasisme. Etnosentrisme ialah faham yang menerima segala bentuk tindakan, perbedaan, perilaku dan nilai individu, asalkan tidak bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan yang dimiliki oleh masyarakat.
Terlepas dari kenyataan pahit demikian, Dr. Mohammad Nasih (2014) menyatakan bahwa kelindan tujuan penjajahan Israel yang digelar sejak beberapa tahun lalu terhadap Palestina adalah awal dari langkah untuk memperoleh “tanah” yang dijanjikan.
Tanah yang dijanjikan itulah yang sejujurnya menyedot minat bangsa Israel untuk menguasai tanah-tanah tersebut. Kelindan tanah itu dianggap memiliki kehariban tertinggi untuk memperoleh kejayaan di masa mendatang. Pun, hal demikian juga tidak bisa lepas dari sejarah historis bangsa yahudi terdahulu.
Kerangka Historis
Dalam kacamata historis, tanah Yerussalem memiliki kerangka yang diminati oleh beragam kalangan. Bahkan tiga agama samawi, Kristen, Yahudi, dan Islam silih berganti memperebutkan kekuasaan di tanah tersebut. Seolah kota suci Yerussalem telah bergema di hati ketiga agama samawi itu, sehingga perlu, bahkan harus diperebutkan. Secara konsep kesejarahan, dalam al-Qur’an kisah-kisah bangsa Yahudi terangkum jelas dan terabadikan dalam kitab demikian.
Dalam pangsa yang lebih jauh, kisah Bani Israel dimulai dari keturunan Nabi Yaqub. Yaqub yang pada saat itu senantiasa bertaqwa kepada Allah kemudian mendapatkan julukan sebagai Isra’ El. Secara etimologis, arti Isra’ dalam bahasa Ibrani berarti “hamba” dan El yang berarti Tuhan. Selaras dengan itu, sesungguhnya julukan Isra’El yang kini digunakan nama sebuah bangsa sejatinya memiliki arti sama dengan abdullah (Baca: Kisah Yaqub).
Singkat cerita, Yusuf—salah satu dari 12 bersaudara keturunan Yaqub—berimpi bertemu sebelas bintang, matahari dan rembulan yang bersujud kepadanya (Qs. Yusuf: 4). Hingga jauh setelah itu, Ia dibuang oleh saudara-saudaranya ke dalam sumur dan ditemukan oleh beberapa saudagar, kemudian dibawa ke Mesir untuk dijual. Di Mesir itulah, Yusuf menemukan jalan kehidupannya.
Dengan kecerdasaanya dalam menafsirkan mimpi, pada akhirnya Ia diangkat menjadi menteri urusan bahan pangan. Pada tahap yang sama, Kan’an juga mengalami masa paceklik hingga mengharuskan keluarga Yusuf meninggalkan Kan’an dan bertemu Yusuf di Mesir. Disanalah kehidupan Bani Israel berkembang dan mendapatkan kejayaannya pada masa Nabi Sulaiman. Hanya saja, akibat kesombongannya, bani Israel ditimpakan kehinaan. Bahkan pada masa Firaun kebanyakan dari mereka dijadikan budak oleh bangsa lainnya.
Berangkat dari kenyataan itulah, Musa kemudian menyelamatkan Bani Israel. Dari sanalah, ditempuhlah jalan sulit sehingga Allah menyelamatkan mereka dengan membelah lautan untuk menyebranginya (al-Baqarah: 50). Setelah itu, Allah juga menjanjikan sebuah negeri (Baitul Maqdis) yang disana mereka bisa melangsungkan kehidupannya (Qs. al-Baqarah :58).
Akan tetapi, karena takut dengan penghuni yang ada di dalamnya, mereka justru menyuruh Musa dan Tuhannya memerangi kaum di dalamnya (Qs. al-Maidah: 24). Karena realitas itulah, kemudian Allah murka dan mengharamkan tanah itu selama 40 tahun kepada bani Israel. Alhasil, kemudian keturunan bani Israel terespora dan menerima kehinaan sehingga hancurlah ke-12 suku tersebut (Qs. Ali Imron: 112).
Terlepas dari kisah historis demikian, tentu langkah yang dilakukan bangsa Yahudi dalam mengeluarkan UU tersebut adalah kesalahkaprahan yang memilukan. Karena itulah, perlu diwujudkan gerakan solidaritas antar bangsa, agar UU demikian bisa ditarik kembali, hingga tidak merugikan bangsa-bangsa yang lain.
Sudah saatnya kecaman-kecaman kita hentikan. Mulai sekarang, beragam gerakan yang mesti kita wujudkan. Jeritan ketidakadilan sudah berada pada ujungnya. Bangsa Palestina dan sekitarnya pun sangat membutuhkan tangan-tangan kita. Sebab itulah, mari kita bergerak. Mengejawantahkan hakikat perdamaian yang selalu kita jaga dan mendesak PBB untuk mengembalikan hierarki kemerdekaan yang direnggut secara nyata. Wallahu a’lam bi al-shawaab.