Di tengah hiruk-pikuk kota besar, lampu merah selalu menjadi ruang singgah. Bagi pengendara, ini jeda sejenak dari kemacetan. Bagi penjaja koran, ini ruang mengadu nasib. Di setiap perempatan, mereka berdiri, menenteng segepok koran yang harus habis hari itu juga. Tidak ada opsi “besok”, karena berita basi sama dengan kertas tak bernilai.
Saya masih ingat, setiap pagi, saat berhenti di lampu merah dekat pusat kota, seorang bapak sepuh menghampiri. Topi lusuhnya menutupi sebagian rambut yang memutih. “Koran, Nak, lima ribu aja,” ujarnya. Saya merogoh saku, menyerahkan selembar uang. Koran pagi itu, Jawa Pos 18 halaman, dengan harga eceran Rp8.000 di pojok atas. Nafas saya tercekat. Kalau dijual Rp5.000, berapa sebenarnya keuntungan yang bisa ia bawa pulang? Seribu rupiah? Dua ribu? Itu pun kalau korannya laku semua.
Mereka yang Terlupakan
Pada era digital ini, di mana berita bisa diakses gratis dari ponsel genggam, penjual koran tetap berjuang melawan arus. Bagi mereka, setiap lembar yang terjual bukan sekadar transaksi, tapi tiket makan hari itu. Banyak di antara mereka yang berusia senja, tubuh renta yang mestinya beristirahat, tapi justru dipaksa bertahan di panas dan debu jalanan. Mereka tidak lagi memiliki tenaga untuk bekerja fisik berat, dan sayangnya, negara tidak memberi ruang aman bagi mereka.
Fenomena ini bukan sekadar potret kecil. Ia adalah cermin besar tentang bagaimana negara ini memperlakukan pekerja informal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekitar 60 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Namun, jaminan sosial dan perlindungan ekonomi? Nol besar, atau paling banter setengah hati.
Di satu sisi, pemerintah dengan enteng menghamburkan anggaran untuk tunjangan pejabat, fasilitas mewah, dan proyek mercusuar. Sementara, di sisi lain, bapak-bapak di lampu merah itu harus menunggu iba pengendara agar bisa membawa pulang uang recehan. Ironisnya, para pembuat kebijakan itu mungkin tidak pernah merasakan getirnya mengais rejeki di perempatan jalan sambil dikejar detik-detik lampu hijau.
Ironi Negara yang Sibuk Menggembungkan Diri
Saya jengah melihat realitas ini. Berita digital mungkin menawarkan kemudahan, tetapi kemudahan itu datang dengan harga yang mahal, hilangnya ruang hidup bagi mereka yang menggantungkan hidup pada lembaran kertas cetak. Setiap kali saya melintas di lampu merah, ada rasa bersalah. Saya tahu, lima ribu rupiah yang saya berikan tidak akan mengubah banyak. Tapi itu setidaknya secuil pengakuan bahwa mereka masih ada, meski sering tak terlihat.
Masalah ini tidak hanya tentang “kemajuan teknologi” yang menggerus pekerjaan tradisional. Ini tentang absennya kepekaan negara. Mengapa para penjual koran, dan pekerja informal lain seperti tukang sapu jalanan, pemulung, atau penarik becak, tidak mendapat jaminan penghidupan layak? Padahal, kontribusi mereka menjaga ritme kota tidak kalah besar.
Kita hidup di negara yang katanya demokratis, tapi faktanya abai terhadap warganya yang paling rentan. Pemerintah lebih sibuk mengatur regulasi untuk kepentingan korporasi besar, sementara pekerja kecil dibiarkan menunggu nasib. Tak ada pelatihan keterampilan baru, tak ada program adaptasi untuk menggeser mereka ke sektor yang lebih aman, apalagi tunjangan tetap untuk hari tua.
Absennya Kepekaan Negara
Sebagian orang mungkin berkata, “Itu risiko zaman. Dunia berubah, kita harus ikut berubah.” Kalimat itu terdengar canggih, tapi juga dingin. Tidak semua orang punya akses untuk berubah. Penjual koran yang berusia 60 atau 70 tahun jelas tidak bisa mendadak menjadi content creator atau driver ojek online. Negara seharusnya hadir, bukan hanya untuk kelas menengah yang melek teknologi, tapi juga untuk mereka yang berada di pinggir jalan, secara harfiah dan metaforis.
Melihat kondisi ini, saya jadi ingat kalimat seorang teman, “Negara ini memang pandai membuat rakyatnya bertahan hidup, tapi tidak pandai membuatnya hidup layak.” Tepat sekali. Penjual koran yang berdiri di lampu merah itu bukan sekadar individu yang kalah bersaing, melainkan korban dari sistem yang timpang. Sistem yang membiarkan orang tua bekerja sampai habis tenaganya, sementara kekayaan negeri ini terus menumpuk di segelintir kepala.
Bahkan di tengah pandemi beberapa tahun lalu, saat pembaca koran anjlok drastis, tidak ada kebijakan konkret untuk menopang mereka. Tidak ada subsidi, tidak ada bantuan teknis. Mereka dibiarkan mengatur strategi sendiri, menurunkan harga, berjualan di titik-titik strategis, atau bahkan menunggu belas kasihan pembeli setia. Pertanyaan terbesar saya, sampai kapan mereka harus bertahan?
Kemajuan Tak Merata
Kita mungkin tidak bisa menghentikan arus digitalisasi. Namun, kita bisa menuntut kebijakan yang berpihak pada mereka. Subsidi kecil, pelatihan keterampilan ringan, atau jaminan sosial berbasis komunitas bisa menjadi jalan tengah. Negara tidak harus memberi “uang gratis”, tetapi memberi kesempatan yang adil agar mereka tidak terus terpinggirkan.
Di lampu merah kota besar, waktu berjalan lambat. Lampu merah 60 detik terasa panjang, tapi bagi para penjual koran, detik-detik itu adalah taruhan hidup. Mereka mendekati satu kendaraan, lalu yang lain, mengulangi kalimat yang sama, dengan senyum yang sama, meski mungkin sudah menahan letih.
Setiap kali saya bertemu mereka, saya selalu teringat bahwa kemajuan yang kita banggakan tidak pernah benar-benar merata. Ada yang tertinggal, ada yang terpaksa bertahan di jalur lama, dan ada yang perlahan menghilang tanpa suara. Suatu hari nanti, mungkin penjual koran di lampu merah akan menjadi kenangan. Namun sebelum hari itu tiba, bukankah sudah seharusnya kita bertanya, kemajuan ini sebenarnya milik siapa?
Jepang adalah Proyeksi, Bukan Imajinasi
Kita tidak bisa terus menerima argumen anggota DPR yang membandingkan harga beras Indonesia dengan Jepang, seolah rakyat hanya diminta “bersyukur” sambil menunggu keajaiban. Kalau ingin membandingkan, bercerminlah dulu. Potret penjual koran renta di lampu merah adalah bukti kegagalan negara melindungi rakyatnya. Jepang, misalnya, punya sistem perlindungan lansia yang jelas, asuransi perawatan universal, pusat layanan komunitas, hingga program Fureai Kippu yang memungkinkan warga saling membantu dan dijamin negara.
Sementara di sini, lansia hanya dipaksa bertahan, tanpa perlindungan, tanpa ruang aman, hanya janji kosong yang tak pernah berubah. Indonesia tidak kekurangan uang, yang kurang hanyalah keberanian politik untuk peduli. Jepang menyiapkan fasilitas, subsidi, hingga pelatihan agar warganya yang menua tetap bermartabat dan produktif. Kita? Membiarkan penjual koran melawan panas dan debu demi sesuap nasi, tanpa arah kebijakan yang nyata. Negara yang maju bukan diukur dari gedung pencakar langit atau aplikasi canggih, tapi dari cara ia menjaga mereka yang paling rapuh.