Pemikiran Presiden Ir. Soekarno tentang Islam, ternyata lebih brilian dibandingkan dengan sejumlah cendekiawan muslim nasional yang hidup di zaman now. Sejumlah gagasan dan analisisnya soal Islam masih sangat relevan sekaligus mencerahkan umat muslim Indonesia diera digital sekarang ini.
Bung Karno yang juga murid tokoh utama Sarekat Islam (SI) Tjokroaminoto, sangat bergairah kalau ngomong soal Islam. Dia memberi perhatian penuh terhadap eksistensi Islam di Indonesia. Bung Karno sangat mengutamakan substansi dan esensi Islam.
Dia juga menolak keras, kalau Islam diterjemahkan dalam ajaran yang sangat statis. Bung Karno pernah mengungkapkan istilah ‘Api Islam’ yaitu dia ingin menghidupkan kembali jiwa Islam sebagai ajaran universal. Bung Karno sangat tidak sepakat dengan adanya dominasi masyarakat onta atau Islam Sontoloyo.
Dalam kesempatan acara buka puasa bersama sekaligus merayakan syukuran milad bung Karno tanggal 6 Juni 2018 lalu, saya melakukan kongkow imajiner bersama beliau di tempat kelahirannya di rumah sederhana di Pandean gang IV no.40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Berikut petikan kongkow tersebut:
WK: Apa pendapat Bung, soal umat muslim di Indonesia saat ini?
Bung Karno: Kita gampang sekali menyebut kata kafir. Produk barat dibilang kafir. Kalau kita bergaul dengan nonmuslim dan bukan bangsa Islam disebut kafir. Kalau kita menyebut itu semua kafir, maka kita tidak kekinian dan kita lebih suka dengan keterbelakangan. Inikah Islam yang kita mau? Kalau saya tidak.
WK: Jadi seperti apa wajah umat muslim?
Bung Karno: Hampir seribu tahun akal dikungkung, sejak kaum Mu’tazilah sampai Ibnu Rusyd dan lainnya. Asy’arisme pangkal taklidisme dalam Islam. Akal dikutuk seakan-akan datangnya dari setan. Al Qur’an dan Hadits itu tidak berubah. Pandangan masyarakatlah yang senantiasa berevolusi dengan memakai tafsir sendiri-sendiri. Dalam ‘Islam Sontoloyo (1940)’, saya menulis bahwa fiqih bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya ialah terletak dalam ketundukan, kita punya jiwa pada Allah. Fiqih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid dan akhlaq kepada Allah. Al Qur’an seolah-olah mati karena kitab fiqih yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi sendiri.
WK: Faktanya tentang umat muslim Indonesia?
Bung Karno: Dunia Islam sekarang ini tidak bernyawa karena umat Islam tenggelam dalam kitab fiqihnya saja, tidak terbang seperti burung Garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup. Fiqih itu tetap penting. Tapi, saya hanya membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fiqih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja. Saya kasih contoh, saat anjing yang saya pelihara menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya meminta Ratna Juami untuk membuang air itu dan mencuci panci itu beberapa kali dengan sabun dan kreolin. Di zaman Nabi, belum ada sabun dan kreolin. Nabi Muhammad SAW sendiri telah menyerahkan kepada kita soal urusan dunia. fiqih tidak berdiri sendiri. Fiqih harus disertai dengan tauhid dan etiknya Islam yang menyala-nyala. Fiqih hanyalah ‘kendaraan’ saja.
Wk: Lantas bagaimana peran par ulama menyikapi ini?
Bung Karno: Dalam ‘Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an)’, saya menulis bahwa para ulama dan kiai, tak punya sedikitpun “feeling” kepada sejarah Islam. Mereka hanya tertuju pada bagian fiqih. Tapi, pengetahuan mereka tentang sejarah Islam umumnya nihil. Padahal, sejarah adalah padang penyelidikan yang maha penting! Kita buta dalam menafsirkan itu, karena tidak mengenal tarikh. Jika pemuka agama dan umat Islam Indonesia hanya berorientasi kepada fiqih saja, maka jangan harap umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa yang hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib sekarang ini. Kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyak terjadi karena hadist-hadist lemah yang laku keras dibandingkan ayat-ayat Al Qur’an.
WK: Soal adanya wacana sebagiankecil kelompok tertentu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah, pendapat Anda?
Bung Karno: Pancasila harga mati bagi NKRI. Khilafah no, Pancasila yes!
WK : Pendapat Anda soal khilafah
Bung Karno: Dalam terminologi syar’i, khilafah atau Imamah diartikan sebagai kepemimpinan umum yang menjadi hak seluruh kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam ke seluruh dunia. Sistem negara khilafah mengatur semua pelaksanaan hukum syara’ terhadap rakyat di seluruh dunia tanpa kecuali (muslim dan non-muslim) mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik. Pemimpin negeri khilafah adalah seorang khalifah yaitu pemimpin muslim yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum muslim melalui kontrak politik yang disebut bai’at. Kontrak bai’at ini mengharuskan khalifah memerintahkan rakyatnya berdasarkan hukum syariat Islam. Setiap Undang-Undang yang akan dikeluarkan khalifah harus berasal dari hukum Islam dengan metodologi ijtihad. Apabila Khalifah menolak hukum Islam, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa di negara khilafah yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memecat Khalifah.
WK: Bagaimana sebenarnya sifat-sifat dasar khilafah?
Bung Karno: Sifat dasar negara khilafah adalah ekspansionis. Khilafah akan selalu memperluas kekuasaannya untuk menyebarkan syariat Islam. Dalam sistem khilafah, kedaulatan berada dalam syariat Islam. Sistem khilafah menghapus negara kebangsaan dan menghilangkan sistem demokrasi. Sistem demokrasi menurut khilafah adalah sistim orang kafir. Padahal, sistem demokrasi berasal dari musyawarah yang sudah tertulis dalam Al Qur’an di surat As-Syura ayat 38 yang berbunyi, “Dan menghadapi perkaramu hendaklah kamu bermusyawarah diantara kalian”.
WK: Adakah petunjuk dalam Al Qur’an tentang negara khilafah?
Bung Karno: Sebenarnya, sistem negara khilafah tidak ada dalam Al Qur’an. Sistim negara khilafah justru banyak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Negara yang disebut dalam Al Qur’an hanya ada dua yaitu Thayyibah dan Khabitsah. Negara Thayyibah adalah negara yang baik dan negara Khabitsah adalah negara yang buruk. Dari segi konstitusi, Indonesia adalah negara Thayyibah. Buktinya termaktub dalam pembukaan UUD 45 alinea ke 3 yaitu, “Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kongkow ini harus berakhir karena adzan Maghrib telah berkumandang menandakan waktunya berbuka puasa. Saya sangat puas bisa berbincang dengan salah satu presiden paling berpengaruh di dunia. [sumber referensi: http://www.madinaonline.id/khazanah/lima-ciri-islam-sontoloyo-menurut-bung-karno/]