Kamis, Juli 3, 2025

Iphone Hilang di Pesawat, Apakah Maskapai Bertanggung Jawab?

Mulyana Raifa Nasution S.H.
Mulyana Raifa Nasution S.H.
Advokat Alumnus Fakultas Hukum UGM yang berkarir sebagai In House Legal Counsel di PT Barito Pacific Tbk
- Advertisement -

Baru-baru ini kasus kehilangan telepon genggam berjenis iphone milik seorang penumpang maskapai pelat merah Indonesia santer menjadi perbincangan. Kasus ini mencuat ke publik pasca korban mengunggah kronologis kehilangannya, upaya pelacakan lokasi yang ironisnya sempat terdeteksi berada pada sebuah penginapan yang merupakan tempat peristirahatan kru dari maskapai itu, hingga akhirnya berpindah tempat dan lenyap begitu saja tanpa berhasil ditemukanPeristiwa ini tentu menjadi pembelajaran berharga bagi kita, untuk senantiasa berhati-hati menjaga keamanan barang pribadi, karena sejatinya kejahatan bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan dilakukan oleh siapa saja.

Atas kejadian ini, siapa yang bertanggung jawab? 

Untuk menjawab hal ini, penelaahan terhadap peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagi maskapai dalam penyelenggaraan jasa pengangkutannya perlu dilakukan, yang di antaranya: (i) Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air (Konvensi untuk Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu Tentang Pengangkutan Internasional Melalui Udara) (“Aturan Konvensi Warsawa”) yang ditandatangani di Warsawa tanggal 12 Oktober 1929 dan telah beberapa kali diubah dengan perubahan terakhir sebagaimana disepakati dalam Konvensi Montreal pada 28 Mei 1999; (ii) Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”); serta (iii) Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“PM 77/2011”). Merujuk pada halaman syarat dan ketentuan pengangkutannya, maskapai (yang digunakan oleh si korban dalam contoh kasus ini) dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya tunduk pada aturan di atas.

Mengenai ‘tanggung jawab’, setelah membaca dengan saksama ketentuan UU Penerbangan dan PP 77/2011, ditemukan rumusan pengertiannya sebagai “kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga”. Sementara, definisi mengenai ‘ganti rugi’ juga ditemukan di dalam kedua peraturan tersebut yaitu “uang yang dibayarkan atau sebagai pengganti atas suatu kerugian”. Dari definisi ini, terlihat jelas bahwa maskapai berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh penumpang akibat dari tindakan tertentu dari maskapai selama berlangsungnya pengangkutan. Lebih lanjut, perihal ganti kerugian oleh maskapai, peraturan ini mengaitkannya dengan obyek kerugiannya, apakah berkenaan dengan diri penumpang atau barang bawaanya.

Dalam kasus yang sedang dibahas, obyek yang hilang adalah barang bawaan milik penumpang berupa satu unit iphone. Dalam konteks pengangkutan udara diketahui bahwa barang bawaan ini dibedakan pula menjadi dua yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin. Bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama (Pasal 1 angka 25 UU Penerbangan), sementara bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri (Pasal 1 angka 25 UU Penerbangan). Mendasarkan pada definisi di atas, maka dilihat dari sifatnya iphone yang hilang tergolong sebagai bagasi kabin.

Mengingat bagasi kabin dalam pengertian secara harfiah merupakan barang yang sepatutnya tunduk pada pengawasan penumpang itu sendiri, dalam kasus hilangnya iphone, apakah pertanggungjawaban maskapai dapat dimintakan?

Merujuk pada Aturan Konvensi Warsawa: 

Pasal 17 ayat (2) Aturan Konvensi Warsawa mengatur bahwa “Dalam hal bagasi tidak tercatat dan barang pribadi, pengangkut bertanggung jawab apabila kerusakan diakibatkan oleh kesalahannya, pegawainya, atau agennya.” Lalu besaran ganti ruginya diatur secara spesifik dengan batasan sebesar 1.000 SDR (Special Drawing Right yaitu aset cadangan mata uang asing pelengkap yang ditetapkan dan dikelola oleh Dana Moneter Internasional (IMF)) per penumpang kecuali pada saat penerimaan bagasi oleh pengangkut penumpang membuat pernyataan khusus mengenai nilai bagasi tersebut, dan telah membayar nilai tambahan bila diperlukan. Aturan batasan ganti rugi ini tidak membatasi kewenangan bagi pengadilan untuk menetapkan jumlah lain sesuai dengan pertimbangan hukumnya.

Merujuk pada UU Penerbangan: 

Pasal 143 mengatur bahwa “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang Dipekerjakannya”. Lebih lanjut, batasan ganti rugi atas bagasi kabin ini ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang, yang didasarkan pada nilai barang yang hilang atau rusak pada saat kejadian.

Merujuk pada PM 77/2011:

Secara gamblang, Pasal 2 huruf b PM 77/2011 mengatur bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara, wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap hilang atau rusaknya bagasi kabin. Namun demikian, PM 77/2011 membatasi bahwa pertanggungjawabannya hanya dapat dimintakan sepanjang penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya dan pembuktian tersebut dapat diterima oleh maskapai atau didasarkan pada keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), untuk selanjutnya diberikan ganti rugi dengan nilai setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.

Sejalan dengan ketentuan di dalam peraturan di atas, hal senada juga dipublikasikan di dalam laman BAGGAGE IRREGULARITY CLAIM SERVICE maskapai yang bersangkutan, yang mengatur bahwa:

*** (nama maskapai sengaja disamarkan) tidak bertanggungjawab atas kehilangan bagasi kabin, kecuali dapat dibuktikan bahwa kehilangan tersebut disebabkan oleh kelalaian staff, karyawan atau pihak yang dipekerjakan oleh *** dan pembuktian tersebut dapat diterima atau berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).”

- Advertisement -

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun bagasi kabin tunduk pada pengawasan si penumpang itu sendiri, tapi apabila secara sah dapat dibuktikan kehilangan atau kerusakannya telah terjadi akibat kelalaian atau kesalahan dari maskapai, maka pertanggung jawaban dari maskapai tetap dapat dimintakan dengan batasan nilai penggantian sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut.

Dalam kasus yang tengah viral, guna memperjuangkan hak ganti rugi bagi korban, maka upaya hukum baik dari sisi pelaporan secara hukum pidana maupun pengajuan gugatan secara keperdataan mutlak harus ditempuh terlebih dahulu oleh korban untuk membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan dari maskapai atas hilangnya iphone tersebut. Lebih lanjut, apabila gugatan secara kerdataan akan ditempuh, korban juga harus memperhatikan ketentuan mengenai daluwarsa pengajuan gugatan, yang telah diatur oleh Pasal 35 Aturan Konvensi Warsawa dan Pasal 177 UU Penerbangan, yaitu dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak sampainya pesawat di rute tujuan.

Terlepas dari itu semua, semoga pada akhirnya kasus ini dapat terselesaikan dengan pendekatan yang terbaik agar wibawa penerbangan tidak tercoreng oleh ulah oknum yang tidak bertanggung jawab dan di sisi lain asas-asas perlindungan konsumen tetap dapat tegak dengan teguh.

Mulyana Raifa Nasution S.H.
Mulyana Raifa Nasution S.H.
Advokat Alumnus Fakultas Hukum UGM yang berkarir sebagai In House Legal Counsel di PT Barito Pacific Tbk
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.