Kemajuan teknologi memunculkan berbagai polemik dalam kehidupan manusia. Kehidupan berjalan di antara kebenaran dan kepalsuan. Tak sedikit yang mencari identitas diri melalui sosial media.
Hidup di sosial media seakan memberikan kesenangan sendiri bagi penggunanya. Gaya hidup yang dipamerkan seakan menggambarkan kebahagiaan hidup di dunia nyata. Namun tak sedikit yang merasakan dunia maya hanya sebuah rekayasa bukan kenyataan.
Akhir-akhir ini sering muncul perkataan seperti “dunia tak seindah postingan instagram”. Postingan gambar atau video di Instagram menceritakan tentang kesenangan. Misalnya postingan liburan, makanan, gaya pakaian, dan riasan wajah. Semuanya mengarah kepada kesempurnaan kehidupan.
Setiap orang digambarkan bersenang-senang dalam liburannya. Setiap orang mengonsumsi makanan yang mahal dan lezat. Setiap orang memakai pakaian bermerk dan indah. Riasan wajah yang bahkan semakin dipuja oleh kaum adam dan hawa.
Instagram menjadi aplikasi favorit setiap orang. Pada Januari 2018 lalu pengguna Instagram menembus angka 800 juta pengguna di dunia. Indonesia berada di urutan ke 3 sebagai pengguna aktif Instagram terbesar setelah Amerika Serikat dan Brazil. Ada sekitar 50 juta lebih pengguna Instagram aktif di Indonesia.
Layanan yang diberikan oleh Instagram pun sangat bervariasi. Layanan tesebut digunakan untuk memposting berbagai kegiatan pengguna dengan cara kreatif. Instagram menjadi aplikasi yang diminati oleh berbagai kalangan. Pengguna Instagram bukan saja dari golongan masyarakat kelas menengah ke bawah. Banyak lembaga perusahaan bahkan artis menggunakan aplikasi ini.
Kehidupan artis juga banyak disoroti melalui Instagram. Para artis juga sering berkomunikasi dengan penggemarnya melalui aplikasi ini. Hal ini tentu memberikan akses yang lebih mudah untuk idola dan penggemar bertemu. Namun pertemuan ini bukan hanya diisi oleh idola dan penggemar.
Seringkali muncul orang ketiga dalam interaksi ini. Orang ketiga ini sering dikenal dengan kata “haters” atau antifan. Antifan ini biasanya hadir di kolom komentar artis dengan maksud menghujat.
Kebiasaan menghujat di kolom komentar sepertinya sudah menjadi hal yang biasa. Setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya. Namun hal ini tentu tidak baik karena telah menyakiti orang lain. Seringkali akun penghujat ini menggunakan akun palsu. Akun ini menghujat orang lain dengan jiwa pengecutnya. Bukankah ini salah satu bentuk rekayasa antifan di dunia maya?
Beberapa kasus ujaran kebencian sempat di bawah ke ranah hukum. Ketika hal ini terjadi pelaku ujaran kebencian hanya akan menangis karena kesalahannya. Hal ini tentu membuat kita miris akan kenyataan. Kebanyakan antifan di dunia maya hanya berani berbicara di dunia maya. Dalam dunia nyata antifan tidak berani berbicara sehingga membuatnya terlihat seperti pengecut.
Rekayasa kehidupan dunia maya tidak hanya berhenti pada kasus antifan saja. Kehidupan pribadi yang semula menjadi milik pribadi kini berubah menjadi konsumsi publik. Kehidupan pribadi seseorang bahkan tidak menjadi pribadi lagi. Setiap orang termotivasi untuk menunjukkan diri ke depan publik seakan-akan butuh pengakuan. Seakan-akan hidup itu harus diperhatikan orang lain. Terkadang malah menimbulkan kesan kurang perhatian.
Sisi kehidupan di Instagram seringkali mengalami kontradiksi dengan kehidupan asli. Melalui Instagram hidup bahagia digambarkan dengan kebahagiaan akan materi. Padahal kehidupan tidak sesempit itu. Kehidupan lebih luas dari sekedar menikmati materi. Kehidupan memiliki makna lebih dalam dari itu. Lantas mengapa kita harus belomba-lomba demi sebuah pameran materi?
Memamerkan segala hal yang telah dicapai hingga kini. Tidak ada gunanya juga memamerkan materi yang di dapat. Bahkan masih banyak orang yang memperoleh lebih dari yang kita peroleh saat ini. Kita terlalu menganggap diri kita sebagai sebuah bintang. Kita menganggap diri kita menjadi pusat perhatian dan selalu berusaha tampil sempurna. Berusaha agar titik kelemahannya tidak terlihat oleh orang lain.
Merekayasa kehidupan dalam dunia Instagram akan membuat kita lelah. Membuat semua hal terlihat sempurna juga sangat lelah. Mengapa kita harus lelah demi membangun kepalsuan hidup. Bukankah hidup dalam dunia nyata sudah lelah? Mengapa harus mempersulit hidup dengan berbagai rekayasa?
Tak perlulah membuat skenario agar hidup terlihat mewah dalam balutan aplikasi. Kehidupan rekayasa hanya akan membuat kita lelah dan frustasi. Manusia saat ini memang harus bisa hidup dalam dua sisi. Dunia nyata dan dunia maya yang penuh misteri. Namun sebagai manusia yang berakal dan bernurani. Sudah sepantasnya kita hidup dalam balutan simpati dan empati.
Berhentilah menghakimi orang lain dan diri sendiri. Setiap kita sedang berusaha meniti jalan berduri demi mencari jati diri. Tidak perlu mengeluarkan caci maki melalui gerakan jari-jari. Cukup berbagi hal yang bisa meningkatkan kualitas diri. Setiap kita perlu melatih diri agar tak terjatuh dalam rekayasa kehidupan yang abadi. Hidup dalam Instagram bukanlah kehidupan yang pasti. Hiduplah dalam dunia nyata yang seharusnya kita jalani.