Kamis, Maret 28, 2024

Inkonstitusional, Treshold 20-25%.

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Rancangan Undang-Undang Pemilu akhirnya diselesaikan setelah perdebatan panjang. Jumat lalu(21/7), UU pemilu disahkan dengan mekanisme vooting. Meskipun vooting ini diwarnai aksi walk out (WO) oleh empat dari sepuluh fraksi di DPR. Hal ini karena tidak tercapai titik temu perihal pilihan paket, titik debatnya adalah pada penetapan angka treshold pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden. Setelah WO, UU Pemilu pun diketuk dengan ketentuan tershold 20-25% dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019 mendatang.

Kehadiran UU pemilu ini jadi semangat awal untuk penyelenggaraan pemilu serentak 2019 mendatang. Namun, baru saja UU pemilu disahkan sudah dapat dipastikan akan banyak upaya uji materil yang akan dihadapkan ke Mahkamah Konstitusi. karena berbagai ketentuan yang dipandang inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi, seperti pengaturan angka treshold 20-25% suara sah nasional ini.

Potensi Judisial Review Treshold

Pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden adalah bentuk penyimpangan nyata yang dilakukan DPR pada putusan Mahkamah Konstitusi. Sudah jauh- jauh hari MK mengamanatkan soal Pemilu serentak melalui putusannya No 14P/PUU-XI/2013. Putusan terhadap pengujian UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden No 42 tahun 2008, bahwa menurut MK penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif secara serentak akan lebih efisien sehingga pelaksanaan yang tidak serentak tidak sesuai dengan prinsip konstitusi. Serta mengamanatkan penyelenggaraannya adalah setelah pemilu 2014. Dengan putusan MK tersebut, sudah tentu penerapan ambang batas presiden dalam ketentuan UU pemilu kali ini bertentangan dengan semangat pelaksanaan pemilu serentak.

Ketentuan ambang batas pencalonan presiden tertuang pada pasal 222 tentang Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya. Sederhananya, bagaimana caranya menerapkan angka presidential treshold untuk pemilu presiden dan pemilu legislataif yang dilaksanakan serentak pada waktu bersamaan. Lalu atas dasar apa angka-angka tresholdnya kemudian disandarkan ?

Tak hanya putusan MK yg disimpangi, ketentuan UUD 1945 pasal 6A ayat (2) juga tak diindahkan. Berbunyi “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu umum”. Artinya jika partai politik dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu oleh KPU yaitu peserta pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD terlepas apakah partai baru ataupun lama, maka secara otomatis partai tersebut sama-sama memiliki kesempatan untuk mengusulkan calon Presiden dan wakil Presiden. Namun, keadaan demikian kemudian terhambat dengan kehadiran batasan angka treshold pada Pasal 222 UU Pemilu. Treshold hanya akan jadi sandungan besar bagi setiap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden nya sendiri. Bukan hanya sebatas inkonstitusional, penerapan ambang batas inipun menghadirkan ruang diskriminasi antar partai politik yang mestinya diperlakukan sama. Sehingga dalam kerangka pemahaman, Presidential treshold bukanlah suatu keharusan syarat bagi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Menaruh harap pada Mahkamah Konstitusi

Besarnya potensi permohonan Judisial Review yang akan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi tentu akan berpengaruh pada tahapan. Mengingat penyelenggara pemilu tidak punya waktu panjang untuk tahapan pemilu serentak 2019 ini. Berbeda dengan UU pemilu sebelumnya yang memberikan waktu 22 bulan persiapan, dalam UU Pemilu ini waktu yang diberikan lebih singkat. UU Pemilu Pasal 167 ayat (6) berbunyi : Tahapan Penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai paling lambat 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara”. Jika waktu 20 bulan ini dihitung mundur dari waktu yang disepati pada April 2019, maka Agustus 2017 ini tahapan sudah harus dimulai. Pemangkasan waktu mewajibkan Penyelenggara menyesuaikan ritme dan bergerak lebih cepat menghadapi proses tahapan yang maraton. Mulai dari tahapan persiapan, pra pemiliuhan dan pasca pemilhan.

Tak hanya penyelenggara pemilu yang dipacu waktu, pun terhadap permohonan Judisial Review masuk ke Mahkamah Konstitusi, tentu MK harus pasang badan. Dalam hal ini MK mesti memutus perkara dalam waktu yang singat pula. MK harus responsif melihat keadaan konstitusional saat ini, memberikan putusan berkualitas dalam waktu yang tepat. Sehingga putusan MK nantinya dapat menjawab kebutuhan konstitusional soal tafsir penggunaan treshold 20-25% untuk pemilu Presiden 2019.

Jika berangkat dari hasil kajian Kode Inisiatif menyoal durasi waktu penyelesaian permohonan Judisial Review selama ini, kiranya tak ada parameter atau batasan yang pasti soal lama waktu. Sepanjang tahun 2016 saja misalnya, MK butuh waktu rata-rata 6,5 bulan untuk memutus suatu permohonan Judisial review. Kalaulah MK bertahan dengan ketidakpastian durasi waktu ini, sudah tentu penantian pada putusan MK juga akan menggangu proses tahapan yang dijalankan oleh penyelenggara pemilu demi kepastian hukum. Saat ini optimisme dan rasa percaya diri harus lantang diteriakkan pada Mahkamah Konstitusi mengingat MK jadi rumahnya para pencari keadilan sebelum tahapan pemilu dimulai.

Dalam situasi ini kepada Mahkamah Konstitusi ditumpangkan harapan untuk mengembalikan konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU pemilu. Harapan untuk menjadikan kodifikasi UU Pemilu sebagai dasar penyelenggaraan pemilu 2019 berkualitas dan tidak saling menyimpangi dalam pengaturannya. Baik buruknya kualitas penyelengaraan pemilu kedepannya akan sangat ditentukan oleh dasar penyelenggaraannya. Jika dasar penyelenggaraan nya saja sudah bermasalah tentu pelaksanaan pemilunya juga akan ikut bermasalah. Namun jika dasar penyelenggaraan pemilu baik sesuai dengan pengaturan konstitusi, maka antisipasi terhadap permasalahan pelaksanaan pemilu dapat dilakukan. Pemilu 2019 adalah tonggak sejarah pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia.

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.