Minggu, Desember 8, 2024

Inilah Diskursus Child Free

M. Hafizh Nabiyyin
M. Hafizh Nabiyyin
M. Hafizh Nabiyyin merupakan lulusan Hubungan Internasional Universitas Potensi Utama. Aktif bergiat di Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sebagai Legal and Policy Analyst. Selama berkuliah, aktif di Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Potensi Utama.
- Advertisement -

Diskursus mengenai child free telah menghiasi berbagai media nasional, baik media arus utama maupun media alternatif, dalam seminggu terakhir. Perdebatan ini dipantik oleh unggahan seorang influencer, Gita Savitri, melalui akun Instagramnya yang secara terang memberikan justifikasi atas keputusan untuk tidak memiliki anak yang telah ia dan suaminya ambil.

Seperti yang sudah dapat diprediksi, unggahan ini menuai banyak tanggapan dari warganet. Beberapa di antaranya mencela melalui kolom komentar, sementara beberapa yang lain membuat konten alternatif untuk membidas perspektif Gita. Secara kuantitas, argumentasi Gita mengenai child free, kalah populer di masyarakat dibandingkan dengan argumentasi tradisionalis yang memandang anak sebagai bagian integral dari keluarga yang ideal.

Diskursus Child Free dalam Perspektif HAM

Perdebatan yang muncul di media sosial maupun platform digital lainnya mengenai child free tentu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi maupun instrumen HAM internasional.

Argumentasi baik yang berangkat dari perspektif personal, ilmiah, hingga agama merupakan bagian dari ekspresi yang sah. Implikasinya, negara harus menghormati dan melindungi berbagai bentuk ekspresi ini selama tidak mengandung unsur hasutan untuk membenci atau ajakan untuk melakukan kekerasan kepada pihak lain.

Justru, perdebatan yang berawal dari pandangan personal Gita seharusnya dapat terus berkembang. Dalam perspektif HAM, argumentasi Gita dapat dipahami sebagai bagian dari upayanya untuk mengimplementasikan bodily autonomy atau otonomi tubuh.

Otonomi tubuh adalah kemampuan perempuan untuk menentukan pilihan mengenai tubuhnya sendiri tanpa menghadapi paksaan atau kekerasan (Letzing, 2022). Konsep ini lahir karena banyaknya objektifikasi masyarakat terhadap perempuan.

Perempuan  kerap diidealisasikan sebagai ibu di masa depan, yang oleh karenanya harus memiliki sifat-sifat keibuan seperti lemah lembut dan dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik seperti mengurus anak dan membersihkan rumah. Sebaliknya, perempuan dilarang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma atau kepercayaan, seperti menolak hubungan seks dengan pasangannya dan melakukan aborsi.

Dari sudut pandang ini, dapat dipahami alasan Gita begitu getol dalam menyampaikan pandangannya. Persoalannya bukan hanya pada keputusan child free atau tidak, memiliki anak dapat menyebabkan masalah atau tidak, melainkan pada struktur masyarakat dan hukum yang masih kerap menegasikan otonomi tubuh.

Public Sphere dan Otonomi Tubuh

Meskipun exposure atas isu ini terjadi karena banyaknya cemoohan warganet terhadap Gita, namun pada akhirnya perdebatan yang lebih bersifat substansial terjadi. Argumentasi yang muncul tidak hanya datang dari pembuat konten religi, melainkan juga pembuat konten yang menyandarkan dirinya pada pendekatan-pendekatan ilmiah.

Perdebatan ini dapat ditinjau dengan menggunakan konsep public sphere yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Menurut Habermas (1974), public sphere adalah wilayah dalam kehidupan sosial kita dimana opini publik dibentuk. Akses dijamin untuk semua warga negara. Public sphere akan terbentuk dalam setiap percakapan di mana individu bertemu untuk menciptakan public body.

- Advertisement -

Warga negara akan menciptakan public body ketika mereka berunding mengenai kepentingan publik dengan jaminan atas kebebasan untuk berkumpul, berasosisasi, berekspresi dan berpendapat. Dalam skala yang lebih luas, public body memainkan peran penting pada sebuah negara demokrasi karena ia dapat menjadi sarana untuk mengartikulasikan kepentingan publik dan mengawasi otoritas publik.

Dalam kasus child free, public sphere dan public body telah terbentuk yang ditandai dengan perdebatan di media sosial secara bebas dan terbuka. Namun, pada kenyataannya belum mampu terartikulasikan ke dalam level yang lebih tinggi seperti perdebatan mengenai kebijakan.

Saat ini, masih banyak regulasi-regulasi yang menegasikan otonomi tubuh perempuan. Sebut saja Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang melarang praktik aborsi dan berbagai peraturan daerah (perda) yang mengatur wilayah privat perempuan, seperti melarang keluar malam dan mewajibkan penggunaan jilbab.

Nihilnya Kanal Agregasi Kepentingan

Berbagai persoalan di atas sebenarnya dapat menjadi input-input yang sangat berharga untuk melahirkan kebijakan-kebijakan dan regulasi-regulasi yang baru, yang lebih menggunakan perspektif HAM.

Namun sayangnya, hingga hari ini belum ada kanal agregasi politik yang dapat diandalkan untuk menyuarakan isu-isu tersebut. Tidak ada satupun partai politik (parpol) di parlemen yang secara getol dan konsisten menjadikan HAM sebagai platform utama dalam partainya. Dalam beberapa kesempatan, HAM hanya dijadikan narasi sampingan saat kampanye dan akan segera dilupakan ketika sudah terpilih.

Hal ini setidaknya tercermin dari lambatnya proses pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang harus memakan waktu lebih dari 10 tahun. Belum lagi terjadinya kongkalikong para elite parpol untuk meloloskan peraturan yang berpotensi mengopresi otonomi tubuh seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Dibandingkan dengan narasi-narasi seperti keagamaan, bantuan sosial, dan pertumbuhan ekonomi, narasi HAM khususnya otonomi tubuh masih langka ditemukan. Padahal, Gabriel Almond dan Bingham Powell dalam bukunya Comparative Politics: A Developmental Approach (1960), mengemukakan bahwa salah satu fungsi dari partai politik dalam sebuah negara demokrasi modern adalah untuk melakukan agregasi kepentingan dengan cara memformulasikan kebijakan dan melakukan rekrutmen untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.

Maka, sesuai dengan apa yang diidealisasikan oleh Habermas di atas, seharusnya perdebatan substansial yang terjadi di jagad maya dapat diserap dan ditindaklanjuti oleh parpol yang ada. Proses ini penting untuk dipastikan agar pertukaran gagasan yang terjadi dapat berkembang menjadi partisipasi yang bermakna sehingga dapat menghasilkan luaran berupa kebijakan yang lebih berkualitas.

Dalam hal ini, parpol dapat menjadikan perdebatan yang muncul sebagai momentum untuk menentukan stance atau bahkan mengelevasikannya sebagai rumusan kebijakan atau program yang baru.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat krusialnya parpol dalam negara demokrasi representatif. Jelang pemilu 2024 yang akan melibatkan ribuan peserta pemilu, sudah selayaknya parpol kembali pada fungsinya sebagai kanal agregasi kepentingan. Dengan demikian, diskursus tidak hanya terjadi di platform digital khususnya media sosial, melainkan juga di parlemen dan kursi-kursi lain yang strategis untuk merumuskan peta jalan bangsa ini kedepannya.

M. Hafizh Nabiyyin
M. Hafizh Nabiyyin
M. Hafizh Nabiyyin merupakan lulusan Hubungan Internasional Universitas Potensi Utama. Aktif bergiat di Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sebagai Legal and Policy Analyst. Selama berkuliah, aktif di Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Potensi Utama.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.