Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Dengan demikian hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Berdasarkan peraturan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia, HAM mengandung beberapa hal, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.
Dalam konteks Hak Asasi Manusia, negara menjadi subjek hukum utama dan mengacu kepada kepentingan berbangsa dan bernegara karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya untuk warga negaranya masing-masing.
Negara adalah alat dari masyarakat dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakatdan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam ruang lingkup masyarakat.
Dengan demikian peran HAM dalam menstabilkan penegakan HAM dengan mengintegrasikan dan membimbing serta mengarahkan demi tercapianya tujuan bersama. Sebagai bagian dari proses penegakan hukum (integrated justice system), cabang kekuasaan kehakiman berperan krusial menegakkan HAM.
Sebagai pengemban amanat menegakkan keadilan (court of justice), lembaga peradilan adalah benteng terakhir bagi para pencari keadilan (justiciabelen) untuk berharap hak asasi mereka direalisasikan negara. Lembaga peradilan melalui putusannya dapat memastikan HAM setiap orang dan setiap warga negara tidak dilanggar, baik oleh cabang kekuasaan negara dan aparat penegak hukum maupun oleh individu dan kelompok masyarakat.
Singkatnya, meminjam kalimat Helle Krunke dan Martin Scheinin dalam buku Judges as Guardians of Constitutionalism and Human Rights (2016: 1), lembaga peradilan memainkan peran penting melindungi konstitusionalisme dan hak-hak fundamental individu.
Pada dasarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1, menyebutkan bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Penyataan HAM juga tersirat dan tersurat di dalam bunyi untuk menentukan nilai dasar pancasila yang juga diterjemahkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat. Sementara itu, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang membahas tentang Hak asasi manusia diatur dalam pasal 27 sampai pasal 34 UUD 1945.
Lembaga peradilan bertindak sebagai pengontrol aksi-aksi negara (legislatif dan/atau eksekutif), sebagai peran dalam menunjang kesetaraan hak asasi manusia, terdapat dua prioritas kebijakan yang perlu dilakukan:
- Para hakim difasilitasi secara intensif dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan komprehensif dan mutakhir tentang dimensi luas HAM. Materi HAM yang diperoleh hakim bersifat tambahan dan pelengkap. Padahal pentingnya pendalaman HAM tidak hanya untuk hakim yang bertugas di pengadilan HAM, tetapi juga bagi semua pelaku kekuasaan kehakiman.
- Putusan hakim pada setiap tingkat pengadilan harus kompatibel dengan prinsip HAM. Di samping harus memahami dimensi luas HAM (aspek kognitif), para hakim harus mengartikulasikan dan mengaksentuasikan prinsip HAM dalam putusannya (aspek afektif). Putusan hakim jangan sekadar menegakkan keadilan legal-formal, tetapi juga menegakkan keadilan berperikemanusiaan. Pekerjaan hakim bukan hanya pekerjaan praktis-teknis hukum, tetapi juga pekerjaan kemanusiaan. Sebagaimana sering dikemukakan Profesor Satjipto Rahardjo, “hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Artinya, para hakim sejatinya merupakan pembela HAM (human rights defenders).
Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan lain yang dijadikan dasar putusan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara utuh, bijaksana dan objektif.
Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Hal ini dikarenakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap bukan lagi pendapat hakim itu sendiri melainkan merupakan pendapat dari institusi pengadilan yang akan menjadi acuan bagi masyarakat. Dengan ini dapat berkembangnya penegakan hukum disetiap lapisan masyarakat baik kalangan atas, menengah dan kebawah dalam mengadili, menegakkan, memutuskan HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2008, hlm. 14.
Margono, Asas Keadilan,Kemanfaatan dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim, (Jakarta:Sinar Grafika, 2012), h. 51.