Beberapa bulan terakhir ini Indonesia sedang disibukan dengan aktivitas-aktivitas yang terfokus pada pemilu. Baik dari kalangan awam maupun intelektual bahkan praktisi politik itu sendiri menjadikan Pilpres sebagai pusat perhatian yang paling central di tengah-tengah masyarakat.
Namun, perhatian ini dibarengi rasa kebingungan untuk menetukan arah dan pandangan politiknya. Apalagi jika itu terjadi di kalangan menengah ke bawah yang tidak tahu menahu soal politik, masalah-masalah negara hingga bagaimana trade record dari setiap paslon capres-cawapres yang diusung saat ini.
Kebingungan ini pula dibarengi dengan rasa ketidakpuasaan dari sebagian masyarakat terhadap pemerintah sebelumnya atau kebingungan muncul karena pemerintahan sebelumnya memberikan kepuasaan dan kepercayaan yang sangat kuat bagi sebagian lapisan masyarakat sehingga dirasa tidak ada paslon capres-cawapres lain yang bisa menggantikan kepemimpinannya.
Kebingungan pertama dikarenakan masyarakat menginginkan adanya perubahan yang signifikan di bawah kepemimpinan Presiden selanjutnya sehingga masyarakat ini bingung dan khawatir untuk menentukan sikapnya.
Sedangkan kebingungan yang kedua dikarenakan sebagian masyarakat puas dan ingin tetap Negara berada dibawah kepemimpinannya sehingga sikap masyarakat ini akan menjadi sangat fanatik, bahkan jika pun harus digantikan, mereka akan memilih paslon capres-cawapres yang meneruskan pandangan politik pemimpin sebelumnya.
Di sisi lain, ada sebagian maysrakat lagi yang masih bersikap netral dan belum memiliki langkah politiknya. Sebagaimana Hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023 ini menunjukan bahwa sebanyak 28,7% orang masuk dalam kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan. Hasil ini menunjukan angka yang lebih tinggi dibandingkan pemilih yang belum menentukan untuk partai politik, yaitu 17, 3%.
Namun dari sebagian orang yang belum memilih ini bisa beragam alasan, bisa alasannya berisfat masih rahasia atau memilih pada saat detik-detik hari pemilihan, yaitu tanggal 14 Februari 2024.
Perbedaan sikap dalam setiap lapisan masyarakat dan situasi politik yang semakin waktu semakin panas ternyata bisa menggangu kesehatan mental. Misalnya saja di Amerika, dikutip dari Kompas Humaniora (09/12/2023) bahwa berdasarkan penelitian di Amerika 40% orang menilai politik menjadi sumber setres mereka, 5% di antaranya sempat memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup, yang paling merasakan tekanan adalah kelompok dewasa dan orang muda, sekitar 29% orang justru mengaku kehilangan kendali emosi ketika membahas politik.
Bahkan Sekitar seperlima orang terputus persahabatannya akibat perbedaan pandangan politik dan seperempat lagi merasa depresi ketika calon yang mereka unggulkan kalah dalam pemilu.
Sedangkan di Indonesia sendiri masyarakat cenderung memilih berdasarkan emosionalnya dibandingkan rasionalitasnya. Dalam artian masyarakat Indonesia lebih cenderung memberikan pandangan dan sikap politiknya berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaannya.
Meskipun meskipun sejatinya berada dalam golongan pemilih yang rasional, namun tetap saja dibatasi oleh kriteria individu (bounded Rationality). Misalnya mereka akan tetap memasukan keyakinannya untuk melakukan perbandingan, seperti sosok yang tidak boleh terjebak korupsi, pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, atau mendorong politik identitas yang memecah belah.
Masuknya keyakinan-keyakinan tertentu dalam menilai paslon itu menjadikan proses perbandingan tersebut menjadi tidak setara atau tidak memberi bobot lebih dalam isu tertentu.
Penelitian di Indonesia sendiri peneliti Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Rizka Halida di Depok, Jawa Barat, Selasa (12/12/2023) ia mengatakan “Proses yang dilakukan pemilih rasional itu melelahkan. Akibatnya, banyak pemilih menyandarkan pilihannya bukan pada proses rasional, seperti kedekatan dengan partai, pilihan orang lain, kesan terhadap kualitas personal calon, atau gagasan capres-cawapres yang mereka tangkap.”
Lebih lanjut Rizka menjelaskan, bahwa rasa suka atau tidak suka terhadap paslon capres dan cawapres itu bisa muncul dari mana saja, mulai dari cara mereka berbicara, bahasa tubuh, raut muka, karakter personal, hingga kedekatannyadengan masyarakat. Menurutnya bahwa emosi itu bersifat otomatis (Kompas Humaniora (18/12/2023)).
Jika melihat polarisasi masyarakat Indonesia menjelang pemilu yang cenderung menggunakan emosional saat menentukan pandangan politiknya, tentu sikap ini akan sangat menggangu kesehatan mental. Sebab mereka akan mengalami kecemasan dan setres atau biasa disebut election stress disorder.
Menurut The American Psycholigical Association (APA) gangguan ini berdampak sama terhadap kedua sisi politik. Penyebab dari pada stres pemilu ini adalah berita yang didapatkan dari media secara terus-menerus, ketidakpastian, isu-isu pemilu yang bergejolak, pertengkaran di media sosial, dan lain-lain. Polarisasi ini sering kali terjadi di Indonesia menjelang pemilu.
Dampak dari pada polarisasi ini menimbulkan efek yang cukup signifikan untuk ketentraman dan keamanan negara secara general, bahkan di sektor perekonomian yang lagi-lagi guncangan perekonomian ini juga bisa menimbulkan kecemasan bagi sebagian lapisan maysrakat. Meskipun sejauh ini situasi dan dinamika masyarakat menjelang pemilu masih tergolong kondusif.
Sebagaimana pernyataan ambutannya di acara Outlook Perekonomian Indonesia, Jakarta, Jumat (22/12/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) penyelenggaraan Pemilu 2024 akan berlangsung aman. Ia juga meminta para pengusaha agar tak khawatir terhadap kondisi politik di Indonesia menjelang Pilpres 2024. Ia melanjutkan bahwa situasi yang tampak melalui sosial media dan televisi, maupun debat antarpolitisi terlihat panas. Tetapi, kondisi itu dirasakan berbeda oleh masyarakat di berbagai daerah yang justru terlihat santai. Ia juga mengatakan bahkan kondisi politik menjelang Pilpres 2024 saat ini lebih adem jika dibandingkan saat penyelenggaraan Pilpres 2014 dan 2019 yang nampak sangat berbeda.
Namun, berita yang tersebar dengan beragam narasi yang diciptakan tentu akan sangat menggiring opini publik yang mengakibatkan munculnya polemik dan kecemasan yang terus- menerus di tengah-tengah masyarakat. Menurut hasil penelitian mahasiswa UGM yang mewawancarai masyarakat di lapangan berpendapat bahwa pemicu polemik dan konflik terindikasi berasal dari organisasi di bawah partai politik.
Sherlly salah satu peneliti mengungkapkan bahwa “Awalnya kami menduga konflik ini dipicu oleh adanya perbedaan ideologi antar dua kubu, tetapi temuan di lapangan menunjukkan adanya praktik politik ekonomi formal dan informal,”. Mereka mengabarkan bahwa hasil penemuannya tersebut mengacu pada kecenderungan sebuah organisasi yang membuat masyarakat turun ke jalan, berkampanye, dan menampilkan fanatisme terhadap kelompok tertentu. Di sisi lain faktor yang paling kuat dilatarbelakangi oleh faktor historis, ekonomi, dan personal.