Setelah Dalgona Coffee, dunia perkulineran nusantara akhir-akhir ini dihebohkan dengan satu jenis makanan, Korean garlic cheese bread namanya. Banyak pelaku kuliner khususnya yang bergelut di dunia perbakingan ramai-ramai membuat roti ini. Postingan teman-teman saya yang hobi membuat kue dan berbisnis makanan pun hampir semua memamerkan kreasi mereka akan kudapan ini.
Bagaimana roti keju bawang ini bisa begitu populer di sini? Ternyata roti ini adalah salah satu jajanan kaki lima yang juga sedang nge-trend di Korea sejak tahun lalu. Rasanya yang unik dan beraroma bawang putih membuat roti ini sangat diterima masyarakat di sana. Saya teringat cerita seorang teman dari Korea, bahwa orang Korea memang suka bawang putih sehingga hampir setiap masakan Korea mempunyai rasa bawang putih yang cukup dominan. Kimchi, bulgogi, dan bibimbap contohnya.
Pemasaran yang kuat melalui media sosial lah yang kemudian membuat roti keju bawang ini menjadi terkenal, tidak hanya di semenanjung Korea Selatan tetapi sampai ke Indonesia. Fans K-pop dan K-drama yang mencapai jutaan orang yang lalu membuat roti ini happening di dunia perbakingan nusantara, sebagaimana beberapa bulan lalu kopi Dalgona menguasai dunia perkopian di rumah-rumah dan di café-café.
Saat ini budaya Korea memang telah menginfiltrasi kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Korean Garlic Cheese Bread dan Dalgona Coffee hanyalah sebagian kecil bukti. Contoh yang lebih nyata adalah maraknya produk perawatan kulit buatan Korea. Jika melewati deretan produk kosmetik di supermarket maka kita akan melihat berbagai masker kecantikan asal negeri ginseng menempati porsi yang cukup besar di sana. Bahkan di mal-mal besar counter khusus produk kecantikan Korea ini dapat mudah kita temukan.
Awal mula proses infiltrasi budaya ini adalah ketika Korea Selatan mulai mengenalkan musik dan drama Korea kepada dunia internasional secara masif dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya Amerika dan Eropa, Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia tidak luput dari gempuran musik dan drama Korea. Sehingga tidak heran jika dunia permusikan dan perfilman kita saat ini banyak didominasi oleh K-pop dan K-drama.
Jika pada tahun 90an banyak generasi Z yang menggosipkan para personil New Kids on The Block atau seorang Leonardo DiCaprio, obrolan para generasi milenial saat ini pun banyak membahas gaya hidup para K-idol. Kita lalu akrab dengan kebiasaan masyarakat Korea, mulai dari ragam makanannya, model busana, hingga tingkah laku mereka. Kimchi dan bulgogi pun sudah mulai kita akrabi rasanya.
Arus globalisasi yang kuat dengan ditambah masifnya promosi yang dilakukan oleh Korea membuat proses penetrasi budaya Korea ini menjadi tidak terelakkan. Maraknya penggunaan berbagai platform media sosial beberapa tahun terakhir pun semakin mengakselesari prosesnya. Sehingga tidak heran jika hal-hal sederhana seperti Korean garlic cheese bread dan dalgona coffee pun cepat menjadi trending topic di sini.
Korea memang sedang menikmati buah manis dari keberhasilan strategi pemerintahnya dalam meningkatkan perekonomian makro mereka melalui musik dan film. Pemerintah Korea Selatan sejak awal sangat mendukung globalisasi kebudayaan yang dilakukan sejak tahun 90an tersebut. Hal ini menjadi booster bagi para seniman untuk berkreasi secara bebas dan menjadi amunisi bagi industri swasta untuk mengembangkannya. Sebuah sinergi yang benar-benar apik.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Kita semua tahu bahwa negara kita mempunyai kekayaan budaya yang sangat beragam, dari musik hingga makanan, dari busana hingga aneka pertunjukan. Artis kita banyak yang berkualitas baik dan mempunyai potensi untuk go-internasional. Namun sayangnya mereka harus berjuang sendiri jika ingin dikenal di luar Indonesia.
Biayalah yang akhirnya menjadi kendala karena modal yang diperlukan untuk itu jelas tidak sedikit. Akhirnya jika pun pernah mengglobal, seringkali hanya para seniman ini menjadi medioker dan tidak bertahan lama. Agnes Monica contohnya.
Menurut saya Pemerintah kita memang tidak pernah sungguh-sungguh menggarap potensi budaya ini. Promosi kesenian yang dilakukan selama puluhan tahun terkesan berjalan secara sporadis, tidak fokus, dan kurang serius. Dukungan kepada seniman yang berpotensi bisa dibilang minimal. Alasan utama yang selalu dikemukakan klasik, tidak ada dana.
Sejak akhir dekade 90an, pemerintah Korea Selatan memang jor-joran dalam membiayai promosi budaya ini. Setiap tahun dana yang mereka keluarkan mencapai triliunan. Sebuah angka yang mungkin masih jauh lebih kecil dibandingkan hasil yang diperoleh saat ini, Parasite mendapat Oscar untuk film terbaik, BTS merajai musik di Amerika dan Eropa dan berkesempatan tampil di Grammy Award, serta hampir ratusan triliun devisa yang berhasil diraup sampai saat ini hingga mungkin beberapa tahun ke depan.
Perekonomian kita memang belum sepadan jika dibandingkan dengan Korea Selatan. Namun, kalaupun kita tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk membuat ‘Indonesian wave’ melalui I-pop atau I-drama, sebagaimana Korean wave dengan K-pop dan K-dramanya, setidaknya pemerintah bisa mempromosikan Indonesia lewat cara lain, yaitu ragam makanan. Pemerintah bisa mencontoh Thailand yang berhasil mengglobalkan berbagai jenis makanannya seperti Tom Yam, Pad Thai, dan berbagai jenis kuenya sehingga mudah ditemui di berbagai negara.
Masakan Indonesia pun sebenarnya sangat bisa diterima di dunia internasional. Rendang, nasi goreng, dan sate salah satu buktinya. Namun dibandingkan dengan jenis makanan yang kita miliki hal itu rasanya jauh dari cukup.
Beberapa tahun lalu ketika tinggal di Inggris saya pernah mencoba mengenalkan gado-gado dan klepon ke sebuah komunitas. Yang membanggakan adalah hampir semua orang yang hadir di sana mencoba dan sangat menyukai makanan tersebut.
Ketika mengikuti sebuah event promosi tentang Indonesia di London pun, saya melihat antusias pengunjung untuk mencoba berbagai hidangan tradisional kita sangat tinggi.
Hal tersebut seharusnya dimanfaatkan lebih lanjut oleh Pemerintah untuk lebih mengenalkan Indonesia. Tidak hanya melalui berbagai kegiatan promosi budaya seperti yang selama ini dilakukan, tetapi juga melalui dukungan modal dan sumber daya lain bagi masyarakat yang akan berbisnis di bidang kuliner nusantara di luar negeri, sehingga paling tidak mereka bisa menyewa tempat di jalan-jalan utama.
Ketika hal tersebut dilakukan secara efektif, konsisten, dan terus-menerus, maka impian untuk menemukan restaurant soto ayam di jalan Champs-Élysées, Paris atau rumah makan aceh di Oxford Street, London mudah-mudahan bisa terwujud. Apalagi kemudian melihat orang-orang Seoul berlomba-lomba membeli terang bulan yang sedang happening di sana.
Ah, kondisi di atas memang hanya mimpi seorang bakul kue sosio solo yang senang jalan-jalan. Tapi seru juga membayangkan Hyun Bin memposting moment ketika dia menikmati sosis solo di IG-nya sambil berkomentar ‘ini enak banget, gilak’…