Minggu, Oktober 13, 2024

Indonesia dan Maskapai Asing

Muhamad Hafizh Akram
Muhamad Hafizh Akram
Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Direktur Business Law Community, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (BLC FH UGM).

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan situasi harga tiket pesawat yang mahal membludak. Ironisnya, hal itu berlangsung dari jauh-jauh hari sebelum hingga selesai Ramadan. Pemerintah Indonesia tengah mencari solusi akan penyelesaian masalah terkait melonjaknya tiket pesawat.

Pertama, penurunan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat antara 12–16 persen. Penerapan penurunan tarif batas atas diberlakukan hanya untuk rute-rute gemuk, seperti rute-rute tujuan kota besar di Pulau Jawa. Kedua, wacana pemerintah Indonesia membuka peluang maskapai asing untuk melayani rute domestik angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia. Wacana untuk mengundang maskapai asing untuk melayani rute domestik di Indonesia mengundang diskursus diantara masyarkat.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, pasal 85 ayat (1), tertulis bahwa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal. Konstruksi pasal dengan sangat jelas menyatakan bahwa kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal.

Badan usaha angkutan udara tersebut dapat milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang berbentuk perseroan terbatas (PT) di Indonesia yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Hal ini sesuai dengan prinsip cabotage yang berlaku dalam industri penerbangan di dunia.

Prinsip Cabotage adalah manifestasi dari pemahaman bahwa negara memiliki kedaulatan penuh atas udara di wilayahnya dan manfaat dari udara digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Dalam Pasal 7 Chicago 1994 tentang Konvensi Penerbangan Sipil Internasonal, prinsip ini memberikan hak ekslusif suatu Negara peserta untuk menolak memberikan perizinan kepada suatu pesawat Negara lain, yang bermaksud untuk mengambil penumpang dan/atau kargo dengan mendapatkan bayaran atau sewa dari satu tempat ke tempat lain dalam wilayah tersebut.

Lebih dari itu, prinsip ini memberikan larangan kepada Negara peserta untuk meberikan hak secara khusus kepada Negara peserta lain atau perusahaan penerbangan milik negara lain dan menerima hak khusus serupa dari Negara peserta lain. Tujuan utama dari implemetentasi prinsip cabotage dalam Undang-Undang Penerbangan adalah untuk merealisasikan kedaulatan negara atas udara dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Indonesia untuk mengembangkan kekuatannya secara efektif dan maksimal.

Jika wacana ini betul-betul direalisasikan, hal tersebut akan menimbulkan beberapa permasalahan. Pertama, ketidakpastian hukum. Tertulis dengan jelas dalam Pasal 85 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bahwa hanya badan usaha angkutan udara nasional yang berhak melayani angkutan udara berjadwal dalam negeri.

Mengingat Indonesia adalah Negara peserta dari Konvensi Chicago 1994, tentu pemberian izin maskapai asing untuk melayani rute domestik di Indonesia akan bertentangan dengan pasal 7 dari konvensi tersebut.

Kedua, belum tentu menurunkan harga tiket penerbangan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan udaran di Indonesia bergantung dengan dolar. Seperti contoh biaya bahan bakar (avtur), oli dan suku cadang yang pada umumnya impor dan bergantung pada dolar. Belum tentu dengan semakin banyak pelaku usaha akan menurunkan harga tiket pesawat, tetapi stabilitas rupiah yang memiliki peranan penting untuk menekan biaya pengeluaran.

Ada beberapa catatan untuk maskapai asing jika ingin melayani rute domestik di Indonesia. Pertama, maskapai asing harus mendirikan badan hukum PT di Indonesia dan minimal 51% kepemilikan saham harus dimiliki oleh badan hukum atau masyarakat Indonesia.

Dengan skema ini, maskapai asing yang berbentuk badan hukum Indonesia dapat dikategorikan sebagai badan usaha angkutan udara nasional dan diperbolehkan menjalankan usaha angkutan udara berjadwal dalam negeri. Kedua, wajib mengikuti seluruh regulasi penerbangan sipil di Indonesia.

Ganti rugi, keterlambatan, dan regulasi lainnya yang diatur dalam undang-undang ataupun peraturan menteri. Sehingga, posisi maskapai domestik dan asing berada di level yang sama. Ketiga, mempekerjakan pilot dan tenaga kerja lokal. Sehingga, ada alih teknologi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.

Muhamad Hafizh Akram
Muhamad Hafizh Akram
Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Direktur Business Law Community, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (BLC FH UGM).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.