Pidato Prabowo Subianto mengenai Indonesia bubar 2030 memunculkan berbagai argumentasi yang beragam di masyarakat. Indonesia diklaim bubar 2030 ini merujuk pada salah satu novel berjudul Ghost Fleet yang ditulis oleh P.W.Singer dan August Cole menerangkan tentang perang dunia selanjutnya. Novel ini menceritakan skenario perang antara China dan Amerika pada 2030 dan menyinggung soal Indonesia tidak ada lagi tahun 2030 seperti yang disampaikan Prabowo Subianto.
Pernyataan Prabowo Subianto kemudian menimbulkan sedikit kegaduhan di masyarakat. Kasak-kusuk mengenai validitas darimana referensi pernyataan ini muncul sehingga dijadikan kekuatan dalam menyampaikan sebuah isu. Ada yang mengklaim bahwa Prabowo Subianto sedang bermain politik dan sengaja memanaskan suasana menjelang tahun politik. Prabowo Subianto dinilai sesumbar dalam berpidato karena dianggap tidak mampu menunjukkan soal akurasi data.
Novel Ghost Fleet sendiri merupakan karya fiksi, bukan prediksi seperti yang diungkapkan oleh penulisnya pada bagian catatan penulis. Novel setebal 400 halaman ini menyebut nama Indonesia beberapa kali dalam perang China dan Amerika. Namun, novel ini seakan hidup ketika melihat fenomena saat ini mengenai ketergantungan negara terhadap China. Pernyataan Prabowo Subianto setidaknya bernada positif karena dari sini penting kiranya menimbang kembali sebatas mana kekuatan China.
Kekuatan China sangat besar untuk menghegemoni negara, disisi lain lihai dalam mencerna selera pasar. Hal ini terbukti dengan maraknya berbagai produk dalam negeri yang made in China. Produk tersebut berupa, handphone, laptop dan produk elektronik, alat pertanian dan sebagainya. Ini artinya penguasaan terhadap ekonomi terbuka lebar sehingga negara perlu hadir dalam membendung penguasaan di sektor strategis.
Negara atau perusahaan mana yang tidak jengkel melihat masifnya perilaku ilegal terhadap produk perusahaan yang dibegal oleh China. Duplikasi produk marak terjadi, menggantikan produk negara lain yang harganya jauh lebih murah dengan kualitas yang tak terpaut jauh. Ini artinya praktek atau siasat China mulai berjalan yang perlahan mengendalikan pasar ekonomi dunia.
Pernyataan Prabowo Subianto bukan semata perdebatan soal novel yang dibaca itu fiksi atau realita akan tetapi tidak ada salahnya dijadikan sebagai bagian rambu-rambu. Menakar kembali seberapa besar potensi penguasaan ekonomi yang akan dikendalikan China. Hal ini terlihat dari geliat China untuk menjadi raja ekonomi dunia dengan dalih menyingkirkan Amerika.
Presiden D. Trump di kepemimpinanya sempat melontarkan pernyataan mengenai upaya pemberlakuan tarif pajak yang tinggi bagi barang impor, terkhusus alumunium dan baja. Pernyataan ini mengarah pada upaya Amerika untuk menggembosi China karena dinilai lebih banyak diuntungkan dari perdagangan bilateral.
Selain itu, D. Trump terlihat menakut-nakuti China untuk mencari dukungan sekutu dengan alasan perang dagang. Meskipun, disisi lain Amerika mengalami defisit neraca yang mengakibatkan adanya pembengkakan.
China dianggap berbahaya oleh banyak negara karena akan menjadi role model ekonomi global. Keberhasilan reformasi ekonomi yang digagas oleh Mao Dong semakin menguatkan peran China dalam praktek perdagangan antar negara. Sulit dipercaya, hanya butuh 30 tahun ekonomi China bisa bangkit dan setara dengan negara lain. Bahkan, negara sekaliber Amerika kini dibuat kelimpungan oleh strategi dagang China.
Di sisi lain, China dirasa menakutkan dalam kaitannya soal peminjaman hutang. Srilanka, Malaysia merupakan korban dari praktek diplomasi perangkap hutang. China akan lebih tertarik memberikan pinjaman hutang pada negara yang sebetulnya sedang berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur karena disitu nilai investasi akan berjalan. Kini, Indonesia masuk dalam deretan negara penghutang China.
Kegagalan Srilanka dan Malaysia dalam membayar hutang terpaksa menswastakan hasil pembangunan infrastrukturnya pada China. Sektor strategis yang sebetulnya dikomersilkan untuk kepentingan ekonomi masyarakatnya justru dikelola oleh China. Pelabuhan dan bandara yang ditujukan sebagai akses percepatan ekonomi nyatanya menjadi tidak efektif. Srilanka terpaksa gigit jari dan kini menjadi negara penikmat atas keberhasilan China dalam membuat perangkap hutang negara mitra.
Presiden Joko Widodo diharapkan lebih berhati-hati menyikapi mudahnya China menggelontorkan investasinya pada pembangunan infrastruktur. Kegagalan Srilanka dan Malaysia dalam menebus pinjaman hutang setidaknya menjadi catatan penting bahwa kegagalan tersebut harus menjadi pembelajaran. China sangat senang ketika uangnya berjalan, sehingga memudahkan mekanisme peminjaman yang ramah apalagi proyek infrastruktur membutuhkan dana yang besar dan cepat.
Bahasa panggung Prabowo Subianto sebetulnya menjelaskan pada publik bahwa China bukanlah negara yang dungu dalam memberikan pinjaman hutang. Andaikata, negara tidak mampu menebus pinjaman tersebut dikhawatirkan tidak butuh waktu lama Indonesia bisa bubar ditengah jalan.
Faktanya, negara tidak hanya impor investor namun tenaga kerja asing China turut pula diimpor. Hal ini dirasa bukan sebagai kelaziman akan tetapi sebagai langkah membuka perangkap baru potensi kegagalan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Jalan Tol yang rencananya akan diswastakan asing, bandara,dan pelabuhan pun demikian.
Lalu kemana arah pembangunan infrastruktur ini, benar sebagai akses pertumbuhan ekonomi atau penguasaan asing. Akankah geliat China seperti ini dikategorikan fiksi atau fiktif?