Manusia berlabel mahluk paling sempurna, dengan akal fikiran sebagai pembeda dengan mahluk lainnya. Akal dan fikiran itu adalah modal untuk sebuah independensi (terlepas dari segala jenis pengaruh).
Meskipun tidak menaifikan diri sebagai mahluk mono dualis. Namun independensi sebagai seorang individu menjadi karakter dasar yang harus mengakar pada masing-masing diri individu. Baru kemudian diri individu akan memiliki identitas kedua sebagai mahluk sosial. Yang berkembang beriringan dengan situasi kondisi terdekat, yang kemudian juga dipengaruhi oleh ajaran atau doktrin.
Doktrin bagaikan udara yang mau tidak mau akan menjadi hal yang melekat selama adanya kehidupan. Doktrin menjadi sebuah kebutuhan sekaligus menjadi sebuah momok, virus abstrak yang bisa menggerogoti jiwa.
Sebagai mahluk bertuhan, tentu doktrin agama menjadi hal yang esensial mutlak dibutuhkan manusia. Sementara doktrin diluar teologi (agama) seperti pisau bermata dua, yang bisa menjdi senjata juga menjadi ancaman.
Kesalahfahaman memahami, menerima sebuah doktrin terletak pada penempatan dan pemaknaannya. Realita saat ini membuktikan hal demikian, berapa banyak individu yang gagal memahaminya, dan itu fatal, karena memaknai doktrin dengan memukul rata, dalam mengambilnya sebagai kebutuhan mutlak.
Ideologi agama sebagai doktrin kebutuhan mutlak individu disamakan statusnya dengan doktrin komunal, komunitas yang sebenarnya merupakan doktrin sekunder yang berkembang berdasarkan kebutuhan dan keadaan tertentu. Artinya pemahaman terhadap doktrin diluar doktrin agama seharusnya harus melibatkan proses nalar untuk memilih dan menilai.
Doktrin yang seperti inilah yang kemudian nanti akan menghilangkan independensi seorang sebagai individu, tidak memilki jati diri yang mampu memberikan nilai dan memilih atas dasar kemampuan dan karakter dirinya. Hal yang membuat diri akan seperti sebuah pakaian yang dipaksakan dengan warna buatan, dan sulit untuk luntur dan lentur.
Super wantex, yaa sebutan ini sepertinya cocok untuk pemahaman doktrin yang keliru. Karena akan menghilangkan nilai akal fikiran dalam menilai dan menimbang sesuatu yang telah diberikan oleh pencipta sebagai anugrah. Bahkan jika demikian kita mengingkari kekuasaan tuhan atas apa yang telah diberikan.
Doktrin agama sebagai doktrin primer yang esensi yang seyogyanya menjadi warna yang melekat atas dasar keimanan. Bukan kemudian doktrin sekunder yang menipu, yang harusnya dipilih atas dasar keimanan. Bukan kemudian kemudian doktrin yang menipu, yang harusnya dipilih atas dasar nalar namun salah menilainya seakan-akan seperti mengimani.
Mari berjati diri, bukan sekedar mandiri, apalagi sekedar menjadi pengikut, penurut dan pembuntut.