Sabtu, April 20, 2024

Incest, Kekerasan Seksual dan Perlindungan Korban

Paulus Mujiran
Paulus Mujiran
Paulus Mujiran, MSi Alumnus Pascasarjana Undip Semarang. Kolumnis, penulis buku, peneliti The Dickstra Syndicate Semarang.

Kasus dugaan perkosaan anak oleh ayah kandung di Kabupaten Luwu Timur memantik diskusi beragam kalangan. Desakan agar polisi membuka kembali penyelidikan terkait perkara itu pun menguat. Kasus yang terjadi pada tahun 2019 sebenarnya telah di-SP3 kan karena dalam penyelidikan Polres Luwu Timur tidak ditemukan cukup bukti melanjutkan perkara. Namun demikian, munculnya desakan dari berbagai pihak agar kasus itu dibuka kembali memberi peluang agar kasus itu dibuka secara transparan.

Kepolisian berdalih tidak melanjutkan kasus itu karena dari hasil penyidikan tak ditemukan tanda kekerasan seksual pada tubuh korban. Namun hasil berbeda diperoleh ibu korban saat diperiksakan ke psikolog dan dokter. Perbedaan bukti inilah yang kemudian menguatkan dugaan adanya dugaan pencabulan terhadap anak dan mendorong kepolisian membuka kasus itu.

Kasus ini menarik karena diduga pelakunya adalah ayah kandung atau dikenal dengan incest. Incest sendiri diartikan sebagai hubungan seksual antara kerabat dekat. Incest antara orang yang lebih dewasa dikategorikan sebagagai pelecehan seksual atau kekerasan seksual sebab tetap mengandung materi kekerasan. Incest terhadap anak-anak dapat melahirkan trauma berkepanjangan karena ayah adalah sosok yang mesti melindungi dan mengayomi anak-anaknya.

Idealnya kita mempunyai sebuah sistem perlindungan anak secara nasional yang mampu melindungi anak sampai ke tingkat RT/RW sehingga kasus-kasus semacam ini tidak terjadi. Namun bukannya bekerjasama yang kerap terjadi justru masing-masing instansi bergerak sendiri-sendiri yang berakibat perlindungan anak dari kekerasan seksual cenderung terabaikan.

Padahal, kekerasan seksual mempunyai dampak yang serius. Pertama, dampak psikologis korban mengalami trauma yang mendalam. Stres yang dialami korban dapat mengganggu fungsi dan perkembangan otaknya. Kedua, dampak fisik. Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan penyakit menular seksual (PMS). Selain juga berpotensi mengalami luka internal dan perdarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Bahkan beberapa kasus anak bisa meninggal.

Ketiga, dampak sosial, korban kekerasan seringkali mendapat perlakuan tidak menyenangkan berupa dikucilkan dalam kehidupan sosial yang seharusnya dihindari karena korban membutuhkan dukungan moral untuk bangkit dari kehidupannya. Anak-anak yang menjadi korban harus mendapat terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan trauma atas peristiwa yang dialaminya.

Sebenarnya ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan seksual sudah diatur dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (2) pelaku kejahatan seksual ialah setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengan orang lain. Ancaman hukumannya sebagaimana ayat (1) pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Kemudian di ayat (2) jika pelakunya adalah orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pada ayat (1). Hukuman akan diperberat jika menimbulkan gangguan jiwa, penyakit menular, gangguan fungsi reproduksi bahkan meninggal dunia. Bahkan dapat diberikan sanksi tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Kita mendorong agar kasus ini dibuka kembali dengan transparan semata-mata untuk melindungi para korban. Meski demikian proses hukum terhadap kasus ini dilakukan secara berhati-hati agar korban tidak merasa “diperkosa” untuk kedua kalinya dan terhindar dari trauma berkepanjangan. Apalagi dugaan pelaku merupakan lingkaran dalam keluarga korban. Rumor bahwa ayah korban adalah teman dekat pengurus P2TP2A Kabupaten Luwu Timur tentunya tak menjadi alasan menutupi kasus ini karena korbannya adalah anak-anak.

Prinsip perlindungan anak berlaku bagi siapapun bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah dan penelantaran. Salah satu cara mencegah agar kejadian serupa tidak terulang perlu dibangun lingkungan yang mendukung dan melindungi anak.

Lingkungan bertanggung jawab mengawasi keselamatan anak-anak di rumah yang kerap tidak terjangkau karena terhalang tembok dan pagar rumah. Keharmonisan dalam keluarga perlu diciptakan agar anak tidak mendapat perlakuan salah.

Paulus Mujiran
Paulus Mujiran
Paulus Mujiran, MSi Alumnus Pascasarjana Undip Semarang. Kolumnis, penulis buku, peneliti The Dickstra Syndicate Semarang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.