Menuntut Ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sebagaimana hadist yang disabdakan oleh Rasulullah SAW : “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.
Saking pentingnya kewajiban tersebut sampai-sampai Imam Syafi’I pernah mengatakan “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, maka harus disertai dengan ilmu. Dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, juga harus dengan ilmu”. Pesan yang disampaikan Imam Syafi’i ini mengingatkan kepada kita betapa pentingnya peranan Ilmu bagi kita sebagai bekal dalam menjalani kehidupan, oleh karena itu kita tidak boleh merasala lelah dalam meneguk luasnya samudera ilmu pengetahuan.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Imam Ath- Thabari, Mufasir yang memiliki nama lengkap Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Galib At-Thabari Al-Amuli ini lahir di Thabaristan pada tahun 224 H (838-839 M) dan wafat di tahun 310 H. di masa kecilnya beliau tumbuh dan berkembang di lingkungan yang memberikan perhatian besar terhadap pendidikan.
Ayahnya merupakan seorang ulama dan pecinta ilmu sehingga selalu memotivasi imam At-Thabari untuk menuntut ilmu. Besarnya dukungan dan motivasi sang ayah mampu membuat Imam At Thabari Hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun. Saat berusia 8 tahun, beliau sudah menjadi Imam shalat dan mulai menulis hadits di usia 9 tahun.
Imam Ath-Thabari tumbuh menjadi remaja yang sangat mencintai Ilmu, ekspedisi keilmuannya dimulai pada tahun 236 H ketika usianya 12 tahun. Awalnya beliau menuntut ilmu di kota kelahirannya yaitu Amul. Kemudian beliau mulai mengembara dari satu kota ke kota lain demi satu misi mulia yaitu menuntut ilmu. Perjalanan pertamanya menuju salah satu kota di Iran yang bernama Ray. Di kota ini At-Thabari berguru kepada Muhammad bin Humayd Ar-Razi untuk belajar ilmu hadis di usianya 17 tahun.
Selain itu At-Thabari juga menyusuri negara Irak, Kufah, Khurasan, Syam, Mesir dan Bagdad. Setiap harinya ia disibukkan dengan ilmu pengetahuan bahkan ketika beliau makan. Semangat beliau mencari majlis ilmu dan menemui para ulama tidak diragukan lagi.
Dalam perjuangannya mencari ilmu tidak jarang Imam Ath-Thabari dihadapkan dengan berbagai tantangan bahkan ia pernah mengalami kesusahan dan kelaparan di tengah perjalanan. Yang membuatnya mesti menjual beberapa helai pakaiannya untuk membeli makanan karena terlambat mendapat kiriman bekal dari orang tuanya. Kondisi tersebut bertahan lama, apalagi setelah sang ayah wafat beliau pun mulai mengalami kesulitan finansial. Beberapa waktu lamanya mengandalkan harta warisan dari almarhum, hingga akhirnya karya-karyanya bisa menjadi sumber penghasilan baginya.
Semangatnya menuntut ilmu dibuktikan dengan komitmennya dalam menulis berbagai karya. Terkait ini Al-Khatib al-Baghdadi berkata: Aku pernah mendengar Ali bin Ubaidillah bercerita, “Sungguh Muhammad bin Jarir (Imam ath-Thabari, red.) selama 40 tahun, setiap harinya menulis 40 halaman (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 11/294). Sementara di riwayat yang lain menyatakan bahwa Imam Ath-Thabari menulis setiap hari sedikitnya 14 halaman. Yang jika dikalkulasikan mulai dari usianya menulis sampai usia wafatnya maka diperoleh fakta bahwa beliau mampu menulis sebanyak 358 ribu lembar di sepanjang hayatnya.
Tulisan-tulisannya tersebut sampai sekarang masih dapat dibaca melalui buku-buku yang dihasilkannya yaitu seperti Jami al-Bayan fi Tafsir Alquran. Itu disebut pula sebagai Tafsir ath-Thabari. Selanjutnya, ada Adabul Qadha’, A dabul Manasik, Adab an-Nufuus, Syarai’al Islam, dan Al-Basith–yang disebut-sebut memiliki tebal 1.500 halaman. Kemudian yang tak kalah bagusnya, karyanya dalam bidang ilmu sejarah, yakni Tarikh al-Rusul wa al-Muluk atau yang juga populer dengan nama Tarikh ath-Thabari.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa semangat Imam Ath – Thabari dalam berjuang menuntut ilmu sangatlah tinggi, untuk itu sebagai generasi muda hendaknya dapat menjadikan Imam hebat tersebut menjadi Inspirasi dalam mempertahankan semangat juang mereguk luasnya samudera ilmu pengetahuan.