Kita ini lucu. Untuk urusan wangi saja, kita membeli sederet produk perawatan. Baju kita cuci menggunakan sabun yang beraroma. Lalu kita rendam menggunakan pelembut pakaian. Sesudah kering kita seterika menggunakan pewangi. Ketika hendak digunakan, masih pakai parfum (lagi). Kita ini butuh atau korban iklan?
Iklan bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia. Sejak manusia mengenal jual-beli, iklan secara lisan atau getok tular sudah ada. Hingga hari ini, iklan telah berevolusi menjadi beragam bentuk bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi.
Konsep dasar iklan adalah membujuk seseorang agar tergerak membeli atau mengingat sebuah produk. Pesan yang disampaikan sebuah iklan setidaknya menggiurkan atau menggugah selera bila yang diiklankan adalah produk makanan.
Bila lebih jeli, iklan saat ini tak hanya sekedar memasarkan sebuah produk. Namun bergeser sebagai iming-iming pemuas ekspektasi sekaligus pendikte mindset yang ulung. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Hal ini bisa disaksikan melalui perang dagang antara wilayah timur dan barat dunia. Negara yang saat ini memiliki pengaruh besar terhadap dunia terkhusus Indonesia beberapa diantaranya adalah Amerika, Inggris dan Korea Selatan (Korsel).
Korsel dengan beragam konten hiburannya berhasil menghipnotis sebagian anak muda Indonesia. Produk-produk Korsel mulai dari eletronik hingga kosmetik juga berhasil mendapatkan posisi di hati konsumen Indonesia.Pengaruh Korsel di Indonesia begitu besar saat ini.
Korsel dapat dikatakan baik dalam memanfaatkan kesempatan momen“Demam Korea”. Berbekal antusian anak muda Indonesia pada serial drama korea (Drakor), Korsel gencar memasarkan produknya dalam setiap serial drama. Seperti dalam serial drama yang berjudul Pinocchio, produk Samsung yang berulangkalimuncul saat para aktor berkomunikasi. Pemasaran tersebut secara tidak langsung mendikte penonton bahwa produk eletronik yang berkelas ala aktor korea adalah Samsung.
Selain itu, pengaruh Korsel dalam memasarkan kosmetik juga luar biasa gencarnya. Penonton Drakor yang terobesesi menjadi aktor akan tergerak memiliki alat yang sama dengan sang aktor. Pada akhirnya iklan juga berguna sebagai jalan singkat memuaskan ekspektasi keidolaan.
Jika diperhatikan saat ini pada iklan kosmetik secara universal, yang cantik dan mempersona adalah cantik yang memiliki kulit putih bersih. Selain itu juga memilikitubuh jenjang dan rambut berkilau. Tentu hal ini membawa polemik tersendiri bagi sebagian umat manusia. Cantik ditafsirkan dengan sangat sempit. Padahal bila ditengok kembali, jenis dan warna kulit tidak hanya satu. Beragam jenis dan warna kulit tersebar di seluruh dunia. Mulai hitam, cokelat, kuning langsat hingga putih.
Mayoritas iklan produk kosmetik selalu menampilkan keseragaman dalam mengartikan cantik. Seperti pada salah satu iklan sampo ternama di Indonesia. Merek sampo tersebut menggunakan Raisa sebagai bintangnya.
Mula-mula raisa teringat masa kecilnya bersama keluarga. Ibunya ditampilkan seolah selalu merawat rambut hitam Raisa. Pada menit berikutnya, Raisa mengucapkan kata kunci rambut hitam berkilau yang terus diulang-ulang. Kata rambut hitam berkilau diulang sebanyak empat kali, ditambah voice over dan tagline dibagian akhir.
Seolah yang disampaikan adalah, kesuksesan Raisa tak lepas dari rambut hitam berkilaunya. Bila ingin cantik seperti Raisa, maka rambut hitam berkilau adalah salah satu kuncinya. Belilah produk tersebut.
Tentu hal ini memarjinalkan orang-orang yang pada dasarnya tak berkulit putih. Apa jadinya bila orang berkulit hitam terobsesi menjadi pribadi berkulit putih gara-gara mindset cantik ala iklan kosmetik?
Sadar ataupun tidak,kita inisedang mengalami misconception.Kebanyakan produk yang dibeli bukan berdasarkan kebutuhan. Namun berdasarkan obsesi. Tujuan iklan berhasil. Yakni membujuk konsumen untuk mensegerakan diri membeli.
Sama halnya ketika kita membeli parfum. Di lain waktu atau di waktu yang sama, sederet merek pewangi cuci hingga seterika juga turut kita beli. Padahal kegunaannya sama, yakni untuk pewangi pakaian.
Tiap manusia memang pada dasarnya meniru orang lain yang dianggap lebih baik atau memukau. Cara berpakaian hingga make up juga dapat diterapkan setiap orang karena melihat orang lain atau lebih sering dikenal dengan “referensi”. Hal tersebut pernah disampaikan Gabriel Tarde dalam teori imitasi. Menurutnya, seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi.
Iklan seharusnya tidak hanya berkutat di ranah memasarkan produk saja. Dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI) tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Dewan Periklnan Indonesia, tertulis jelas di pranata dan cita-cita bahwa dalam mengemban tanggungjawab atas perlindungan, periklanan perlu menghormati segala hak dasar khalayak.
Salah satunya adalah hak untuk memperoleh informasi secara jelas dan lengkap. Selain itu juga melindungi hak dasar khalayak pada tatanan yang lebih hakiki, lebih luas dan lebih kompleks, yaitu untuk senantiasa ikut memuliakan agama, serta menegakkan martabat bangsa, negara, budaya, dan kemanusiaan.
Seandainya saja pedomantersebut diperhatikan dan dipatuhi, maka wajah periklanan kita hari ini tidak akan demikian. Karena tentu akan sangat memperhatikan dan memuliakan agama hingga kemanusiaan. Tidak akan ada deskriminasi secara tidak langsung lagi antara kulit putih dan hitam. Semua jenis kulit akan dianggap cantik sesuai dengan pandangan masyarakat di tempat seseorang dilahirkan. Begitu juga dengan misconception lainnya.
Hal yang dapat kita lakukan saat ini bukanlah memboikot produk-produk kosmetik maupun elektronik dari berbagai negara. Hal kongkret yang bisa kita lakukan adalah sadar. Bijak dalam setiap membeli barang. Bukan karena ingin menjadi atau terobsesi. Pada dasarnya, manusia membutuhkan barang-barang yang dibutuhkan. Keinginan adalah hal yang bisa dipenuhi bila kebutuhan sudah terpenuhi. Maka, cara terbaik untuk menghindari kelucuan diri ini, sekali lagi sadar. Merdeka!