Lebih dari tiga tahun menjabat, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berhasil menenggelamkan 363 kapal pencuri ikan di wilayah perairan Indonesia dan menjadi media darling karenanya. Sanjungan atas prestasi Menteri Susi membersihkan praktik illegal fishing ramai diberitakan oleh media.
Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Thailand adalah sederet negara yang konon didera penurunan produksi ikan akibat tenggelamnya puluhan bahkan ratusan kapal mereka yang kedapatan mencuri di laut kita. Menteri Susi juga berhasil menjadi primadona di mata nelayan lokal. Terlepas dari persoalan cantrang, kabarnya stok ikan di wilayah pengelolaan perikanan kembali stabil setelah menahun dikuasai para pencuri.
Memasuki tahun 2018, aksi penenggelaman kapal yang menuai pujian itu diminta berhenti oleh banyak pihak. Tak tanggung-tanggung, sang pemberi titah adalah Menteri Koordinator Bidang (Menko Bid.) Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla. Lho, kok iso?
Sabar, ada alasannya. Sang Menko Bid. Kemaritiman menganggap masih ada opsi hukuman lain berupa penyitaan kapal kemudian menjadikannya aset negara. Selain itu, ketimbang sibuk menenggelamkan kapal, Menko Luhut ingin fokus pada peningkatan ekspor dan menggenjot investasi di bidang perikanan.
Wapres Jusuf Kalla mengamini permintaan Sang Menko. Kapal pencuri ikan tidak harus ditenggelamkan, lebih baik disita lalu dilelang. Salah seorang anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Golkar, Ichsan Firdaus, beranggapan sama. Penenggelaman, menurutnya, membutuhkan banyak biaya. Kebijakan mestinya difokuskan pada kemakmuran dan pemberantasan kemiskinan nelayan.
Kalau boleh saya ringkas, ada dua rasionalisasi: (1) fokus ekspor dan investasi di bidang perikanan, (2) lebih baik kapal disita dari pada ditenggelamkan. Kendati diucapkan oleh para pesohor, tak satu pun terdengar logis.
Saya kesulitan menemukan kaitan antara penenggelaman kapal dengan peningkatan jumlah ekspor. Tidak mungkinkah keduanya dilakukan secara beriringan? Penenggelaman kapal yang sesuai dengan Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan merupakan upaya memerangi pencurian ikan.
Sedangkan upaya peningkatan ekspor dapat dilakukan melalui penguatan hilirisasi perikanan, peningkatan level sistem ketertelusuran (traceability), atau pemetan negara tujuan ekspor. Memerangi pencurian ikan dan meningkatkan ekspor bukan dua pekerjaan yang wajib, harus, mutlak dipilih salah satu sementara yang lain ditinggalkan.
Sementara itu, bentuk hukuman bagi kapal pencuri berupa pernyataan yang dirasa lebih relevan ketimbang penenggelaman terdengar amat naif. Terlebih apabila lelang dianggap sebagai penyelesaian. Melelang kapal yang tertangkap mencuri bak melepaskan maling yang bahkan belum sempat masuk penjara.
Pemilik kapal asing hanya perlu mengatur perjanjian dengan mafia perikanan di Indonesia agar menang lelang. Selanjutnya, kapal pencuri dapat kembali beroperasi. Uang hasil lelang yang diterima negara sama sekali tak sebanding dengan kerugian akibat langgengnya praktik illegal fishing. Menutup biaya penangkapan kapalnya saja tak cukup.
Alasan fokus pada kemakmuran dan pemberantasan kemiskinan nelayan lebih membingungkan. Pasalnya, saya belum pernah dengar nelayan lokal memprotes kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan. Lain soal kebijakan larangan bongkar muat hasil perikanan di tengah laut atau moratorium izin kapal eks asing, mungkin benar ada penolakan di sana-sini.
Tetapi, penenggelaman? Coba saja bicara soal kemakmuran dengan nelayan di Indonesia Timur yang tak lagi mesti melaut jauh ke tengah hanya untuk dapat ikan. Atau nelayan Aceh yang hasil tangkapannya meningkat 30% dengan jenis lebih variatif pasca penenggelaman. Kecuali kalau yang dibicarakan kemakmuran nelayan asing, bukan lokal. Itu baru ada hubungannya.
Ungkapan Menko Luhut, “semua orang sudah tahu negeri kita tegas”, seolah menjadi bumbu yang sempurna atas kejanggalan alasan-alasan tersebut. Apabila kebijakan penenggelaman dirancang hanya untuk shock therapy, artinya anggapan bahwa Indonesia hanya main ‘gagah-gagahan’ benar adanya. Para pencuri akan kembali berdatangan untuk menjajal kompromi dengan hukum di sini.
Nelayan kita sudah cukup merasa terusir dari setiap laut yang menjadi rumah mereka. Ikan-ikan kita juga berhak berdaulat di negeri sendiri. Jika penenggelaman kapal pencuri ikan oleh asing benar-benar dihentikan, Indonesia harus bersiap merelakan ikan-ikannya kembali berenang ke negeri orang.