Isu dinasti politik kembali muncul pada proses persiapan pemilihan kepala daerah 2020 mendatang setelah beberapa nama keluarga Istana ikut mendaftar sebagai bakal calon peserta pilkada melalui sejumlah partai politik.
Di Solo ada nama Gibran Rakabuming, putra Presiden Joko Widodo. Di Medan ada nama Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo. Lalu di Tangerang Selatan ada Siti Nur Azizah, putri dari Wakil Presiden KH. Maruf Amin.
Situasi ini pun lantas memantik beragam reaksi publik. Reaksi yang paling umum, orang menduga bahwa langkah politik anak-menantu Istana itu merupakan bagian dari proses awal untuk membangun dinasti politik baru. Benarkah demikian?.
Saya melihat pemahaman bangunan dinasti politik tidak sesederhana itu. Pablo Querubin (2010) mendefinisikan dinasti politik sebagai sejumlah kecil keluarga yang mendominasi distribusi kekuasaan dalam area geografis tertentu. Lalu Mark R. Thompson (2012) menjelaskan dinasti politik hanya sebagai jenis lain dari transisi (peralihan) kekuasaan politik, langsung maupun tidak langsung, yang melibatkan anggota keluarga.
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan Yasushi Asako dkk (2012) secara simpel sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah satu anggota keluarga mereka. Artinya, ada keinginan untuk membangun kekuasaaan secara absolut dalam proses pengembangan dinasti politik.
Upaya dominasi itu saya kira sejalan dengan apa yang pernah dicatat Hans Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948), bahwa terdapat tiga hal mendasar dalam motif tindakan politik, yakni mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, atau memperlihatkan kekuasaan.
Dengan gambaran di atas maka saya memahami bahwa sebuah kekuasaan politik dapat disebut sebagai “dinasti” ketika ia setidaknya memiliki dua ciri pokok. Pertama, ketika suksesi kekuasaan kepala daerah dipegang oleh satu atau dua keluarga dekat yang berlangsung lama terus-menerus secara estafet atau turun-temurun antara bapak, istri, anak, dan keluarga lainnya. Biasanya model ini juga dikombinasikan dengan penempatan keluarga lainnya di lembaga legislatif daerah.
Kedua, ketika satu keluarga membangun jejaring kekuasaan secara sistemastis di beberapa kota dalam satu provinsi mulai dari gubernur, wali kota, bupati, legislatif, hingga organisasi kemasyarakatan, yang seluruhnya berkaitan dan bekerjasama untuk saling menjaga induk kekuasaan maupun jejaring kekuasaan di bawahnya.
Untuk kasus ini, Provinsi Banten adalah contoh “sempurna” betapa dominasi kekuasaan bisa begitu besar dibangun oleh satu keluarga untuk menguasai beberapa daerah di satu provinsi dengan jaringannya yang sudah “menggurita”.
Lalu, apa yang melatarbelakangi suksesi kekuasaan lokal itu dilakukan dalam satu keluarga? Mudah ditebak: sebagai jalan memuluskan kolusi bisnis-politik di tingkat lokal. Dalam hal ini, jejaring keluarga telah menguasai berbagai proyek pembangunan daerah yang kemudian dibagi-bagikan kepada kroni-kroninya. Dinasti politik berperan sebagai patron dalam menjaga stabilitas kolusi tersebut dengan menempatkan sanak familinya ke dalam jajaran perusahaan maupun pemerintahan.
Artinya, dinasti politik merupakan bentuk kolektif dari patronase elit dalam wujud kolektif yang didasarkan pada hubungan famili, etnisitas, maupun hubungan darah lain yang intinya memunculkan monarki dalam demokrasi tingkat lokal. Tentu saja, dinasti politik—yang berarti memunculkan kekuasaan absolut di suatu daerah—akan menjadi rawan korupsi.
Salah satu contohnya adalah Banten. Apa yang terbangun di Banten merupakan ekses dari warisan feodalisme yang masih menancap kuat di masyarakat. Feodalisme yang dimaksud ini bukan hanya soal penguasaan sumber daya ekonomi saja, tetapi juga terbentuknya jejaring loyalitas dalam masyarakat dengan melibatkan para tokoh informal. Di Banten, dinasti politik muncul karena sistem institusionalisasi politik dan penegakan hukum yang lemah karena kooptasi kekuatan klan politik guna mengamankan kekuasaan daerah.
Pada kasus ini peran dan dominasi Tb. Chasan Sochib, ayahanda Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten) menjadi titik awal terbentuknya dinasti politik di Tanah Banten, khususnya melalui kekuatan jaringan jawaranya. Langkah pertamanya adalah menjadikan Ratu Atut Chosiyah sebagai Wakil Gubernur pertama serta pemenang Pilgub Banten kedua pada 2006.
Setelah itu satu per satu anggota keluarga besar Tb. Chasan Sochib—mulai dari istri, anak, menantu, cucu, cucu menantu, keponakan–masuk ke arena politik praktis, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif di berbagai tingkatan lembaga perwakilan dan dalam periode yang sama.
Bahkan, setelah ditangkapnya Tb. Chaeri Wardana dan Ratu Atut Chosiyah oleh KPK karena kasus suap politik, keluarga ini masih bisa memenangi kontestasi politik di tiga kota/kabupaten serta provinsi.
Mereka adalah Ratu Tatu Chasanah (adik kandung Atut Chosiyah) yang terpilih sebagai Bupati Serang; Airin Rachmy Diani (adik ipar Atut Chosiyah/istri Tb. Chaeri Wardana) yang terpilih menjadi Wali Kota Tangerang Selatan; dan Tanto Warsono Arban (menantu Atut Chosiyah) yang terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang. Terakhir adalah Andhika Hazrumy yang mendampingi Wahidin Halim yang berhasil memenangi kontestasi Pilgub Banten periode 2017-2022.
Kembali kepada persoalan tudingan upaya membangun dinasti politik yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan KH. Maruf Amin belakangan ini, saya menilai argumentasi itu tidak mendasar. Sebab di era demokrasi saat ini, nyaris tidak mungkin membangun dinasti politik dalam skala nasional.
Bila kita melihat inti dari dinasti politik, yakni estafet kekuasaan dalam satu keluarga dan perluasan kekuasaan untuk saling menjaga induk kekuasaan, maka konsep itu tidak mungkin terealisasi pada skala nasional.
Dengan kata lain, seorang anak yang menjabat sebagai wali kota atau bupati, tidak mungkin bisa menjaga kelanggengan kekuasaan politik orang tuanya yang menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Banten, misalnya.
Dengan posisi induk menjabat sebagai wakil gubernur dan keluarga lainnya menjabat sebagai wali kota atau bupati di provinsi yang sama, maka situasi ini sangat signifikan sebagai jejaring kekuasaan yang cenderung akan menguntungkan satu keluarga untuk melanggengkan kekuasaan di wilayah tersebut, termasuk dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi.
Saya kira apa yang sedang diupayakan Gibran Rakabuming, Bobby Nasution, juga Siti Nur Azizah, merupakan soal kecerdasan membaca peluang modal dasar politik. Situasi ini mirip dengan bagaimana keluarga mengoptimalkan persona dan kharisma Presiden Soekarno sebagai figur politik yang sentral, yang kemudian mampu membangun ataupun melakukan regenerasi.
Kekuatan “imaji” atas figur tersebut sangat membantu kekuatan politik terutama dalam mengumpulkan suara elektoral. Itulah yang terjadi pada Megawati Soekarnoputri, dengan generasi berikutnya Puan Maharani.
Hal serupa juga dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka ruang seluas-luasnya bagi Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono di ruang publik. Dan, ini bukan serta-merta dinasti politik.