Sabtu, April 20, 2024

Ideologi yang Ambigu atau Kita Terlalu Kaku?

Rezha Nata
Rezha Nata
Penulis, Cita-Citanya Mau Jadi Ideolog.

Beberapa waktu lalu atau tepatnya pada 10 Oktober 2019, Mantan Menkopolhukkam Wiranto, diserang dengan cara ditusuk oleh orang tak dikenal di Banten. Perisitiwa penyerangan Wiranto ini terjadi ketika ia menghadiri acara peresmian Gedung Kuliah Bersama Universitas Mathla’ul Anwar.

Kabar ini sontak mengejutkan publik, bahkan beberapa media massa nasional baik cetak, online ataupun media penyiaran langsung menjadikan hal ini sebagain headline informasi di hari kejadian.

Meski kemudian pelaku sudah diamankan pihak kepolisian, tetapi masalah ini tidak bisa berhenti hanya pada spektrum diamankan, diadili dengan UU KUHP atau UU Tindak Pidana Terorisme dan dihukum seberat-beratnya sesuai dengan perbuatannya.

Permasalahan ini bagi saya jelas bukan hanya terkait persoalan hukum semata. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah mengurai motif pelaku, paradigma pemikiran yang mendorongnya, sampai pada titik evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan di Indonesia, baik itu untuk rakyat biasa ataupun pejabat negara.

Terorisme atau kriminal?

Apa yang menimpa Wiranto jelas merupakan tindak terorisme yang tidak bisa dianggap sebagai angin lalu, apalagi menganggap hal ini hanya drama semata. Kesimpulan saya mengenai penusukan yang terjadi kepada Menkopolhukam Wiranto merupakan tindak terorisme, didasari oleh Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Berdasarkan definisi yang dijelaskan oleh UU Nomor 5 Tahun 2018 maka segala sesuatu dapat dikategorikan sebagai tindak terorisme jika itu bersifat merusak dan menimbulkan ketakutan secara massif. Penyebab atau motifnya pun dijelaskan, yakni memiliki motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.

Dalam kasus penyerangan terhadap Wiranto, segala unsur untuk memasukkan pola serangan terhadap tindak terorisme sudah terpenuhi, terutama pada segi akibat. Jelas kemudian serangan itu telah berakibat memunculkan rasa takut atau teror dan menimbulkan korban yang bisa dikategorikan juga sebagai objek (subjek) vital strategis.

Persoalan penyebab dari serangan itulah yang kemudian masih bisa diperdebatkan, apakah motifnya adalah politik, ideologi atau gangguan keamanan. Namun, jika melihat keterangan yang diberikan Ka.BIN, pelaku terindikasi memiliki motif kuat melakukan penyerangan karena didasarkan adanya dorongan ideologi. Dorongan ideologi yang dimaksud di sini terkait dengan jaringan JAD yang berafiliasi kepada ISIS.

Kita mungkin sering mendengar jika ISIS (Islamiq State Islam and Syria) adalah organisasi yang mengedepankan ekstrimisme dan radikalisme dalam kegiatannya. Mereka atas nama agama, memberikan penghalalan terhadap perilaku di luar nalar kemanusiaan. Seperti membunuh, melakukan pemerkosaan dan tindak perdagangan manusia, menghancurkan sejarah peradaban serta meluluhlantakkan segala aspek kehidupan masyarakat yang dijamahi organisasi ini.

Meski mereka mendasarkan gerakan pada kegamaan, motivasi utamanya adalah ceruk ekonomi. Tak heran jika wilayah kekuasaan ISIS di Iraq atau Suriah adalah daerah dengan potensi sumber daya alam yang bagus seperti ladang minyak dan sebagainya. Belum lagi bisnis jual beli senjata, perdagangan manusia dan obat-obatan, termasuk obat-obatan terlarang.

Apa kabar Pancasila? 

Indonesia bukanlah darul al-harb (wilayah peperangan) karena itu tindak kekerasan kepada sipil dari angkatan bersenjata atau pemerintah dan sebaliknya, kekerasan kepada pemerintah atau negara yang dilakukan oleh warga sipil tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun juga. Kalau ada hal yang dirasa tidak memuaskan, sebagai negara demokrasi, konstitusi negara menyediakan sarana seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat.

Selain sebagai negara demokrasi, Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia memiliki ideologi tersendiri guna mengakomodasi segala perbedaan di ranah sosial kemasyarakatan. Ideologi atau pandangan hidup yang dianut Indonesia adalah Pancasila, bukan ideologi keagamaan. Karenanya Pancasila harus bersifat akomodatif terhadap ideologi-ideologi lain yang ada, selama itu tidak melanggar prinsip dasar dari semangat awal dirumuskannya Pancasila.

Permasalahan kemudian timbul bukan akibat dari keberadaan Pancasila, tetapi hegemoni ideologi yang lantas saya katakan menjadi tragedi. Mengapa demikian? Wacana dan segala simbol yang didengungkan pemerintah mengenai Nawacita dan Pancasila saya akui sebagai terobosan yang progresif. Hanya saja, Pancasila seolah ditafsirkan berdiri gagah, terbang dengan sayapnya, tetapi melupakan cakar-cakar kaki pada sang garuda yang menggampit erat pita bertuliskan ‘Bhinneka Tunggal Ika’.

Kondisi itu kemudian membentuk semacam kekakuan dalam memahami ideologi. Alih-alih Pancasila menjadi ideologi yang bersifat akomodatif, dengan hegemoni ideologi yang sedemikian rupa. Maka muncullah kondisi yang kontra produktif dengan semangat awal Pancasila dirumuskan.

Akibat yang muncul belakangan, orang-orang yang awalnya berbeda preferensi politik, kemudian dicap sebagai anti Pancasila, mencari pedoman lain yang bisa mengakomodasi segala hiruk pikuk sosial. Maka masuklah ideologi trans nasional yang semakin marak diyakini sebagai nilai paling ideal untuk kehidupan berbangsa di Indonesia, termasuk ideologi-ideologi yang dianut oleh pelaku penyerangan terhadap Wiranto.

Secara ringkas saya katakan, Pancasila selama ini hanya dipahami sebagai simbol, bukan pada nilai. Keberadaan Pancasila sebagai simbol ini tidak bisa mengakomodasi keberadaan ideologi lain yang dimiliki secara beragam oleh bangsa Indonesia. Toh Pancasila sendiri dirumuskan atas prinsip spiritualisme keagamaan, sosialisme dan humanisme liberal, bukan berdasar arogansi kelompok atau golongan tertentu. Lalu bagaimana dengan ideologi yang mengancam bahkan menentang keberadaan Pancasila?

Jika ancaman atau tentangan itu sudah masuk kategori perbuatan, maka harus dilakukan penindakan secara hukum. Tetapi jika masih berada dalam pikiran, kita haruslah melakukan intervensi pada pola pemikiran mereka. Membuka ruang dialog dan membiarkan pertarungan gagasan berada di antara kepala dengan kepala. Saya meyakini, sebagai orang Indonesia, mereka pada akhirnya akan menyadari jati diri yang sebenarnya, meski itu tidak mudah.

Kini melihat masalah yang ada, perlu kiranya pemerintah membentuk rumusan pengaktualisasian ideologi yang tidak didasarkan hanya pada simbol semata apalagi ragam penghapalan.

Pancasila haruslah meresap ke dalam diri manusia Indonesia, menjadi pijak dari kaki berjalan atau kepala saat berpikir. Kondisi ini harus dimulai dari bagaimana pola pemerintahan berjalan ke depan, termasuk dalam penerapan hukum yang berkeadilan, pembangunan ekonomi yang berbasiskan pemerataan dan pengembangan kepribadian manusia yang berdasarkan jati diri kebangsaan.

Rezha Nata
Rezha Nata
Penulis, Cita-Citanya Mau Jadi Ideolog.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.