Belakangan ini kita dikejutkan dengan munculnya gerakan ideologi baru yang disebut “ideologi transnasional” sebagai manifesto gerakan dari Timur Tengah yang hendak melumat ideologi pancasila yang sudah final. Ideologi baru tersebut menghendaki sebuah perubahan revolusioner dan radikal guna memantapkan dasar negara yang dinilai timpang dalam mengayomi dakwah keislaman. Sebagai sebuah tatanan baru dalam ranah ideologi politik, ideologi transnasional juga hendak mengusung gerakan keagamaan yang masuk pada dimensi kultural dan struktural. Dengan kata lain, ideologi transnasional mengacu pada politik lintas sektoral yang berasal dari dunia ketimuran.
Sebagai bangsa yang berdaulat, kita patut mewaspai gerakan politik bertemakan transnasional yang dinilai timpang dalam memproyeksikan gerakan keagamaan sehingga secara perlahan masuk pada politik praktis. Munculnya organisasi kemasyarakatan maupun partai politik yang berlandaskan pada ideologi keislaman juga tidak luput dari bayang-bayang ideologi transnasional yang seolah-olah menjadi pijakan dalam setiap aksinya di lapangan.
Tidak hanya itu saja, ideologi transnasional dianggap akan mengancam eksistensi kedaulatan bangsa yang telah menjadikan pancasila sebagai falsafah negara. Suatu hal yang naif, bila ideologi pancasila tergantikan oleh ideologi transnasional yang tidak memiliki akar budaya dan visi kebangsaan yang sama.
Pada awalanya, ideologi baru itu memang terkesan mengayomi dan memberikan jaminan kedamaian bagi tatanan baru bangsa kita, namun setelah cita-cita untuk membumikan ideologi baru itu tercapai, mereka terkesan balik arah dan mengalihkan orientasinya pada ranah kekuasaan dan kepentingan pragamatis semata. Itulah potret dan cerminan ideologi baru yang perlu diwaspadai oleh setiap elemen bangsa, terutama bagi ummat Islam dari kalangan tradisional yang mudah dikibuli oleh kepentingan politik tertentu yang menyesatkan.
Setiap organisasi kemasyarakat maupun keagamaan tidak bisa lepas dari motif ideologi yang menjadi instrumen gerakan guna mencapai cita-cita yang hendak dijalankan. Ideologi adalah otak dibalik lahirnya organisasi maupun komunitas tertentu yang bergerak di berbagai bidang, termasuk politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan. Dalam kerangka teori yang umum, ideologi dirancang sebagai kumpulan nilai dan kepercayaan yang diproduksi dan disebarkan oleh agen-agen negara, yang diarahkan untuk mengembangkan tatanan sosial dengan jalan melestarikan ketaatan setiap individu pada ideologi tersebut. (John B. Thompson, 2006).
Yang paling kentara, bidang politik menjadi platform paling depan dalam mengusung ideologi yang berbasis kultural. Dengan kata lain, setiap gerakan politik yang muncul selalu diwarnai oleh kesan fragmentasi yang mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam bingkai kekuasaan maupun secara fungsional. Di sadari atau tidak, platform politik telah membawa kebijakan tertentu untuk melegalkan kekuasaan demi kepentingan sesaat, sehingga orientasi utama kepentingan masyarakat kerapkali terabaikan.
Tidak heran bila ada satu pernyataan yang berbunyi, bahwa “saat ini Indonesia tengah berada dalam benturan ideologi dunia. Benturan ideologi inilah yang menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan NU dan Muhammadiyah sebagai jami’iyah terbesar di Indonesia, terutama dari arus gerakan radikalisme agama dan terorisme yang sedang mengancam eksistensi NKRI kita tercinta. Maka, kedua organisasi itu mengajak semua pihak untuk mengontrol dan mengawasi gerakan Islam radikal yang sangat membahayakan keutuhan NKRI, pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan platform ideologi lainnya.
Pada titik inilah, kita tidak bisa memaksakan secara radikal bahwa syari’at Islam harus tegak di bumi pertiwi tercinta. Pemaksaan secara radikal dengan menggunakan cara-cara kekerasan adalah tindakan di luar batas kemanusiaan dan telah menyalahi fitrah kemanusiaan itu sendiri. Syari’at Islam hanya bisa dilaksankan di negara dengan platform ideologi yang berasaskan Islam, bukan malah digerakkan di negeri kita yang berasaskan pancasila sebagai falsafah negara. Justru, dengan pemaksaan untuk menegakkan syaria’t Islam itu, perpecahan dan pertikaian antar sesama bangsa akan terus bergulir dan sangat meresahkan masa depan ummat Islam sendiri.
Syariat Demokratik
Itulah sebabnya, Mahmoud Mohammed Toha (1987), mengatakan bahwa paling banter kita hanya bisa menegakkan “syari’at demokratik” sebagai semangat keberagamaan yang membawa kita pada level kedamaian dan keseimbangan, sehingga perdebatan untuk menegakkan syari’at Islam bukan satu-satunya tujuanyang harus dicapai, melainkan yang lebih penting adalah bagaimana kita ummat Islam tetap bersatu mensyiarkan agama Islam dengan cara-cara yang damai dan lurus sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad itu sendiri.
Sudah waktunya semua elemen bangsa waspada dengan infiltrasi ideologi yang bertendensi mengancam keutuhan NKRI. Dan sudah waktunya pula, agama sebagai jalan hidup yang “rahmatan lil alamiin” ini tidak dibelokkan untuk memuaskan syahwat politik oknum-oknum partai dan ormas transnasional tadi. Kita harus tetap waspada mencermati gerakan politik yang beraroma keagamaan dengan memberikan perhatian lebih terhadap tegaknya kedaulatan negara sebagai manifestasi dari sikap nasionalisme dan patriotisme kita. Kita tidak boleh bersikap arogan dan mengedepankan sikap egosentrisme berlebihan yang bisa mengancam disintegrasi bangsa sehingga menyulut api pertikaian maupun permusuhan antar sesama bangsa yang majemuk ini.
Oleh karena itu, membicarakan ideologi semestinya bukan pada apakah ia berasal dari luar atau tidak; transnasional atau bukan karena faktanya semua ideologi yang ada memang bersifat transnasional. Tapi yang lebih penting adalah apakah ideologi itu membawa kemashlahatan atau kebaikan bagi rakyat atau tidak. Secara historis, “ideologi” Islam memang pernah berjalan di Indonesia. Ini ditandai dengan keberadaan kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah yang menerapkan syariah Islam secara praktis.