Kapan terakhir kali anda melihat kebencian menjelma parade adu mulut, pertengkaran fisik, hingga peperangan? Atau hal simpel saja, ketika pemilu dihelat, tidakkah anda menyadari adanya situasi psikologis dan atmosfer sosial yang mendadak panas dan seolah dipenuhi oleh aura kebencian antarpendukung para kandidat? Belum jika membahas ketegangan antarkelompok keagamaan yang bersirebut kebenaran.
Memang, jika kita kenang kembali, terlalu banyak catatan kelam di sejarah manusia yang merekam konflik horizontal ataupun pemberangusan yang dipicu oleh rasa benci. Secara kaleidoskopis, saya pun yakin kalau anda juga menyadari bahwa kebencian sejatinya telah menyusup hampir ke semua sektor kehidupan homo sapiens dalam aneka wujud.
Bagi René Descartes, rasa benci adalah “the urge to withdraw from something that is thought bad”. Sebuah desakan untuk menarik diri dari sesuatu yang dianggap buruk. Tapi siapa yang berhak menentukan ini baik dan itu buruk? Otoritas manakah yang cukup terpercaya untuk merumuskan hal itu? Otonomi individu masing-masing? Apakah negara dan pemerintah? Ataukah pimpinan agama? Kepala suku? Apa hanya Tuhan saja? Hal ini dalam praktiknya justru kerap diperdebatkan sehingga lahir persoalan baru.
Sementara Sigmund Freud menilik kebencian secara psikologis dan berujar, “an Ego state that wishes to destroy the source of its unhappiness”. Kondisi diri (ego) yang ingin memusnahkan segala sumber ketidakbahagiaan. Dengan kata lain, benci bisa dipandang sebagai respons manusia untuk meniadakan gangguan dan faktor-faktor yang menyebabkannya cemas dan tidak bahagia.
Saat anda terganggu oleh denging nyamuk yang membuat anda susah tidur dan cemas besok akan terlambat kerja, maka tidak menutup kemungkinan anda akan membenci nyamuk itu dan lantas ingin membunuhnya dengan keji. Dan nyamuk pada contoh itu dalam konteks yang lebih makro bisa bermakna golongan partai A, kaum yang bermadzhab S, atau suporter tim U.
Namun terlepas dari semua definisi tersebut, apabila dilihat secara garis besar, intinya ada rasa benci yang sifatnya individual, ada pula kebencian kolektif (antargolongan). Dan dari kedua jenis itu, bagaimana jika kebencian ternyata memiliki semacam ideologinya sendiri? Dari sini saya akan menjabarkan secara ringkas, dan mungkin sedikit simplifikatif dan fungsional, mengenai ideologi kebencian yang dielaborasi oleh Niza Yanay—Professor Emerita bidang Sosiologi dan Antropologi.
Dari Narsisisme Religius Kolektif sampai UU ITE
Dalam bukunya berjudul The Ideology of Hatred, Niza Yanay tidak sedang menyoroti apa itu kebencian, melainkan fokus menelisik apa yang kebencian inginkan dan hendak wakili. Baginya, hampir semua konflik sosial kemanusiaan masa kini sumbernya adalah kebencian. Silakan tengok konflik apa saja yang belakangan muncul di media, anda akan menemui bahwa akar masalahnya selalu melibatkan kebencian.
Niza Yanay juga, dengan mengambil jarak pandang, melihat adanya ideologi yang terkandung dalam kebencian. Seperti contoh kebencian antarkelompok keagamaan, selalu saja ada faktor ideologis yang melatarinya. Bahwa kelompok Hanacaraka merasa ideologi kelompoknya paling benar dan menegasikan kelompok Datasawala yang dinilainya tidak murni, sesat dan layak dikucilkan. Dalam bahasa populer, “dunia ini milik kita saja, sisanya numpang”.
Ihwal yang berkaitan dengan ideologi tersebut, ironisnya, kerap kali dijadikan alat kekuasaan untuk kepentingan tertentu. Masyarakat pada akhirnya tergiring ke suatu kubu tertentu dan tanpa sadar ikut terseret menjadi seorang pembenci. Cuplikan kecil ini tentu saja dapat kita bandingkan secara kilas balik dengan, misalnya, kebencian antaretnis, sejarah gelap rasisme dan perbudakan, genosida di sejumlah daerah baik Indonesia maupun luar negeri, tragedi Auschwitz, sampai pembakaran tempat ibadah dan represi aparat negara terhadap demonstran di beberapa waktu silam.
Dari situlah kemudian Niza Yanay mengklasifikasikan ideologi kebencian menjadi dua jenis. Pertama, kebencian oleh kaum tertindas terhadap penindas (hatred by the oppressed toward an oppressor). Kedua, kebencian penindas kepada pihak tertindas (hatred by the oppressor toward the oppressed). Yang nomor satu masih masuk akal dan logis. Sedangkan yang kedua cukup musykil dan mengherankan. Alias aneh.
Untuk poin yang kedua inilah dibutuhkan seperangkat ideologi tertentu untuk mendukung atau melegitimasi kebenciannya. Panorama yang bisa menjadi tamsil konkret darinya dapat dilihat pada kelompok keagamaan tertentu yang mengklaim diri paling benar dan merasa istimewa sehingga menegasikan golongan liyan (others). Dalam riset psikologi sosial yang pernah saya buat, ada istilah “narsisisme religius kolektif”. Suatu ideologi kelompok narsisistik yang merasa benar, superior, dan ingin diperlakukan istimewa, sambil meletigimasi tindak kekerasannya pada pihak-pihak di luar kelompoknya.
Sementara kalau dalam ranah politik pemerintahan, contohnya, kemarin kita membaca berita bahwa aktivis dan akademisi Haris Azhar dan Fatia yang dilaporkan oleh pejabat negara ‘Lord’ Luhut Binsar. Akun Instagram @narasinewsroom pun membuat unggahan feed bertajuk “Penguasa Jadi ‘Pelanggan’ Setia UU ITE” dengan landasan riset sebanyak lebih dari 70% pelapor UU ITE pada 2021 adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan korbannya 26% aktivis ditambah 18,4% warga sipil.
Dari sini tampak ada semacam usaha untuk “menghancurkan segala yang tidak menyenangkan” (baca: kebencian—dalam definisi Freud tadi) bagi penguasa, dengan menggunakan perangkat ideologi ‘nama baik’ atau apapun dan UU ITE untuk menindas mereka yang pada dasarnya tertindas. Sebuah potret buram demokrasi di negara kita. Rasa-rasanya, tawaran dalam buku Niza Yanay yang merekomendasikan persahabatan dan persaudaraan (salah satu ‘syahadat’ demokrasi: fraternité) akan sia-sia saja jika iklim dan watak pejabatnya masih begitu: doyan pakai ‘kupon’ UU ITE, alergi kritik, dan menolak temuan riset akademik.
Sumber Bacaan:
Niza Yanay. 2013. The Ideology of Hatred. New York: Fordham University Press
M. Naufal Waliyuddin. 2019. “Religious Expression of Millenial Muslims within Collective Narcissism Discourse in Digital Era”. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 4(2), 179-190.